Enam Belas

||Senin, 09.00||

Kyla's POV

Setelah ayahku tahu mengenai aku tidak pernah membeli di warung, aku sudah mengetahui tentang hal ini. Ayahku tidak akan diam. Pasti dia melakukan sesuatu.

Contohnya, ada sepasang mata yang mengikuti setiap langkahku.



"Ryan, lu dapet buktinya?" tanyaku.

Ryan menggeleng. "Gue batalin rencana itu. Maaf gak ngabarin sebelumnya."

Aku tersentak. "Kenapa? Padahal itu kesempatan besar."

"Percuma, Kyla. Kalo gue jadiin itu bukti, lu bakal kena imbasnya juga," ucap Ryan.

Rasanya sangat kecewa. Padahal aku kira rencananya akan berjalan dengan lancar. Ryan juga sudah meyakinkanku berkali-kali.

Ternyata benar. Semua rencana, serapi atau sesempurna apapun, tidak akan berhasil.

"Padahal gue kira semuanya lancar..."

Aku menunduk.

"Maaf, Kyla. Tetapi tenang aja. Gue ada rencana baru," ucap Ryan.

"Rencana baru? Rencana baru apa lagi?" tanyaku kesal. "Padahal gue udah rekam bukti saat orang tua gue membun--ah!"

"Lu rekam?" tanya Ryan terkejut.

"Iya. Kenapa?" tanyaku.

"Hapus sekarang videonya. Pastikan kalau ponsel lu di-backup, videonya tidak bisa ditemukan."

"Apaan sih, Ryan? Ini bukti konkrit. Kenapa harus gue ilangin?"

"Udah, nurut aja. Hapus videonya sekarang juga."

Aku mengernyit lalu membuka ponselku. Aku mengikuti perintahnyaㅡmenghapus video itu.

"Udah?" tanyanya.

"Udah," jawabku. "Kenapa harus gue hapus?"

"Lu bisa dianggap psiko, Kyla. Bayangin aja, ada sebuah video pembunuhan di ponsel milik seseorang. Terlebih lagi, video itu jelas-jelas direkam secara langsung."

"Bukannya itu bukti yang dibutuhkan polisi? Dengan itu, orang tua gue lebih cepat tertangkap," ucapku.

"Nggak. Itu malah bikin elu dianggap kaki tangan dan lebih parahnya, dianggap pembunuh juga."

"Kenapa?"

"Kalo lu serahin bukti ini ke polisi, terus polisi interogasi lu, apa yang bakal lu jelasin ke mereka?"

"Orang tua saya pembunuh," jawabku.

"Polisi tidak sebodoh itu," ucap Ryan. "Banyak pembunuh yang memposting video pembunuhannya sendiri. Lu mau dianggap salah satu dari mereka?"

Aku membeku. Aku sama sekali tidak memikirkan kemungkinan itu. Kalau tidak ada Ryan, mungkin aku akan gegabah dan langsung menyerahkan ke polisi. Padahal, itu keputusan yang terburuk.

"Gue udah ada ide yang bagus buat nangkep orang tualu," ucap Ryan. "Kali ini, percaya aja sama gue. Oke?"

"Ryan," panggilku lemah.

"Kenapa?"

"Ayah gue udah tau kalo gue beli barang-barang itu bukan di warung," ucapku. "Sekarang, gue gak bisa ke minimarket lagi."

"Tenang, Kyla. Rencana gue udah matang."

Aku menggeleng. "Jika kali ini gagal--"

"Gue bakal bawa lu ke tempat yang paling jauh di dunia. Lu bakal aman."

"Gak bisa, Ryan. Itu mustahil. Koneksi ayah gue ada di mana-mana. Mereka tahu wajah gue, sekolah gue, semua tentang gue. Ayah sudah memberitahu kepada mereka semua. Meski gue tidak ketahuan, gue gak akan bisa menjalani hidup dengan tenang."

Ryan terdiam sebentar. "Lu yakin tentang itu?"

Aku mengangguk yakin. "Ada yang menguntit gue sejak tadi pagi. Gue rasa, kita gak bisa ketemuan di luar sekolah. Jangan juga membahasnya melalui pesan ataupun telepon."

Ryan mengangguk mengerti. "Pokoknya, apapun yang terjadi sama lu, jangan merasa panik ataupun takut."

