Dua Puluh Satu

Anne's POV

Di hari Kyla ditangkap.

||Rabu, 11.00||

Aku mencari semua struk milik Kyla. Cukup sulit untuk mencarinya di dokumen arsip. Namun, karena waktunya belum mencapai satu bulan, maka tidak sesulit yang kubayangkan.

Ketika pertama kali Kyla membeli di sini, aku sudah memiliki firasat. Apalagi, di keesokannya, ada berita tentang orang hilang. Setiap Kyla membeli di malam harinya, maka besok paginya ada berita orang hilang. Selalu begitu.

Tetapi, karena Kyla pernah bilang bahwa itu untuk restorannya, aku langsung lega. Aku tidak menyangka jika ia berbohong. Lebih tidak menyangka lagi ketika tahu kehidupannya sangat gelap.

Ryan sudah menjalani tugasnya dengan baik. Di pagi hari ini, sudah ada berita ditemukannya tiga jasad di sungai. Sekarang waktunya aku yang menyerahkan bukti-bukti ini.

Setelah selesai mencetak ulang semua struk milik Kyla, aku pun pergi menuju kantor polisi.

***

"Siapa namamu?" tanya polisi.

"Anne."

"Jadi, kau bilang kalo seorang anak remaja yang membunuh mereka semua?"

"Iya, benar. Aku sudah curiga sejak dulu. Tapi, karena ia tampak masih sangat muda, aku tidak percaya. Namun, aku yakin seratus persen sekarang."

"Apa kau tahu siapa nama anak itu dan tempat tinggalnya?"

"Namanya Kyla. Aku pernah berkenalan dengannya karena ia sering datang. Dia tinggal di Apartemen Thulla. Tapi aku tidak tahu unit berapa," ucapku.

Polisi itu mencatat semua yang aku katakan.

"Dilihat dari barang-barangnya, sangat cocok dengan hasil autopsi. Terima kasih banyak, Nona Anne," ucap polisi itu.

"Tapi, bagaimana seorang anak SMA bisa membunuh sebanyak sebelas orang?" tanya polisi yang ada di sebelahnya.

"Aku tidak tahu. Padahal ia anak yang baik. Tapi, aku yakin sekali bahwa dia pelakunya," jawabku.

"Aneh juga. Jika ia mau membunuh orang, kenapa ia membelinya di minimarket? Bukankah akan ketahuan? Seharusnya ia beli melalui toko biasa," ucap polisi tadi.

"Iya, aku juga heran. Tolong segera di selidiki ya, Pak. Aku sangat takut karena kasus ini terjadi di dekat perumahanku," ucapku.

"Baiklah. Tolong tulis nomor ponselmu di sini." Polisi itu menyodorkan kertas dan pen. "Mungkin kami akan membutuhkan kesaksian dari nona lagi."

***

||10.29||

Kyla's POV

Satu bulan setelah Kyla berada di rumah sakit jiwa.

"Ryan, lu sebaiknya cepat pulang. Firasat gue gak enak," ucapku.

Jika ada yang mengunjungiku, pasti orang tuaku mengetahuinya. Ini bahaya. Bisa-bisa Ryan yang terkena imbasnya.

"Kenapa? Bukankah kita harusnya mematangkan rencananya lagi?"

"Kalo orang tua gue tahu lu ke sini, dia bisa bunuh lu," ucapku.

"Orang tualu cuma bunuh perempuan," jawab Ryan santai.

Orang ini tidak ada takutnya sama sekali ya?

"Sekali pembunuh, tetap pembunuh," ucapku.

"Lu mau sampai kapan ada di sini?" tanya Ryan mengganti topik.

"Lu sendiri mau sampai kapan di sini?" aku bertanya balik.

"Iya, iya. Gue pulang. Padahal gue udah jauh-jauh ke sini," jawab Ryan.

"Emangnya ada yang minta?"

"Nggak ada. Tapi gue yakin, lu pasti butuh gue."

"Tch. Sana pulang. Hati-hati di jalan. Siapa tahu ada yang menguntit," ucapku.

Ryan yang hendak membuka pintu itu tiba-tiba kembali duduk di depanku.

"Ada yang nguntit?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Ada yang memperhatikan gue di sini. Ayah gue pasti ga bakal segampang itu buat melepas gue."

