The Best Part. 33
Mendekati Ujian Akhir Semester, kesibukan semakin tampak. Seminggu lalu, Caca resmi keluar dari ekskul PMR. Alasan sepenuhnya bukan karena Irfan, akan tetapi karena yang lain. Ada beberapa alasan yang memang membuatnya memutuskan untuk keluar dari ekstrakurikuler itu.
Saat ini juga Caca sedang berada di gramedia, ditemani oleh keempat temannya. Siapa lagi kalau bukan Gigi, Dika, Raihan dan Haikal.
Sebenarnya, Haikal akhir-akhir ini sering sekali nempel pada Dika dan Raihan. Kebetulannya, di mana ada Gigi, di situ ada Haikal juga. Terkadang juga, jika Gigi ke kantin sendirian, Haikal akan mengekor. Membuat Gigi kebingungan.
Setelah pulang sekolah, Raihan memberikan ide untuk mampir ke sebuah mal. Katanya, lelaki itu suntuk jika langsung pulang ke rumah. Lagi pula, mereka tak pernah nongkrong di luar bersama-sama.
Mereka setuju, begitu juga Caca. Gadis itu sudah izin lebih dulu pada Akbar dan Esha. Setelah diperbolehkan, Caca ikut. Sepedanya ia taruh di sekolah. Dipasang gembok agar tidak dicuri. Tidak lupa juga menitipkannya pada penjaga sekolah.
Saat hendak ke mal, Gigi merebut kunci motor Haikal. "Lo bawa motor matic, 'kan? Gue bawa ya motornya. Lo naik ke Raihan atau Dika, kek. Enak aja mau bonceng gue atau Caca." Gigi sudah tahu tabiat Haikal, apalagi Raihan yang menyengir setelahnya.
"Pelan-pelan lo ya bawa motor gue. Kalau sampai lecet, lo gue bikin lecet juga."
Akhirnya Caca duduk di jok belakang dengan Gigi yang menyetir.
Sekarang, Caca menoleh pada ketiga laki-laki itu. Mereka sedang berdiri di depan rak komik, salah satu di antaranya komik Detektif Konan yang ada di tangan Dika. Ia berjalan menghampiri mereka.
"Kalian mau beli komik ini?"
Mereka menoleh. Dika menggeleng, lalu mendorong bahu Raihan. "Raihan mau beli, katanya. Buat ... buat siapa tadi, Han?"
Haikal menyahut, "Eva, anak IPS."
Raihan melotot. "Nggak, ya! Sembarangan!"
Caca tertawa melihat wajah Raihan. "Oh ... Raihan lagi suka sama cewek," katanya.
"Siapa? Siapa yang lagi suka sama cewek? Dika, Raihan atau daki kudanil ini?" Gigi datang, lalu menunjuk Haikal dengan novel yang ada di tangannya.
"Lo, tuh, punya masalah apa sih sama gue?" tanya Haikal tidak suka. Merebut novel dari tangan Gigi dan membaca judulnya. "Dia, Imamku." Ia menatap Gigi setelahnya.
Dika menaruh komik ke rak kembali, lalu terkekeh. "Buat lo tuh, Kal, judulnya. Spesial dari Gigi."
Gigi melotot dan mengambil novel miliknya, lalu menarik lengan Caca. "Ayo, Ca, ke kasir. Biar aja mereka di sini."
Caca tertawa dan mengikuti langkah Gigi. Ia sendiri membeli tempat pulpen baru, beberapa pulpen, sticky note, dan buku sketsa mewarnai.
Setelah membayar, mereka keluar dari gramedia. Melipir ke kafe lebih dulu untuk singgah.
"Pulpen lo masih banyak, kok udah beli lagi aja, Ca? Buset, dah, bagi-bagi ngapa?" Raihan membuka kantung belanjaan milik Caca tadi yang gadis itu taruh di atas meja, setelah pelayan selesai mencatat pesanan mereka.
"Itu nanti aku juga mau kasih ke adik aku, Han." Caca duduk di sebelah kiri Gigi, sedangkan di sebelah lainnya ada Dika.
"Adik lo cowok? Lho, bukannya lo itu ...." Raihan cepat-cepat membungkam mulutnya. Kebablasan!
Caca mengerjap, lalu terkekeh. "Cowok. Anaknya Mbakku, Mbak Esha, namanya Azhar. Karena udah bareng dari sebelum dia lahir, jadi ya aku anggap kayak adik aku sendiri. Meskipun nyatanya cuma adik keponakan," jelasnya.
"Nanti kapan-kapan kita boleh main nggak, Ca?" Raihan memang anaknya super penasaran. Lagi pula ia benar-benar sudah menganggap Caca seperti teman dekatnya.
"Main ke mana?"
Raihan mengetuk ujung jari ke atas meja. "Ke ... ke bokap sama nyokap lo. Tapi, misalkan nggak boleh juga nggak papa, sih, Ca."
Mereka semua menunggu jawaban Caca, termasuk Gigi. Meskipun ia sudah pernah ke pemakaman orang tua Caca, tetap saja Gigi ingin berkunjung ke sana lagi, apalagi bersama-sama.
Caca mengangguk sambil tersenyum. "Boleh. Nanti hari Minggu kita ke rumah ayah sama ibu bareng-bareng."
