The Best Part. 34

Caca mengayuh pedal sepeda, diikuti oleh keempat temannya. Seperti biasa, ada Gigi, Dika, Raihan dan Haikal. Kali ini mereka akan berkunjung ke rumah ayah dan ibu Caca. Yang tak lain adalah tempat pemakaman umum. Rumah terakhir manusia di muka bumi.

Setelah pulang sekolah, ketika melihat cuaca tidak panas siang menjelang sore ini, Caca mengajak mereka untuk datang ke pemakaman. Menepati janjinya waktu itu.

Raihan heboh, diikuti Haikal, sedangkan Dika dan Gigi santai saja.

"Eh, Ca, perlu beli bunga yang banyak nggak, sih, buat ayah sama ibu lo? First impression mereka ketemu kita harus baik, lho. Kalau dari awal kita auranya negatif, ntar mereka nggak seneng lo temenan sama kita. Ya, nggak, sih?"

Dika geleng-geleng kepala. Raihan memang seperti itu, lalu Haikal menyusul.

"Iya, juga. Gimana, nih, Ca?"

Caca tertawa. Mengibaskan tangannya di udara. "Aduh, kalian santai aja, nggak papa. Nanti di pintu masuk TPUnya ada yang jual air sama bunga gitu, kok. Jangan berlebihan juga, nanti ayah sama ibu nggak suka. Kata Mbak Esha, gitu," paparnya.

Kemudian, di sinilah mereka berada. Setelah parkir, mereka mengikuti langkah Caca yang menjadi penunjuk jalan. Mereka juga sudah membeli bunga serta air. Raihan yang membawanya.

Ketika sudah sampai di samping makam ayah dan ibunya, Caca menarik senyum. "Ayah sama ibu ada di sini," ucapnya menoleh ke belakang, memberi tahu teman-temannya.

Mereka terdiam sambil memandangi dua nisan itu. Sudut hati mereka berdenyut saat melihat tanggal kematian orang tua Caca. Jika dihitung itu sudah belasan tahun silam, bahkan Caca pun belum lahir.

Caca mengusap nisan itu berganti. "Ayah, Ibu, Caca bawa temen-temen ke sini. Kalau biasanya cuma ada Gigi, sekarang nambah tiga orang, makin banyak. Mereka semua temen Caca, yang selalu ada kalau di sekolah bareng Caca. Katanya, mereka mau tahu dan kenal sama Ayah dan Ibu," ucapnya. Membuat Gigi langsung berjongkok di samping Caca, sedangkan ketiga laki-laki itu di sampingnya yang lain.

Gigi mengambil air dari tangan Raihan, lalu mulai membersihkan makam. "Di sini ada Gigi, Dika, Raihan sama Haikal, Om, Tante. Mereka baik semua sama Caca. Jadi, Om dan Tante jangan khawatir, Caca aman sama kami," ujarnya.

Caca menabur bunga pada makam ayahnya yang sudah dibersihkan dan disiram air, kemudian beralih pada makam ibunya sambil menahan sesak. Setelah selesai, ia melipat kedua tangan di atas lutut. Membenamkan wajahnya di sana.

Dika, Raihan dan Haikal memandangi Caca tanpa kata. Mereka bisa merasakan apa yang Caca rasakan. Mereka juga tahu bagaimana sesaknya rasa kehilangan dan rindu. Dan mereka mengerti, sekuat-kuatnya Caca mengelak jika gadis itu baik-baik saja, maka itu hanyalah sebuah kebohongan kecil. Karena bagaimanapun, hatinya berteriak ingin bertemu dengan orang tuanya.

Gigi mengusap bahu Caca. Memberi kekuatan agar Caca dapat tenang. Saat melihat dan mendengar Caca menangis, hatinya ikut berdenyut. Ia juga sama merasakan sesaknya. Pada akhirnya, dirinya juga akan ikut meneteskan air mata.

Dika berdeham, lalu membuka suara. "Salam kenal, Om dan Tante. Saya Dika. Kalau yang ini Raihan ..." Dika menunjuk Raihan yang duduk diapit olehnya dan Haikal. "... kalau yang ini Haikal. Kami semua teman Caca. Kami juga janji, bakal jadi teman yang baik buat Caca dan nggak akan buat Caca nangis."

"Bikin Caca bahagia itu sederhana lho, Om, Tante. Dikasih krayon aja seneng bukan main," ucap Raihan.

Haikal hampir melotot. "Apaan dah lo!"

Caca mendongak, lalu mengusap air matanya. "Bener, sih, itu," katanya.

Haikal memutar bola matanya malas. "Yeee!"

Mereka kemudian mengobrol sebentar di sana. Setelah itu pergi. Selesai berpamitan, Caca melangkah digandeng oleh Gigi.

