Empat Belas
¦¦Kamis, 15.15¦¦
Kyla's POV
"Lu mau nelpon siapa?" tanyaku saat melihatnya mengetik nomor.
"Polisi."
Aku mengenggam tangannya. Tetapi, ia langsung melepaskannya lagi.
"Ryan..." panggilku parau. "Jangan, please."
Pandanganku mulai kabur.
Sebenarnya aku ini kenapa?
Oh, ternyata aku menangis.
Ryan menoleh sebentar ke arahku. Aku dapat melihat sekilas jika ia membatalkan panggilan teleponnya.
Jika sudah terjadi kesalahpahaman seperti ini, apa yang harus aku lakukan? Seharusnya aku langsung memberitahu jika orang tuaku adalah pembunuhnya. Jika akhirnya seperti ini, mungkin lebih baik lagi jika tidak memberitahunya sama sekali.
Semua hal yang aku takutkan itu benar-benar terjadi. Hidupku terlalu menyedihkan. Entah hal buruk apa lagi yang akan menimpaku nanti.
Ryan terdiam. Sepertinya ia menungguku untuk bicara. Ia pernah bilang jika dirinya sangatlah penasaran. Pasti sekarang ia sangat penasaran.
"Iya, gue ngaku kalo gue kaki tangan," ucapku setelah tenang sedikit.
Ryan membulatkan matanya. "Kaki tangan?! Lu bener-bener gila ya?"
"Lu pikir gue mau?" Aku menunduk.
"Ya kalo gak mau, berhenti aja. Susah banget sih. Lu juga bisa laporin mereka一oh, atau lu diancam?"
Ryan ternyata bisa membaca pikiranku.
Aku mengangguk. "Mungkin bisa dibilang begitu."
"Siapa pembunuhnya? Biar gue yang laporin."
Aku menelan ludah. "Orang tua gue."
Entah sudah berapa kali Ryan terkejut pada hari ini. Mungkin dalam riwayat hidupnya, hari ini adalah hari yang sangat bersejarah baginya.
"Orang tua? Lu?"
Shit. Nada bicaranya mulai aneh lagi.
"Kemarin malam ada korban lagi. Tetapi, beritanya belum ada. Makanya gue suruh lu liat internet pagi-pagi," jelasku.
"Apa jasadnya belum ditemukan?" tanyanya.
"Gue rasa belum. Berita tentang orang hilang saja tidak ada," jawabku.
Ryan menopang dagunya一berpikir keras. "Kalo gak ada berita orang hilang, berarti belum ada yang merasa kehilangan. Mungkin korbannya itu yatim piatu?"
Ah, itu mungkin saja.
"Tapi ada kemungkinan lain sih," lanjutnya.
"Apa?" tanyaku.
"Trik polisi. Mereka melarang media menyiarkannya. Mereka ingin melihat perkembangan pembunuh berantai itu jika tidak ada berita tentangnya."
"Tapi hal itu bukannya malah berbahaya? Itu membuat warga merasa aman karena mengira kasus itu sudah menghilang. Korban akan berjatuhan lebih banyak lagi," ucapku.
Jika dua orang cerdas saling bicara tentang sesuatu masalah yang serius, maka inilah quality time. Mereka bisa menghabiskan semalaman hanya untuk membahas sesuatu. Pikiran mereka saling diutarakan, cara pikir mereka dapat diperlihatkan.
"Jika beritanya dihilangkan, pelaku juga akan merasa bebas. Ia akan makin gila dengan aksinya. Dengan itu, bisa mengakibatkan pelaku kurang fokus. Pelaku yang biasanya membersihkan segala macam sidik jari dan bukti, bisa saja melakukan kesalahan karenanya," jawab Ryan.
"Membantu penyelidikan dengan mengorbankan nyawa orang lagi? Mau sampai kapan? Bagaimana jika bukti juga tidak ditemukan? Lu sendiri yang bilang kalo pembunuhnya sangat perfeksionis," balasku.
"Lagipula, siapa yang tidak suka bergosip di daerah kita ini? Semua orang pasti akan membicarakannya mulut ke mulut meski media tidak memberitahunya. Dengan begitu, masing-masing warga akan lebih waspada."
"Orang tua gue juga bakal membaur. Mereka pasti juga akan dengar tentang gosipnya," jawabku. "Semua itu tidak ada gunanya. Ada atau tidak ada media, semuanya tidak merubah apapun."
"Gue gak yakin kalo orang tua lu sering membaur. Korbannya kan warga-warga sini. Kalo orang tua lu membaur, pasti mereka semua kenal sama keluarga lu. Tapi kenyataannya apa?"
