Epilog

Kyla's POV

Ayah dan ibu sudah dipenjara. Mereka akan menghabiskan sisa hidupnya di sana. Semua orang suruhan ayah dan kenalannya juga sudah ditangkap. Situs jual beli organ milik orang tuaku juga sudah ditutup.

"Kau masih mau sekolah?" tanya Kak Anne.

Aku mengerutkan dahi. "Kenapa kau bertanya? Seakan-akan aku tidak mau sekolah lagi."

Kak Anne terkekeh. "Aku tahu kamu tidak terlalu peduli dengan sekolah. Kalau kamu tidak sekolah lagi juga tidak masalah."

"Kenapa kau bersikap seperti orang tuaku?" tanyaku.

"Kalau tidak sekolah... kan bisa membunuh orang. Kau bisa menjual organnya lalu mendapat uang," lanjut Kak Anne.

"Kak Anne!" teriakku.

Kak Anne tertawa keras. "Bercanda, Kyla, bercanda. Oke?"

"Aku ingin melupakan ingatan itu. Mengapa kau melakukannya?"

"Kau sangat sensitif hari ini. Maaf, maaf," ucap Kak Anne. "Aku akan mengurus sekolahmu. Kau mau pindah?"

Aku berpikir cukup lama. Jika aku pindah, mungkin akan menjadi awal yang baru dari kehidupanku. Seperti memulai ulang hidupku. Sepertinya itu ide bagus.

"Tidak," jawabku. "Aku akan tetap di sekolah itu."

Jika pindah ke sekolah baru, berarti aku harus memulai perkenalan lagi. Aku harus mencari teman lagi. Aku harus beradaptasi lagi. Hal baiknya, tidak ada yang mengetahui masa laluku.

Di sekolahku sebelumnya, kesan orang lain memang tidak bagus kepadaku. Semuanya juga tahu mengenai kasus orang tuaku. Tapi, aku tidak peduli. Selama ada satu orang yang menerimaku, itu cukup

"Baiklah," jawab Kak Anne. "Kau bisa tinggal sendiri kan? Aku tidak bisa selamanya menemanimu. Aku punya kehidupan juga."

"Bisa. Selama ini, rasanya aku selalu hidup sendiri. Kenapa aku tidak bisa hidup sendiri secara sungguhan?"

***

Semua orang terkejut melihat kehadiranku di kelas lagi. Karena pihak sekolah tidak mau ambil pusing, aku hanya ditandai sebagai sakit. Ya, sakit selama satu bulan lebih.

Bahkan aku merasa asing dengan seragam sekolah. Aku juga lupa apa saja yang harus dibawa untuk ke sekolah.

Seisi sekolah membicarakanku. Siapapun yang tidak sengaja berpapasan denganku, langsung membicarakanku. Aku merasa seperti idola.

Lagipula, namaku sudah bersih. Untuk apa aku takut untuk dibicarakan? Untuk apa aku takut dianggap pembunuh lagi?

Hei, aku Kyla.

Orang paling kuat dan sabar yang ada di dunia.

Setelah mengalami semuanya, kenapa aku tidak bisa menghadapi hal sekecil ini?

Saat aku masuk ke kelas, semua teman sekelasku sangat ribut. Aku pun memutuskan untuk menaruh tas saja lalu pergi menuju belakang sekolah.

Aku sangat ingat tempat iniㅡtaman bermain. Tempat aku mulai berteman dengan Ryan.

Ah, Ryan.

Sudah lama aku tidak melihatnya. Terakhir kali adalah saat ia mengunjungiku di rumah sakit jiwa. Sejak itu, aku tidak pernah melihatnya lagi. Ia juga tidak datang saat sidang.

"Oi, lagi seneng?"

Aku menoleh sambil tersenyum kepada pemilik suara itu.

"Ryan!" panggilku dengan nada gembira.

"Serasa lahir kembali ya?" tanyanya lalu terkekeh.