Setidaknya Gigi tahu, senyum itu menandakan kalau suasana hati Caca baik-baik saja.
***
Jika berpapasan di koridor sekolah atau di jalan tanpa sengaja, Afkar akan memberikan senyum tipis pada Caca, yang tidak akan disadari oleh gadis itu karena tertutup oleh mata tajam dan ekspresi datarnya.
Jaket yang waktu itu dipinjamkan pada Caca, sudah dikembalikan lusanya. Caca juga menitipkan stoples kue kering untuk umma dan Tisya. Hubungan mereka semakin membaik, meskipun tidak pernah—mungkin jarang—bertukar pesan. Itu juga jika ada kepentingan saja.
Bila ditanya apakah Caca masih merasakan debaran jantung yang menggila atau tidak saat bertemu dengan Afkar, maka akan dijawab iya, karena benar, jantungnya selalu berdebar gila hanya karena melihat wajah lelaki itu, sekalipun dari jauh.
Entah mengapa, yang jelas Caca tidak mengerti. Ia juga tidak bercerita tentang hal itu pada siapa pun karena menurutnya, itu bukan suatu hal yang penting, hingga harus diceritakan pada orang lain, termasuk Gigi yang menjadi teman dekatnya.
Lalu, bagaimana dengan Afkar?
Dari sudut pandang Caca, masih sama. Masih galak di waktu tertentu saat ia tidak sengaja menangkap lelaki itu bersama teman-temannya. Tatapannya masih tajam. Minim ekspresi. Bedanya, sekarang sudah tidak lagi marah-marah padanya karena memang jarang berinteraksi secara langsung.
Namun, jika itu dari sudut pandang Caca, maka berbeda dengan apa yang Afkar rasakan. Yang sama hanya debaran gila itu.
Sialnya, Afkar juga merasakan hal yang sama.
Kadang kala, ketika melihat Caca dari kejauhan dan tertawa bersama teman laki-lakinya, Afkar ingin ada di posisi lelaki itu. Ia ingin membuat seutas senyum itu tertarik. Kedua sudut bibir itu melengkung ke atas. Menciptakan pemandangan indah yang tak layak dinikmati banyak orang.
Hatinya terusik. Afkar tidak mengelak jika gejolak itu ada. Sepenuhnya sadar saat perasaan baru ternyata hadir dalam hati. Mengisi bagian kosong yang tak pernah ditempati oleh siapa pun.
Lalu, apakah kapalnya harus singgah ke pulau itu? Atau justru memantapkan langkah pada pelabuhan? Hatinya bimbang.
Akankah di pelabuhan kebahagiaan itu ada?
Apakah perasaan itu akan terus menatap, lalu seseorang juga merasakan hal yang sama?
Bukankah jodoh sudah pasti, sama seperti kematian, lalu kenapa ia bimbang dan ragu?
Tepukkan di bahu kanan membuatnya mengerjap. Ia mendapati Ganda duduk di sebelahnya dengan dua botol isotonik di tangan, mengulurkan satu padanya.
Mereka duduk di bangku tepi lapangan. Menyaksikan kedua temannya yang lain sedang bermain basket. Ganda tadi habis dari kantin.
"Mikir apaan lo?"
Setelah meneguk isi minuman hingga setengah, Afkar tetap menatap ke depan. "Pelabuhan itu akan mengecewakan atau nggak saat kita sampai di sana?"
Ganda terdiam beberapa saat, lalu berdeham. "Tergantung," jawabnya, membuat Afkar menoleh. Ia melanjutkan, "Tergantung gimana persepsi lo dari awal. Kalau dari awal lo yakin nggak akan mengecewakan, gue percaya itu pasti. Tapi, kalau dari awal lo ragu, bisa aja jadi kenyataan."
Bungkamnya Afkar membuat Ganda berasumsi jika temannya itu sedang merasakan perasaan baru. Ia juga sudah mengira siapa perempuannya. Dari tatapannya saja, Afkar memang memiliki perasaan itu. Tatapan yang akhir-akhir ini seringkali ia tangkap tanpa sengaja.
"Kadang, ada harapan yang nggak sesuai sama kenyataan di masa depan. Kadang juga, ada saat di mana kita menyesal karena yakin sama harapan itu, namun ternyata Tuhan membelokkan kenyataan dari harapan kita."
Ganda memiringkan tubuhnya, sedikit menghadap Afkar. "Tapi, Kar. Tuhan melakukan itu bukan semata-mata agar kita kecewa, marah, dan sakit hati. Tapi Tuhan tahu mana yang lebih terbaik buat kita, umat-Nya," timpalnya menjelaskan.
"Gue ... nggak salah, 'kan, punya perasaan ini?"
"Sama sekali nggak." Ganda menggeleng tegas. "Pilihan lo cuma dua. Yakin atau nggak sama sekali."
***
Aku mau kebut ending TBP
Mungkin 2 part lagi, pas di part 35
GIMANA MENURUT KALIAN?
Makin suka atau makin b aja?🥺
Makasih yg selalu kasih dukungan, entah berupa vote, komen atau share cerita ini. Maaf ga bisa bales komen satu per satu.
Jangan lupa tinggalkan jejak dan share cerita ini biar rame yaaa
Jadi, menurut kalian Afkar bakal jujur atau ngga?
Indramayu, 14 maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top