Pengkhianatan

"Bagaimana?"

Albern Bayley tahu, mereka tidak berada di tempat yang baru. Mereka pernah ke sini beberapa hari setelah tinggal di rumah Nyonya Dalkins. Saat itu musim dingin dan Albern harus merangkul Auden agar mantel yang diberikan Nyonya Dalkins mampu melindungi tubuh mereka. Dengan menenteng ember di satu tangan dan berusaha menyesuaikan langkah masing-masing, kaki mereka menapaki Oldstreet yang menurun; memunggungi kastil yang tampak buram. Tidak terdengar obrolan. Hanya kepulan asap dari mulut mereka yang saling mendahului. Juga suara meringis kompak, ketika embusan angin lebih kencang menampar wajah mereka.

"Lumayan." Albern sudah bertelanjang dada. Bahkan lututnya tengah merasakan arus pelan sungai. Dia kembali menghadap Auden. Melambai. "Ayo, sebelum wanita kelebihan lemak itu pulang dan habislah kita."

Auden bergeming, tampak melamun. Sesekali kepalanya bergerak ke kiri atau ke kanan; hanya untuk mempertegas air mukanya yang seolah sedang diintai. Bahunya juga akan menjengit tiap kali angin membuat daun di semua pohon bergesekan; menimbulkan desau secara mendadak.

Albern mendengkus dan kembali menginjak batu-batu di dasar sungai untuk ke tepi; berdiri di depan Auden. Keadaan Auden mengingatkan dia pada kejadian di akhir musim dingin, ketika Auden kembali dari liburan. Dan itu lebih parah dari ini. Auden mendadak tidak ingin sekamar dengannya. Menolak mengerjakan tugas bersama-sama. Makan sendiri tanpa seorang pun boleh mendekat. Merapatkan mulut tiap kali ditanya. Berhari-hari seperti itu, hingga dia merasa harus memaksa lidah Auden untuk bergerak.

Albern tidak marah, jika liburan mendadak itu yang membuat Auden merasa tidak enak. Toh Auden pergi karena dia beruntung. Terpilih sebagai satu-satunya anak dari Fogger yang mendapat kesempatan ikut berlayar. Seharusnya, Auden kembali dengan membawa cerita yang menakjubkan. Tentang sensasi berjalan terhuyung-huyung di geladak kapal, misalnya. Atau mengenai ombak besar yang membuat mual semakin parah. Atau mungkin--jika Auden mampir--menggambarkan sedikit penampakan wilayah rumah mereka yang dulu. Apa sudah dibuat pemukiman lagi? Apa masih berupa puing-puing yang berserakan? Namun, sampai sekarang Auden masih bungkam, dan Albern tidak lagi ingin tahu.

Albern nyaris terjengkang. Tanah di hulu sungai terasa lebih licin dan berlendir di telapak kakinya yang telanjang serta basah. Namun, langkahnya tetap cepat menghampiri Auden yang kini bersandar di pohon. Tanpa basa-basi dan tidak peduli kakinya terimpit di antara akar pohon yang menyembul dari tanah, Albern menunduk; mempertemukan keningnya yang sempit dengan kening lebar Auden.

"Jadi, sekarang karena apa?" Albern bersedekap setelah yakin suhu tubuh Auden tidak berbeda jauh dengannya.
"Ah, kau ingin berlayar lagi? Ini masih awal musim panas--"

"Maaf."

Kedua ujung alis Albern yang tebal mendadak berkerut. "Seingatku, kita tidak sedang bertengkar." Mata cokelatnya berusaha menangkap ekspresi Auden, tetapi Auden menunduk terlalu dalam.

Saat Auden enggan menatap balik; meremas jemari tangan; terlihat gemetar, saat itu Albern paham. Namun, apa? Apa yang membuat Auden merasa bersalah sampai seperti itu?

Kemarin dulu Auden masih mengoceh tanpa henti tentang ... sebenarnya, Albern tidak menyimak. Dan semua berubah setelah Auden masuk ke ruangan Nyonya Dalkins semalam. Tidak mengajaknya. Tanpa berbagi tentang apa yang dibicarakan. Apa mungkin Auden akan berlayar lagi? Jika itu benar, dia akan berusaha untuk bisa mengendalikan diri. Tidak akan berteriak heboh. Menahan pita suara untuk berkoar-koar memamerkan keberuntungan Auden. Mungkin karena itu Auden risi dan memutuskan pergi sebelum dia bangun.

"Sudah kubilang mereka ada di sini. Dan benar, 'kan? Dua butir telor jatah kalian untukku."

Albern mendesah. Dia hapal siapa pemilik suara serak itu.

"Jangan sembarangan! Aku yang lebih dulu mengusulkan untuk ke sini."

Juga pemilik suara yang menyahut. Dugaannya benar ketika menoleh. Tiga remaja menghampiri mereka.

Albern kembali menatap Auden. "Kali ini, kau harus bercerita. Supaya aku paham." Albern mengusap kasar rambut pirang Auden. Dan ketika iris cokelatnya bertemu dengan iris zamrud Auden, bibir tebalnya tersenyum. "Ayo, sekarang waktunya beraksi."

"Kalian mau mandi siang?"

Albern tidak menggubris pertanyaan Leyn--si anak yang bersuara serak--dan tidak mengacuhkan tangan
Derren yang terangkat; menanti tepukan, serta mendiamkan Sath yang protes. Albern memakai kembali bajunya yang tadi tergantung di dahan paling rendah. Dia lantas merangkul Auden.

"Tuan Grimster sudah berangkat dan yang lain juga." Derren memulai.