Aku segera menghampirinya lalu memeluknya dengan erat.

Aku bisa melihat ekspresi terkejut dari Ryan. Ia membelalakkan matanya karena tingkahku. Beberapa saat kemudian, ia membalas pelukanku sambil menepuk punggungku berkali-kali.

"Terima kasih. Terima kasih banyak." Aku mulai menangis.

"Iya, iya."

"Terima kasih. Gue berterima kasih banget. Makasih, Ryan. Makasih. Makasih untuk semuanya. Makasih..."

"Iya, udah. Gue denger."

Aku melepaskan pelukanku lalu menatap mata Ryan dalam. "Makasih."

"Iya, sama-sama."

"Maaf," ucapku.

"Maaf untuk apa?"

"Maaf udah ngerepotin. Pasti waktulu kebuang banyak buat gue," jawabku.

"Untuk apa minta maaf untuk itu? Kan ini semua kemauan gue. Gue pernah bilang kan? Kalo gue janji bakal bantuin lu."

Kenapa kalimat sesederhana itu bisa membuat air mataku jatuh lagi?

"Lah, jangan nangis," ucap Ryan. "Gue lakuin ini buat bikin lu seneng. Kok malah nangis."

"Gue pengen balas budi," ucapku. "Apa ada yang harus gue lakuin?"

"Gak usah, gak ada," jawab Ryan singkat.

"Tapi, lu udah berkorban banyak," ucapku.

"Tapi, lu yang menderita lebih banyak. Semuanya udah cukup. Hidup Kyla yang menyedihkan sudah berakhir," jawabnya lalu tersenyum.

***

"Gue gak nyangka lu itu anak dari pembunuh," ucap Jessy.

Dia lagi, dia lagi.

Kenapa dia tiba-tiba mendatangi mejaku dan mengatakan hal itu?

"Kenapa emangnya? Paling nggak, lebih baik dari seseorang yang suka ngarang. Ngarangnya dari webtoon lagi," jawabku sarkas.

"Apaan sih?!" Jessy menghentakkan kakinya.

"Apa?" balasku.

"Gak tau ah!" teriaknya lalu pergi.

Aneh sekali dia. Sejak dulu, kerjaannya hanya mencari masalah denganku. Tetapi, selalu saja dia yang kalah.

Beberapa saat kemudian, Ryan menghampiriku sambil membawa setumpuk buku.

"Ini catatan yang lu lewatin selama satu bulan," ucapnya. "Silahkan mau di-fotocopy atau disalin."

"Gue gak peduli soal nilai. Lu tahu itu," jawabku. "Gak usah taruh buku di sini."

"Benarkah? Lu udah gak masuk sekolah lebih dari sebulan. Dan lu masih mau nilai merah semua? Wah, calon gak naik kelas," ucap Ryan lalu pura-pura membawa buku-bukunya kembali.

Shit.

"Iya, iya. Mana sini. Gue fotocopy. Besok gue balikin," jawabku pasrah.

Ryan pun membalikkan badannya lalu menaruh kembali tumpukan buku itu di mejaku. "Selamat belajar, pengidap depresi berat."

"Ryan!" teriakku kesal.

Ryan hanya tertawa melihat reaksiku. Dasar anak sialan.

***

Aku mengunjungi orang tuaku. Aku hendak mengunjungi ibuku terlebih dulu. Tapi, ia menolaknya. Akhirnya, aku mengunjungi ayahku saja.

Ayah keluar dari selnya lalu duduk di hadapanku.

"Ayah, mengapa ayah dan ibu membelaku?" tanyaku. "Bukankah kalian yang ingin mengorbankanku agar kalian bebas?"

"Pembunuh adalah tokoh utamanya. Kaki tangan adalah tokoh pendukung. Untuk apa mengikutsertakan tokoh pendukung?"

