Dua Puluh
Ryan's POV
Tiga hari sebelum Kyla ditangkap.
Awalnya, aku hanya iseng berbelanja di minimarket. Lalu, tidak sengaja aku bertemu dengan Kak Anne. Kak Anne pun menanyakan kabar Kyla kepadaku.
"Apa restoran temanmu laku?" tanya Anne.
"Restoran temanku?" tanyaku.
Setahuku, aku tidak pernah memiliki teman yang memiliki restoran. Aneh. Kenapa juga ia mengenalku?
Ah, benar. Aku kan pernah ke sini saat beli minuman bersama Kyla.
"Iya, temanmu Kyla."
"Sejak kapan ia membuka restoran?"
"Loh? Mengapa ia memberitahuku tapi tidak memberitahumu?"
"Dia memang tidak pernah membuka restoran," jawabku.
Apa Kyla berbohong kepada kasir ini? Tetapi ia tidak pernah menceritakannya padaku.
"Loh? Ia pernah bilang kepadaku bahwa orang tuanya adalah pemilik restoran. Makanya ia sering membeli peralatan dapur di sini."
Aku mulai mengerti yang dimaksud olehnya. Kyla memang tidak ingin orang lain tahu tentangnya. Sehingga, ia mau tidak mau harus berbohong.
Aku mendapat ide bagus. Bagaimana jika Kak Anne membantuku?
"Kak Anne, apa kau bisa membantuku?" tanyaku.
"Bantu apa?"
"Aku akan menceritakan semuanya. Apa kau ada waktu besok?"
"Besok aku kuliah dulu. Apa jam lima sore bisa? Di kafe depan," ucap Anne sambil menunjuk kafe yang letaknya di seberang minimarket.
"Baiklah."
***
||Keesokannya, 17.00||
"Kau minta bantuan apa?" tanya Anne.
"Bantu Kyla."
"Bantu Kyla? Memangnya kenapa?"
"Dengarkan baik-baik. Jangan teriak ataupun berbicara sebelum aku selesai bercerita," ucapku.
Aku menceritakan semuanya. Mulai dari Kyla yang sengaja menjatuhkan struknya kepadaku hingga keadaan Kyla sekarang. Aku memberitahu semuanya. Aku berharap Kak Anne bisa membantu.
Kak Anne menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Aku mengerti. Jadi, aku harus apa?"
"Kakak harus mencari semua struk milik Kyla. Kita harus menjadikannya bukti. Untuk tempat korbannya dibuang, aku tinggal melaporkannya ke polisi. Semua korban itu bisa diautopsi dan kita satukan kecocokannya dengan struk belanjaan Kyla."
"Kalau begitu, Kyla akan dianggap menjadi pembunuh dong?"
Aku menggaruk kepalaku. "Iya juga. Bagaimana caranya ya agar dia tidak ditangkap?"
"Jadi, kamu mau orang tua Kyla ditangkap tapi Kyla nggak ditangkap? Meski udah jelas bahwa Kyla adalah kaki tangan?"
Aku mengangguk.
"Bagaimana jika kita serahkan dulu semua buktinya kepada polisi? Biarkan Kyla masuk penjara."
"Hah? Itu gila, Kak. Orang tuanya bebas dong?"
Kak Anne menggeleng. "Kita biarkan Kyla dipenjara. Dengan itu, kasus pembunuhan yang dilakukan orang tuanya selanjutnya, pasti tidak ada sangkutpautnya dengan Kyla. Kau mengerti maksudku?"
Aku berpikir cukup lama mengenai ide Kak Anne. Berarti, untuk menangkap orang tua Kyla, harus ada yang dikorbankan terlebih dahulu. Dan korbannya adalah Kyla.
Aku sungguh kasihan kepada Kyla. Ia sudah melewati banyak rintangan. Setelah itu, ia masih harus mendapat masalah yang lebih berat lagi? Kenapa hidupnya sangat kejam?
Jika ia masuk penjara, maka ia akan putus sekolah juga. Bagaimana dengan masa depannya?
Kenapa semuanya harus terjadi pada Kyla?
"Semua korban yang sudah ditemukan itu, apa ada sidik jari?" tanya Kak Anne.
"Sepertinya tidak. Orang tuanya tidak mungkin seceroboh itu. Tapi ada satu korban yang ditemukan sehelai rambut."
"Aku rasa itu rambut milik Kyla."
"Kenapa?" tanyaku.
"Kau bilang bahwa orang tuanya sungguh pintar bukan? Bahkan mereka bisa membodohi polisi. Kyla juga pernah menghubungi polisi. Pasti mereka ingin menjebak anaknya sendiri. Kalau korbannya ditemukan pun, pasti yang kena adalah Kyla."
"Jadi... rencana kita bagaimana?" tanyaku. "Apa kita harus mengorbankan Kyla?"
"Tidak ada pilihan lain," jawab Kak Anne. "Aku tidak menyangka bahwa Kyla menjalani hidup seperti ini."
"Apa aku harus memberitahu rencana ini kepada Kyla?"
"Jangan!" cegah Kak Anne dengan cepat. "Jika ia tahu, ia tidak mungkin mau menjalaninya. Yang ada, dia malah melakukan hal yang lebih beresiko lagi."
"Baiklah. Aku akan melapor polisi mengenai jasad-jasadnya. Jika media sudah menyiarkannya, maka kakak harus menyerahkan semua bukti struk itu kepada polisi."
"Oke. Semoga rencana kita berhasil."
Kyla, kita akan segera menolongmu.
***
||10.00||
Kyla's POV
Satu bulan setelah berada di rumah sakit jiwa.
