Delapan Belas
||Rabu, 18.21||
Kyla's POV
"Pak, kenapa orang tua saya tidak diborgol?" tanyaku.
"Tenangkan dirimu dan pastikan menjawab jujur saat diinterogasi, oke?"
"Tentu saja aku akan menjawab jujur sebagai saksi," jawabku.
"Loh? Kau akan diinterogasi sebagai pelaku," jawab polisi itu.
"Saudara Kyla, anda ditahan dengan tuduhan melakukan pembunuhan yang direncanakan," ucap polisi yang lain dengan tegas. "Tetapi, kau masih di bawah umur sehingga hukumanmu tidak akan seberat orang dewasa."
***
Begitulah alasan aku ada di ruang interogasi sekarang.
Setelah cukup lama, ada dua pria datang lalu duduk di depanku. Saat inilah aku mulai mendongakkan kepalaku. Aku bisa melihat ada semacam layar hitam di depanku. Pasti ada yang memperhatikanku dari sana.
Apa orang tuaku juga ada di sana? Jika para polisi percaya bahwa aku gangguan jiwa, mungkin orang tuaku diperbolehkan ikut memperhatikan.
"Kyla," panggilnya lalu mengeluarkan banyak foto perempuan dari sebuah map.
"Kau kenal dengan salah satu dari mereka?" tanya polisi itu.
Aku melihat satu per satu foto yang ada di sana. Totalnya ada sebelas foto. Tepat dengan total korban orang tuaku.
Aku terkejut saat melihatnya. Kenapa bisa tepat sebelas orang? Aku juga pernah melihat semua wajah mereka. Bukankah tidak semua korban ditemukan?
"Ada apa? Apa kau pernah melihat mereka?" tanya polisi saat menyadari bahwa aku terkejut.
"Iya. Mereka semua adalah orang yang dibunuh oleh orang tuaku," jawabku.
"Itu tidak masuk akal. Kaulah yang membunuh mereka semua. Kalau tidak, mengapa kau tahu wajah mereka?"
"Aku sudah bilang berkali-kali bahwa aku saksi."
"Saksinya adalah orang tuamu. Jangan memutarbalikkan fakta."
"Persetan dengan itu semua! Aku penasaran dengan sesuatu," ucapku.
"Apa?"
"Dari mana kalian bisa mengidentifikasi sebelas perempuan ini?"
"Memangnya ada masalah dengan itu?"
"Iya. Sangat bermasalah," jawabku. "Orang tuaku membunuh orang secara acak tanpa motif. Namun, kenapa kalian yakin bahwa kesebelas perempuan ini dibunuh oleh orang yang sama?"
"Tentu saja kita memiliki bukti," jawab polisi dengan santai lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas dari map yang sama.
Aku terkejut saat melihatnya.
Apa-apaan ini?
Struk belanjaanku dari minimarket berada di atas meja semua. Semuanya tanpa terkecuali. Aku menutup mulutku. Dari mana pihak kepolisian bisa mendapatkan ini semua?
"Barang yang tercantum di struk ini cocok semua dengan hasil autopsi," ucap polisi.
"Apa benar kau yang membeli semua ini?" tanya yang satu lagi.
"Iya," jawabku.
"Apa yang kau lakukan dengan benda-benda ini?"
"Aku memberikannya kepada orang tuaku. Orang tuaku yang menyuruhku."
"Orang tuamu tidak mengatakan hal itu. Mereka bilang bahwa kau yang membunuh mereka sendiri."
"Mereka berbohong. Apa kau lebih percaya omongan orang dewasa daripada omongan bocah?"
"Tidak. Kami lebih percaya omongan orang waras."
"Apa maksud Bapak?" tanyaku geram.
Dengan kata lain, aku dianggap orang gila? Begitu maksud mereka? Mereka benar-benar mengira bahwa diriku sakit jiwa?
"Mereka adalah pembunuhnya! Kedua orang tuaku adalah pembunuhnya! Seharusnya kalian menahan orang tuaku. Aku hanyalah saksi di sini," ucapku.
"Mengapa kau membunuh mereka semua?" tanya polisi itu seakan-akan tidak mendengar ucapanku. Sialan.
"Aku tidak membunuh mereka!"
"Mohon dijawab selagi kami tanyakan baik-baik," ucapnya. "Apa ada hubungannya dengan hilangnya organ dalam mereka semua?"
"Aku tidak membunuhnya! Kedua orang tuaku yang membunuhnya! Mereka berdua menjual organ tubuh dari korban di pasar gelap. Kalian harus memeriksa situsnya sekarang juga!"
"Hm? Pernyataan orang tuamu berbeda denganmu," ucap polisi itu.
Tiba-tiba, pintu ruangan itu dibuka. Muncul seorang pria dengan seragam polisi.