Kurasa aku mengerti apa maksud ayah. Tapi, aku tidak mengerti sepenuhnya.

"Ayah tetaplah ayah untukmu. Paling tidak, aku harus menjadi orang tuamu," lanjut ayah. "Untuk yang terakhir kali."

Mataku berkaca-kaca mendengarnya. Kenapa aku tersentuh dengan apa yang ayah katakan? Padahal ia adalah seorang pembunuh.

"Karena kami sudah menyelamatkanmu, habiskan sisa hidupmu dengan hal yang berguna," ucap ayah.

"Iya, Ayah."

"Jangan lupa makan. Istirahat yang cukup. Bertemanlah yang banyak."

Aku menatap ke langit-langit agar air mataku tidak turun.

"Apa kau kembali bersekolah?" tanya ayah.

"Iya," jawabku.

"Belajar yang giat," ucapnya. "Jangan seperti orang tuamu ini."

Aku tidak bisa menahannya lagi. Air mataku mengalir tanpa henti.

"Semoga ucapan ayah saat ini, bisa memenuhi sosok ayah yang kamu inginkan."

Aku menunduk sambil mengusap mataku.

"Jangan kunjungi ayah jika kamu tidak mau. Datanglah ketika kamu mau. Ikuti hatimu."

Aku menatap mata ayah yang ada di depanku. Kenapa di saat seperti ini, ia baru menunjukkan sisi baiknya? Kenapa tidak sejak dulu?

"Kamu sudah bekerja keras. Semoga sisa hidupmu bahagia," ucap ayah.

"Sampai kapan ayah mau bicara?" ucapku sambil terisak.

"Maaf. Ayah tidak pernah mengatakan apa-apa. Jadinya, harus mengatakan semuanya seperti ini."

"Ayah..."

"Tapi, Kyla. Jangan lupa saran dari ayah," ucap ayah. "Jika kamu tidak mau sekolah dan kerja, kamu bisa mengikuti jalan ayah dan ibu."

Setelah ayah mengatakan itu, polisi pun membawa ayah kembali ke selnya.

Tangisanku tiba-tiba berhenti. Kenapa ia mengatakan itu di saat-saat yang menyentuh hati seperti ini?

Aku langsung keluar dari gedung itu. Setelah sampai di luar, aku melihat kehadiran Ryan dengan motornya.

"Udah?" tanyanya.

Aku mengangguk sambil mengusap air mata yang masih tersisa.

"Ayo," ucap Ryan yang sudah menyalakan mesin motornya.

Aku memakai helm lalu menaiki motor milik Ryan.

"Kenapa lu gak nanya alasan gue nangis?" tanyaku.

"Karena gue tahu, lu gak bakal mau jawab."

"Kenapa lu tetep pengertian begini? Padahal keadaannya udah berubah."

"Kalo keadaannya berubah, memangnya gue harus ikut berubah?"

Aku mencubit pinggang Ryan. "Gak usah ngomong sesuatu yang bikin gue terharu."

Ryan hanya meringis.

Kita berdua kembali ke apartemen. Apartemen Thulla lantai lima.

SELESAI

======

25-06-2019

Wah, tamat juga The Bill.

Terima kasih untuk pembaca The Bill! Vote dan comment kalian bener-bener nyemangatin aku. Makasih banyak yaa!

Maaf banget untuk yang digantungin pas cerita ini di unpub. Semoga perjuangan menunggumu berarti.

Dimulai tanggal 5 Januari 2018 dan selesai 25 Juni 2019. Waw.

Diunpublish tanggal 3 November 2018 dan dipublish kembali tanggal 3 Juni 2019. Waw. Aku ngapain aja ya selama diunpub 🤣🤣🤣

Dibikin dari belum UN dan segala macem, sampe udah naik ke kelas sebelas wkakaka.

Terima kasih sudah baca sampai selesai. Lafya!

Yuk baca ceritaku yang lain~

-Ines

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top