"Si wanita kelebihan lemak bahkan sudah dari pagi." Albern menimpali, lalu terkikik. "Apa dia pikir akan mendapat tambahan bahan?"

"Sekalipun dapat, jatah kita tetap."

Albern mengangguk atas pernyataan Sath. "Semangkuk kecil yang encer dan hanya dua kali. Ayo, kita lakukan seperti biasa dan berkumpul seperti biasa."

Leyn, Derren, dan Sath memimpin jalan. Namun, bagian belakang baju Albern ada yang menarik. Bocah sembilan tahun itu menoleh dan mendapati mata zamrut Auden yang berkaca-kaca.

Albern mengabaikan lagi seruan protes Sath. Dia nyaris menggandeng tangan Auden yang ditutupi sarung tangan kulit. Auden bilang, sarung tangan itu berharga. Tidak ada yang boleh menyentuh, termasuk Albern. Dan Albern menghargai hal itu. Mungkin itu satu-satunya benda fisik yang bisa didapat Auden dari liburan musim dingin. Jadi, setelah membuang napas keras, Albern merangkul Auden; mengajak berjalan. Namun, Auden tetap tidak mau bergerak.

"Semakin cepat, semakin baik!" Sath berseru lagi.

"Ini tidak benar, Albern," cicit Auden. Kepalanya kembali menunduk. Jemarinya saling meremas lagi.

"Ada apa dengannya?" Leyn bertanya tidak sabar. Langkahnya kembali mempersempit jarak antara dia dan Albern.

"Dia hanya menghambat! Sudah berapa kali kita nyaris tertangkap hanya karena dia tidak mau bergerak!"

Albern ingat kejadian dua minggu lalu. Ketika mereka masuk pekarangan belakang rumah Tuan Roben. Saat itu Leyn yang bertubuh paling besar berjaga di pintu depan; bertugas meniup peluit, jika Tuan Roben datang. Lalu, Derren dan Sath di bagian belakang; juga memegang tanggung jawab sebagai pengawas sekaligus pembuat celah di pagar kayu. Kemudian, Albern dan Auden yang melaksanakan tugas penting; menyelundupkan hampir semua telur di kandang ayam ke karung goni yang mereka bawa.

Seharusnya, Leyn tidak perlu meniup peluit, jika Auden bertingkah seperti biasa. Seolah-olah jiwanya diserap matahari di akhir musim semi, Auden hanya berdiri kaku. Tatapan matanya kosong, entah melamunkan apa. Namun, bibir tipisnya terus bergumam. Menyatakan secara berbisik kalau ini salah. Kegiatan mereka salah. Dan Albern menolak untuk setuju. Alih-alih mengiyakan, dia menarik bagian belakang baju Auden, dan memaksa sahabatnya itu menyelinap di celah pagar yang sudah dibuat Derren dan Sath.

Mungkin memang Auden sekarang menjadi penghambat. Entah karena efek liburan atau apa. Namun, Albern merasa kalau ucapan Sath, Derren, dan Leyn yang masih bersahutan menyudutkan Auden, itu salah. Dibandingkan lusinan telur, tentu Auden lebih penting baginya. Auden yang selalu berada di sisinya ketika pertama kali mereka tinggal di desa ini. Bersama Auden, dia berbagi selimut dan semangkuk sop encer dari Nyonya Dalkins. Maka, ketika dia merasa bahu Auden gemetar, dia mengambil napas dan berteriak, "Kalau kalian mau, berangkat saja!"

Terjadi keheningan dari suara mereka.

"Kita sudah sepakat, ingat?" Sath yang menanggapi pertama kali. "Lagi pula, di antara kami tidak ada yang bisa menyelinap." Itu karena tubuh mereka yang besar dan tinggi. "Dan kalian berdua tidak memiliki peluit." Dia memamerkan peluit merah yang menggantung di leher.

"Ayolah, jangan begini. Kita saling membutuhkan. Ingat, ini awal musim panas, kita butuh banyak asupan makanan supaya kuat menerima perintah nanti." Leyn, yang sudah berdiri di hadapan Albern dan Auden, meremas pundak Auden. Namun, Albern langsung menepis tangannya. Sambil mengusap punggung tangannya yang memerah, dia berkata, "Kalau kau tidak mau ikut, pulang saja. Dasar pecundang!"

"Tidak ada yang berhak mengatakan itu padanya!" Albern tidak takut. Sekalipun Leyn, Derren, dan Sath terpaut lima tahun dari usianya, serta memiliki bobot tubuh yang jauh lebih berisi, dia tidak akan gentar jika harus saling menjotos. "Kalian yang pecundang!" Matanya nyalang menatap Leyn.

"Baik, baik." Leyn mengangkat tangan. "Aku hanya ingin mengingatkan, kesempatan ini akan terjadi dua minggu lagi. Mungkin saat itu, kami akan sekurus kalian, dan kalian tinggal tulang dibalut kulit."

"Kita akan ketahuan."

Albern menatap Auden. Suara Auden yang bergetar dan nyaris berupa bisikan bisa dia dengar dengan baik. Jadi, ini yang membuat Auden tidak mau jalan? Namun, selama ini pekerjaan mereka bersih.

"Tidak akan ada yang menangkap kita, kalau tidak ada yang mengadu," sahut Leyn.

"Sayangnya, Carrington sudah memberi tahuku semua."

Suara itu lantang, tidak berat, tetapi penuh penekanan. Tidak berasal dari salah satu mulut kelimanya. Namun, dari seseorang yang berdiri beberapa jarak dari punggung Derren dan Sath.
Seorang wanita bertubuh gemuk; berwajah bulat; dan memiliki tatapan bengis.

"Jadi, ini kelompokmu, Bayley?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top