"Maksudnya?"

"Jalani aja, oke?"

Ryan segera meninggalkanku setelah mengatakan itu.

Apa sih maksudnya?

Memangnya apa yang akan aku alami? Apa yang dia maksud itu rencananya? Jangan-jangan rencananya itu bisa membahayakanku.

Ugh, aku benci dia.

***
||Selasa, 21.00||

Ayah dan ibu sudah selesai melakukan aksi pembunuhannya lagi.

Kali ini, aku membelinya di toserba dekat apartemen. Semuanya tersedia di sana. Hanya saja, tidak ada struk. Tidak ada bukti. Tidak ada Kak Anne. Tidak ada Ryan.

Sejak kemarin, aku selalu menjaga tingkahku. Aku berusaha baik di depan ayah dan ibuku. Saat berangkat sekolah, aku selalu fokus berjalan menuju sekolah. Saat pulang, aku langsung pulang ke rumah tanpa mampir ke mana pun.

Jujur, sepertinya lama-kelamaan jiwaku mengalami gangguan.

Seperti biasa, tadi aku hanya duduk diam melihat kelakuan orang tuaku. Aku tidak bisa apa-apa. Aku hanya melihatnya dengan datar. Aku sudah cukup terbiasa dengan bau amis dan suara menjijikan itu.

Apa aku masih bisa disebut manusia setelah ini semua?

Kali ini orang tuaku berencana membuangnya di sungai lagi. Aku harap ada warga yang menemukannya. Aku ingin sekali mereka ketahuan.

Aku menghela napas. Kapan hidup menyedihkanku akan berakhir?

"Kyla, akhir-akhir ini kamu terlihat lesu. Ada apa?" tanya ibu.

"Aku hanya lelah dengan pelajaran di sekolah," jawabku.

"Oh, begitu. Jangan paksakan diri. Toh, kamu belajar atau tidak belajar, pasti tetap akan mendapat uang banyak saat dewasa," ucap ibu.

Wah, tumben sekali ibu pengertian kepadaku. Meski sebenarnya aku berbohong.

"Memangnya apa yang akan kulakukan saat dewasa?" tanyaku.

"Kau masih bertanya?" Ayah tertawa. "Tentu saja menjual organ dalam seperti kita."

Mendengar itu, aku langsung menunduk.

***

||Rabu, 16.00||

"APA-APAAN?!"

Suara bantingan barang memenuhi unitku. Sedari tadi, ayah membanting seluruh barang yang ada di dekatnya. Pasti sebentar lagi, sekuriti akan menghampiri unit kita.

"Kok bisa ketauan sih?" tanya ayah geram.

Di dalam hati, aku tertawa.

Iya, di berita hari ini, tiga korban orang tuaku ditemukan di sungai. Harusnya ada empat korban. Mungkin yang satu lagi sudah terbawa arus atau terdekomposisi parah.

Aku sangat senang.

Tapi, aku harus menahan kebahagiaanku. Aku tidak boleh terlihat senang dengan semua ini.

Para korban juga sudah diautopsi. Kabar baiknya lagi, korban kemarin pun ditemukan sehingga masih sangat terlihat bekas lukanya dan tidak terlalu hancur. Autopsi pasti berjalan dengan lancar.

Sayangnya, aku tidak membeli barang untuk kemarin di minimarket. Jika aku membelinya di sana, pasti akan mudah terungkap.

Mau bagaimana lagi. Ada orang yang menguntitku dua puluh empat jam sehari. Jika aku ketahuan, mungkin yang dibuang di sungai itu diriku.

Tok tok tok!!!

Dengan malas, ayah membuka pintu unitnya.

"Permisi, saya mendapat laporan dari unit lain bahwa unit bapak terdapat suara yang mengganggu," ucap sekuriti.

"Maaf atas ketidaknyamanannya. Ada rak yang terjatuh sehingga barang-barang yang di sana pecah," jelas ayah.

"Baiklah, Pak. Tolong lebih hati-hati," ucap sekuriti itu lalu pergi meninggalkan unit.

"Ayah, kita tidak akan tertangkap kan?" tanya ibu yang habis menangis.

"Gak lah! Kita tidak menyisakan bukti apa-apa," jawab ayah yakin.

Aku terkekeh.

Tidak menyisakan bukti, my foot.

======

14-06-2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top