Satu bulan sudah berlalu. Aku tidak menyangka sudah berada di rumah sakit ini selama satu bulan. Aku sudah berpura-pura menjadi orang gila selama sebulan. Aku juga tidak ingin bergaul dengan pasien lain. Aku memilih untuk mengurung diriku di kamarku. Aku ingin memberi kesan misterius.
Aku sudah menjalani sidang dan hasilnya aku bersalah. Banyak tuduhan yang aku dapatkan. Untungnyaㅡah, apa masih bisa dibilang untung?ㅡaku dianggap sakit jiwa. Sehingga aku tidak perlu berada di penjara dan menghabiskan sisa hidupku di sana.
Kau tahu fakta yang paling mengejutkan saat sidang? Sehelai rambut yang pernah ditemukan di jasad korban adalah milikku. Pihak forensik sudah memeriksa kecocokan DNA-ku. Kenapa ada di sana? Apa ayah dan ibu sengaja menaruhnya karena tahu hal ini akan terjadi?
Sungguh, aku tidak mengerti jalan berpikir mereka. Jika mereka sebegitu jeniusnya, maka seharusnya aku lebih jenius dari mereka.
"Nona Kyla, ada tamu untukmu," ucap perawat setelah mengetuk pintuku.
Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung. Siapa yang mau bertamu? Selama satu bulan ini, tidak ada satu pun orang yang menjengukku. Tidak heran, sih. Kan aku hanya memiliki ayah dan ibu. Mereka mana mau datang ke sini.
Beberapa saat kemudian, datanglah seorang laki-laki. Lalu, perawat itu meninggalkan kita berdua.
"Hai, Kyla," sapanya.
Aku membulatkan mataku. "Ryan!"
"Maaf membuatlu menunggu," ucap Ryan. "Maaf juga untuk semua ini."
"Semua ini? Maksudnya?"
"Gue yang bikin lu masuk ke sini. Ke rumah sakit jiwa ini," jawab Ryan.
"Hah?"
"Gue rencanain semuanya sama Kak Anne. Pegawai minimarket itu," jelas Ryan. "Bagaimana dengan rencana gue ini?"
"Hah?"
Aku belum bisa mencerna ucapan Ryan. Apa maksudnya? Rencana? Kak Anne?
Ryan terkekeh. "Ini rencana yang sangat matang. Inget kan kalo gue pernah bilang ke lo: apapun yang terjadi, jangan merasa panik ataupun takut. Ini yang gue maksud."
"Apaan sih? Ngomong yang jelas."
Kenapa ini? Kenapa aku jadi tidak bisa mencerna ucapan orang? Apa karena aku menerima informasi yang terlalu mendadak? Atau karena aku terlalu lama berada di sini?
Ryan tersenyum lalu menceritakan semua yang telah terjadi.
Aku terdiam seribu bahasa setelah mendengar semua cerita Ryan. Aku tidak percaya dengan rencananya.
"Tapi kenapa? Kenapa gue yang menyedihkan ini bisa masuk ke rumah sakit jiwa?"
"Justru, awalnya gue dan Kak Anne kira lu bakal masuk penjara. Tapi, karena aksi percobaan bunuh diri, lu menyelamatkan dirilu," jawab Ryan.
"Gue baru dengar ada aksi bunuh diri yang bisa menyelamatkan. Itu konyol."
"Kalau kau tidak mela--"
"Kenapa lu gak kasih tau dari awal? Lu gak tau betapa hancurnya mental gue pas tahu kalo gue harus masuk ke rumah sakit jiwa? Semua peristiwa yang gue alamin itu berlangsung terlalu cepat dan beruntut. Bagaimana gue gak merasa panik dan takut?"
Sungguh, aku rasanya sangat marah. Aku ingin menyalahkan Ryan atas segalanya.
"Maaf untuk itu. Tapi, kalo gue kasih tau dari awal, rencananya tidak akan berjalan mulus. Gue gak mau lu harus akting. Gue maunya lu melaluinya dengan senyata mungkin. Dengan begitu, rencananya akan berjalan dengan baik."
"Tapi gak gini juga, Ryan. Rasanya gue bisa gila sungguhan jika melalui ini semua. Gue tertekan. Gue terlalu takut. Kenapa juga rencanalu terlalu ekstrem? Sampai berurusan dengan kepolisian? Gila."
"Habisnya gimana caranya biar orang tualu ketangkep dan lu gak berkaitan dengan itu? Ini satu-satunya cara. Lu bilang kalo mau ke mana pun lu pergi, pasti ada yang ngikutin lu kan?"
"Hm."
"Kalau di sini, apa masih ada yang ngikutin elu? Tempat ini adalah tempat pelarian terbaik. Ini tempat paling aman dan tempat paling jauh di dunia."
Aku terdiam. Rasanya emosiku sudah reda. Ucapan Ryan ada benarnya juga.
"Jadi, lu mau laporin kasus orang tua gue yang baru?" tanyaku.
"Iya. Selama satu bulan ini, gue gak nemu ada jasad di sungai ataupun di tempat sampah. Tapi, gak mungkin orang tualu gak membunuh orang selama sebulan penuh. Apa lu tahu tempat rahasia milik orang tualu?"
"Basement!" teriakku. "Basement rumah lamaku! Di sana juga ada satu jasad. Total korban orang tua gue ada dua belas, bukan sebelas."
Ryan membulatkan matanya lalu segera mengeluarkan ponselnya. Ia menyerahkannya kepadaku.
"Ketikkan alamat rumah lamalu. Cepat!"
Aku segera mengetikkan alamatku lalu mengembalikannya kepada Ryan.
"Bertahanlah sebentar lagi di sini. Lu pasti bebas. Ingat itu."
======
21-06-2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top