"Mohon ikut kami. Psikiaternya sudah datang," ucapnya.
Aku menoleh sebentar padanya lalu melanjutkan ucapanku.
"Tapi apa yang aku katakan itu semuanya benar! Aku tidak berbohong sedikit pun! Aku selalu menjadi saksi selama orang tuaku membunuh semua orang itu. Aku tidak melakukan apa-apa!"
"Kau tidak melakukan apa-apa? Lalu apa yang bisa kau jelaskan dengan struk ini?" tanya polisi sambil menunjuk kumpulan struk belanjaanku.
"Aku dipaksa. Aku diancam. Aku hanyalah budak bagi kedua orang tuaku!" teriakku. "Orang tuaku melakukannya! Mereka yang sakit jiwa!"
Setelahnya, aku ditarik paksa oleh polisi tadi lalu dibawa ke sebuah ruangan. Di sana ada seorang wanita berumur tiga puluhan sedang duduk di sofa. Aku diperintahkan untuk duduk di seberang wanita itu.
"Selamat malam, Kyla," sapa wanita itu. "Saya Dokter Naomi. Mohon buat dirimu nyaman selama menjawab pertanyaan dariku."
Aku masih terdiam. Aku terlalu terkejut untuk situasi ini.
Sungguh? Aku harus berkonsultasi kepada psikiater?
Sebenarnya ada apa ini? Kenapa hidupku seperti ini? Kenapa tiba-tiba? Padahal aku sedang berusaha menjalani kehidupan normal. Kenapa jadi seperti ini?
Rasanya seperti mimpi. Terlalu random untuk menjadi kenyataan.
"Aku dengar kamu mencoba bunuh diri. Apa kali ini adalah kali pertamamu?" tanya dokter itu.
"Iya."
"Apa sebelumnya kamu sudah pernah berpikir untuk bunuh diri?"
"Pernah."
"Selalu merasa seperti itu? Atau hanya saat kamu merasa tertekan?"
"Keduanya mungkin? Karena aku selalu merasa tertekan selama aku hidup."
Dokter Naomi tersenyum tipis. "Mengapa kau membunuh orang-orang itu? Mereka tidak bersalah."
"Bukan aku yang membunuhnya. Orang tuaku yang melakukannya."
***
||Rabu, 21.00||
Banyak sekali pertanyaan yang aku jawab hari ini.
Sekarang aku sedang berada di sel penahanan. Sedangkan orang tuaku sedang berdiskusi dengan para polisi.
Sudahlah, aku sudah tidak peduli dengan semuanya. Apapun keputusannya, aku harus bisa memutarbalikkan semuanya. Aku harus bisa menangkap kedua orang tuaku. Bagaimanapun caranya.
Tapi jujur, aku sangat takut di situasi ini.
Tempat ini seperti neraka. Berada sendiri di sini bukanlah hal besar. Namun, melihat banyak orang dewasa mengerumuni tempat ini, membuatku sesak.
Ini membuatku berpikir negatif. Bagaimana jika orang tuaku dinyatakan tidak bersalah dan aku menjadi pelakunya? Berarti aku harus menjalani sisa hidupku di penjara?
Aku meringis membayangkannya.
Aku sangat berharap ada keajaiban yang terjadi di sini. Siapa tahu ada saksi pembunuhannya? Seperti tetangga ataupun sekuriti apartemen.
"Saudara Kyla," panggil seorang polisi sambil membuka kunci selku. "Silahkan ikut kami."
Aku mengikuti polisi itu. Entah dia membawaku ke mana. Di situasi seperti ini, aku tidak bisa mengingat jalanan kantor polisi. Padahal sedari tadi aku sudah memutarinya.
Lalu, sampailah kita ke pintu kaca besar. Dari pintu itu memperlihatkan lingkungan luar kantor yang gelap.
Ah, pintu keluar. Apa artinya aku dibebaskan sekarang? Tetapi, masih ada borgol di tanganku.
"Ini merupakan keputusan kami setelah berdiskusi lama. Karena kamu memiliki gangguan jiwa, maka kamu akan dirawat di rumah sakit jiwa. Kamu tidak ditahan di penjara," ucap polisi itu. "Orang tuamu juga sudah menandatangani surat untuk memasukanmu ke sana."
Haruskah aku bersyukur atau tidak bersyukur? Tetapi, bukankah rumah sakit jiwa itu lebih parah lagi?
Aku dibawa masuk ke mobil. Di sana sudah ada kedua orang tuaku. Mereka melihatku dengan ekspresi yang tidak bisa diartikan. Aku tidak mengerti maksud mereka.
Selama perjalanan, aku memikirkan banyak. Hingga tiba-tiba, aku teringat sesuatu.
Shit. Media!
=====
16-06-2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top