"Terus gimana dong? Kalo gue diikutin sampe--"

"Nggak, Ryan, nggak bakal," potongku lalu tertawa. "Dia gak mungkin nguntit elu. Tugas dia cuma liatin gue."

"Tawa lo," ucap Ryan kesal. "Padahal gue udah takut. Tapi gak apa-apa. Yang penting, lu masih bisa ketawa. Dadah!"

Kali ini, Ryan benar-benar keluar dari ruanganku. Wah, kenapa aku merasa kesepian lagi? Kehadiran Ryan memang memberi dampak yang besar bagiku.

***

||19.00||

Aku melihat jam dinding sambil tersenyumㅡlagi. Biasanya ini waktunya aku kembali dari minimarket.

Apakah ayah dan ibu masih tepat waktu seperti dulu? Pasti mereka kesulitan dalam membeli senjata. Aku jadi kasihan pada mereka.

Tok tok tok!

"Kyla, waktunya pemeriksaan," ucap perawat.

Aku hanya mengikuti pemeriksaannya dengan malas.

"Apa kau masih suka mengalami halusinasi?" tanyanya.

Loh? Mengapa menanyakan itu padaku? Memangnya orang yang berhalusinasi itu sadar kalau dia halusinasi?

"Sepertinya masih," jawabku.

"Tapi, dari laporan perawat lain, kamu tidak memiliki gejala apapun lagi," ucapnya.

"Memangnya aku berhalusinasi setiap saat?"

Perawat ini bodoh atau apa sih? Aku jadi tidak sabaran menjawab pertanyaannya.

"Kau tampaknya sudah normal. Mau aku beritahu bahwa kamu sudah siap ke penjara?"

Shit.

"Penjara?! Penjara?! Borgol? Ahahahaha!" teriakku sehisteris mungkin.

Perawat itu segera meninggalkan ruanganku ketika mendengarnya.

Baguslah.

Sudah banyak perawat yang mengurusku. Banyak juga yang mengatakan bahwa aku normal. Ya, memang normal. Tapi, aku tidak ingin keluar dari sini.

Aku cukup menunggu hasil dari rencana Ryan dan Kak Anne. Apakah berhasil?

Tok tok tok!

Apa lagi sih? Mau periksa apa lagi?

Pintu ruanganku terbuka lalu terlihat ada laki-laki yang sepertinya berdarah Amerika. Dari pakaiannya, terlihat seperti preman.

"Hoi!" teriaknya.

Siapa dia? Apa dia salah masuk ruangan?

Firasatku tidak enak.

Atau dia adalah suruhan ayah?

"Siapa anak laki-laki tadi? Apa kau meminta pertolongan kepadanya?" tanyanya.

Sudah kuduga. Apa yang harus kukatakan?

"Bisakah kau menutup mata untuk kali ini? Tolong jangan beritahu ayahku. Aku mohon," jawabku.

Laki-laki itu membulatkan matanya. "Tentu saja tidak bisa. Aku sangat setia padanya. Jawab, siapa dia dan di mana rumahnya?"

Aku membeku. Aku harus menjawab apa? Berhadapan dengannya lebih menegangkan daripada dengan ayahku.

Lelaki itu menghampiriku. Jantungku berdetak tidak karuan.

"AKH!" teriakku.

Ia menusukku. Cukup lama hingga ia melepaskannya.

Aku langsung terjatuh ke lantai. Aku berusaha bergerak. Namun, rasanya badanku sangat kaku.

Aku menahan keluarnya darah dari lukaku dengan salah satu tanganku. Tanganku yang satunya lagi kugerakkan menuju tombol emergency.

Aku langsung menghela napas lega ketika berhasil menekannya. Sepertinya laki-laki itu tidak menyadarinya. Ia hanya berdiri di hadapanku.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki yang mendekat.

Pintu ruanganku langsung dibuka dengan keras lalu muncul beberapa perawat. Suruhan ayah itu terkejut lalu berusaha untuk kabur. Namun, para perawat segera menangkapnya.

Tidak lama kemudian, pandanganku gelap.

=======

24-06-2019

Satu bab lagi The Bill tamat! Happy ending atau plot twist? Hiyahiyahiya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top