***

Di depan perpustakaan, Afkar menemukan Caca yang lagi-lagi membawa tumpukkan buku paket. Kali ini tidak sebanyak tempo dulu. Tapi tetap saja akan berat dibawa oleh seorang perempuan.

Langkahnya yang lebar bisa menyalip tubuh Caca yang pendek dan langkahnya juga demikian. "Mau dibantuin?"

Caca mendongak dan berhenti melangkah. Mendapati Afkar berdiri di dekatnya. "A-eng ... nggak usah deh, Kak, nggak papa." Ia membenarkan letak buku yang melorot.

"Anak cowok kelas lo ke mana?"

"Ada di kelas semua, kok."

"Kenapa lo yang ambil buku paket ini?"

"Tadi aku habis dari ruang guru, terus kata guru yang ngisi pelajaran selanjutnya disuruh ambil buku paket ke perpus. Jadi, karena nggak bawa hape, ya udah langsung ke sini sendirian aja," jelas Caca, memberi tahu.

"Sini gue bantu. Mundur tangannya, nanti ke sentuh," ujar Afkar.

Caca mau tak mau langsung memundurkan tangannya dari tengah ke belakang. Afkar meraih buku itu dan mengangkatnya dengan mudah. Buku segitu tidak ada apa-apanya. Ringan.

Tanpa banyak kata, Afkar melangkah, diikuti Caca dari belakang. Koridor yang sepi membuat langkah kaki mereka menjadi pengisi suara di sana.

Ketika menoleh ke belakang, Afkar berdecak lirih. "Sini," katanya.

"H-hah?" Caca membeo.

"Jalan di samping, jangan di belakang."

Caca memandangi kaki Afkar. "Kakinya panjang banget," gumamnya.

Sudut bibir Afkar berdenyut. Ia berdeham untuk menahan sang bulat sabit yang akan terbentuk itu. "Karena gue tinggi."

Caca berhasil menyamakan langkahnya dengan Afkar. "Pelan-pelan aja, Kak, jalannya. Kaki aku pe-pendek," tuturnya.

Tiba-tiba saja, Afkar memikirkan sesuatu. "Lo udah tahu Irfan suka sama lo?"

Caca mendongak, menatap Afkar terkejut. "K-kok, Kakak tahu?"

Berarti itu anak udah ngaku. "Tahu sendiri, nggak sengaja," sahutnya.

"I-iya. Aku udah tahu juga."

"Terus, kalian?" Afkar meneguk ludahnya. Jangan pacaran, katanya dalam hati.

"Maksudnya?"

"Saling suka?" Afkar berdeham, lagi. Entah kenapa tenggorokannya sangat tidak bisa diajak kompromi.

Caca menggeleng cepat. "Nggak, kok!"

Afkar mengangguk paham, wajahnya masih datar.

Mereka kemudian terus diam setelahnya. Tiba di depan kelas Caca, Afkar menaruh tumpukkan buku itu di atas bangku panjang koridor. Berdiri menghadap Caca yang menatapnya lebih dulu, lalu ia melepas gelang miliknya.

"Gue minta satu hal sama lo, boleh?"

Mereka berdiri berhadapan. Setelah Afkar melirik dari jendela kalau anak kelas Caca tidak ada yang mengintip, ia menyodorkan gelang itu sambil menunggu jawaban dari Caca.

"A-apa, Kak?" Caca menatap gelang itu.

"Pegang gelang ini sampai lo lulus SMA, bisa? Gue minta lo jaga gelang ini baik-baik dan jangan sampai hilang. Kalau hilang, lo bisa bilang ke gue kapan pun." Afkar menjelaskan demikian.

Caca belum menerima gelang itu karena ia kebingungan. "Kenapa dikasih ke aku? Kakak, 'kan, bisa simpan sendiri?"

"Simpan, ya?"

Perlahan, Caca mengangguk, lalu menerima gelang itu. Membuat Afkar menarik senyum tipis.

Tanpa kata, ia sudah yakin akan sebuah pelabuhan yang tak akan mengecewakan.

Menitipkan sebongkah hati yang belum pernah disakiti oleh siapa pun.

Terus percaya pada takdir Tuhan jika masa depan akan membawanya pada sebuah rumah yang fondasinya baru saja ia letakkan dengan baik pada posisi masing-masing.

Pada Arsya Fidiya, jika memang gadis itu adalah pelabuhannya, kelak nanti ia berlabuh.

Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk dapat menarik gadis itu dalam dekapannya.

***

Yaa, gitu🥺

Tersirat perasaan Afkar tuh, bukan tersurat.

SPAM KOMENNYA MANA?

Besok ending guys, siap-siap yaaaaa

Subang, 14 Maret 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top