"Ryan, udah," ucapku pada akhirnya. "Gue pusing."
"Gue pengen nanya, apa yang lu lakuin sebagai kaki tangan?" tanyanya.
"Struk," jawabku singkat.
Ryan terbelalak. "Struk? Yang selama ini lu jatuhin? Itu? Yang dari minimarket? Di deket apartemen?"
Aku mengangguk. Oke, nada anehnya kembali lagi.
Sebenarnya, aku tidak ingin memberitahunya tentang arti dari struk yang selalu aku beri kepadanya.
Rencanaku adalah: saat muncul berita bahwa jasadnya ditemukan, luka yang dimiliki korban itu akan dijelaskan. Dengan begitu, Ryan akan sadar sendiri dengan kecocokan luka dan barang-barang yang kubeli di minimarket. Sehingga aku tidak perlu capek-capek menjelaskan padanya seperti ini.
"Lu yang beliin semua alatnya? Buat bunuh orang? Buat nyiksa orang? Di unit lu? Dan lu ngapain saat itu?" tanyanya.
Saat itu?
Aku duduk diam.
Dasar Kyla bodoh.
Kenapa aku hanya duduk diam?
Bahkan semua korban melihat keberadaanku yang hanya duduk diam di sana. Hampir semua meminta bantuanku. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Jika mereka melihat ke arahku, aku hanya bisa menatapnya sedih dan menunduk.
Jika aku mengatakan ke Ryan bahwa aku hanya duduk diam, apa yang akan dia katakan padaku?
Mungkinkah...
Lu orang paling gila yang pernah gue temuin.
Atau...
Dasar bego!
Atau aku tidak perlu menjawab pertanyaannya?
"Lu pikir... gue ngapain saat itu?" Aku balik bertanya.
"Entahlah," jawabnya. "Ngurung diri di kamar?"
Aku menggeleng.
"Oh, lu cuma ngeliatin."
"Iya," jawabku lemah. "Tau dari mana?"
"Lu itu orangnya penakut. Lu bahkan ga berani langsung ngomong semuanya ke gue. Ngasih struk ke gue aja, gak ngomong apa-apa. Pokoknya lu kerjaannya cuma bisa diam doang deh," katanya.
Perkataannya ada benarnya juga. Meski aku benci mengakuinya, tetapi aku memang penakut.
"Ya, lagipula gue bisa apa? Kalo cuma ibu gue, mungkin gue bisa ngelawan. Tapi, ayah... dia benar-benar keji," jawabku.
"Udah. Gak usah ceritain sesuatu yang bikin lu ngerasa sakit," ucap Ryan.
Aku mengangguk lemah.
"Lu pernah laporin orang tua一ah, nggak jadi. Pasti lu pernah. Dan pastinya lagi, itu bukan pengalaman yang menyenangkan," ucapnya.
"Hm," jawabku singkat.
"Karena gue udah janji bakal bantuin lu, gue bakal bantu nangkep orang tua lu," ucapnya.
Aku mengangkat kedua alisku一terkejut.
"Sekarang, kita susun rencana dulu," lanjutnya. "Kunci utama untuk laporin orang itu, harus punya banyak bukti. Kalau dikit, pengacara mana pun juga bisa memenangkannya."
Aku mengangguk. "Bagaimana caranya?"
"Foto, video, senjata, helai rambut, sidik jari," ucapnya. "Itu semua bukti yang harus kita dapetin. Tapi yang paling berpengaruh itu video dan foto."
"Bagaimana caranya?" tanyaku.
"Sebelumnya, gimana teknik orang tua lu sampai-sampai korban itu ada di unit?" tanyanya.
"Pokoknya, ayah gue keluar apartemen. Pas balik lagi ke unit, korban itu udah dibawa sama dia. Kadang pake koper, kadang pake tas tenteng, kadang jalan bareng korban. Entah trik apa yang dipake sama ayah," jelasku.
"Kalo gitu, gue minta tolong sama lu," jawab Ryan.
"Apa?"
"Lu deketin ayah lu. Lu pura-pura mau menjadi pembunuh seperti dirinya. Nah, kemungkinan besar, ayah lu bakal ngasih tau triknya itu. Setelah itu, laporin ke gue tempat ayah lu mancing korbannya."
"Itu mustahil. Ayah gue tau banget kalo gue bener-bener benci membunuh," ucapku. "Lagian lu mau ngapain di tempat itu kalo gue udah kasih tau?"
"Gue bakal nunggu di sana," jawabnya. "Dengan kamera."
=======
09-07-2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top