The Best Part. 32

Raka meletakkan kotak makan dengan kasar di atas meja tempat Afkar duduk. Temannya itu berjingkat, lalu menatap tajam dirinya. Namun, ia tidak peduli akan tatapan itu.

"Apaan, sih?" Afkar bertanya tidak suka.

Misbah duduk di sebelah Afkar. Ganda memutar tubuhnya menghadap Afkar dan Misbah yang duduk di belakang, sedangkan Raka bersamanya.

"Lo yang apaan!" balas Raka tajam.

"Kenapa, sih? Ada apa? Diomongin dulu, 'kan, bisa?" Ganda membuka suara.

"Tanya sama temen lo itu," ucap Misbah, melirik Afkar.

Ganda menatap Afkar yang bermuka datar. Tatapannya menyiratkan kekesalan. Ia bisa membaca itu karena sudah terbiasa. "Kenapa, Kar?"

Afkar bungkam.

Raka berdecak. "Lo kenapa bisa kayak gitu sama Caca? Lo marah sama dia? Emosi, 'kan, lo? Tapi, apa dengan cara lo bentak dia di depan umum kayak tadi itu sebuah hal yang patut dibenarkan?"

Ganda membulatkan mata. Menatap ketiga temannya bergantian. Dari ekspresi mereka, seperti ada suatu hal yang terjadi dan cukup serius. Lalu, kenapa Raka membawa nama Caca? Adik kelas mereka.

Afkar membalas tatapan Raka tak kalah tajam. "Terus, apa lo terima disalahkan padahal lo udah nolongin dia? Gue nolongin dia, Ka! Nolongin!" katanya, lalu menghela napas kasar. "Kalau gue nggak nolongin dia, dia ketabrak sama orang yang main skateboard."

Raka melemaskan bahu. Ternyata bukan hanya Afkar yang bersalah, tapi Caca juga. Mereka sama-sama salah. Afkar bersalah karena sudah membentak Caca di depan umum, sedangkan Caca menyalahkan Afkar yang sudah menolongnya.

Ck. Mereka itu benar-benar ....

"Alesan dia nyalahin lo apa?" Misbah bertanya.

"Karena gue sentuh dia. Gue tarik tangannya."

"Pantes aja," ucap Ganda.

"Modus lo?" Raka menaikkan satu alis.

"Gue bukan lo atau anak ini!" Afkar menunjuk Misbah.

"Heh! Sembarangan!" Misbah menepis tangan Afkar. Ia kemudian menepuk kotak makan yang didiamkan. "Nih, hargai pemberian seseorang, siapa pun itu, sekalipun dia ngelakuin kesalahan. Di sini, bukan Caca doang yang salah, tapi lo juga. Wajar kalau Caca marah lo sentuh dia, meskipun niat lo baik."

Ganda menyetujui ucapan Misbah. "Kenapa lo balikin makanannya?"

Raka langsung menyela, "Ya, karena Afkar emosi. Lo nggak tahu aja, Afkar sampai taruh makanan ini di samping kaki Caca. Parah banget, 'kan?" Sudah dibilang, 'kan, kalau Raka jago dalam hal kompor mengompori.

Afkar mendengkus, lalu meraih kotak makan itu. Membuka tutup dan meraih sendok yang ada di dalamnya. Bau harum nasi goreng langsung menggelitik. Diam-diam Raka dan Misbah meneguk ludah. Ingin makan juga!

Tiba-tiba Misbah berkata saat Afkar mulai memakan nasi goreng itu. "Itu sebenarnya udah jadi hak milik gue sama Raka, sih. Tapi, karena lo kayaknya nggak sabar mau makan, ya udahlah, makan aja."

Afkar menatap malas temannya. Sendok yang ada di hadapan mulut ia sodorkan pada Misbah. "Buka mulut," titahnya.

Misbah menurut. Afkar menyuapinya dengan ikhlas, serius kok ini. Kemudian ia beralih pada Raka, melakukan hal yang sama.

"Doanya jangan lupa," ujar Ganda mengingatkan.

Misbah membalas, "Udah ngunyah baru diingetin."

"Lagian bodoh! Di mana-mana kalau mau makan-minum itu ya emang harus doa! Nggak harus diingetin dulu, baru nyadar!" kata Afkar.

Raka tertawa pelan karena mulutnya penuh. Ganda terkekeh, melirik nasi goreng yang benar-benar menggoda. "Kar, boleh lah," ucapnya.

Setelah menyuapi diri sendiri, Afkar menyuapi Ganda. Jarang-jarang bersikap manis seperti itu. Ada rasa geli juga ketika ia menyadari kalau dirinya tengah menyuapi ketiga temannya.

"Udah!" kata Afkar. "Buat gue semua."

Misbah beranjak dan menoyor Afkar. Tindakan yang ingin sekali ia lakukan sejak dulu, ketika merasa kesal dengan Afkar. "Dih!"

"Kepala gue!"

Raka dan Ganda tertawa.

"Anak Dajjal bukan, sih?" tanya Raka sambil memperhatikan Misbah yang sedang meminta minum pada anak kelas.

"Hus! Pamali!"

"Anak pungut," tutur Afkar.

"Lo temennya anak pungut."

"Lo juga."

"Kar?"

Afkar mendongak. "Hm?"

"Jangan lupa minta maaf. Nggak peduli siapa yang paling bersalah, nggak ada salahnya minta maaf lebih dulu. Terserah mau pakai cara apa, yang jelas kata maaf harus terucap."

***

Bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit lalu. Dengan kotak makan yang ada di tangannya, Afkar berdiri di samping sepeda berwarna biru langit. Sepeda milik Caca.

Afkar sudah bertekad untuk meminta maaf. Ia mengakui dirinya bersalah karena sudah membentak gadis itu di depan umum. Pun sudah menyentuhnya, meskipun karena alasan untuk menolong.

Sudah sepuluh menit, tapi pemilik sepeda itu tak kunjung muncul. Afkar gerah sendiri karena kelamaan berdiri ditambah cuaca siang ini cukup panas. Parkiran juga mulai sepi, hanya tersisa beberapa kendaraan saja.

Karena tidak kuat menunggu, Afkar melangkah menuju kelas Caca. Menyusuri koridor yang tampak sepi karena murid-murid sudah pulang.

Tepat ketika Afkar sampai di depan pintu kelas Caca, ia bisa melihat jelas gadis itu ada di sana. Duduk di bangkunya sambil bergerak gelisah. Tak mau membuang waktu, ia langsung masuk.

Derap langkah membuat Caca menoleh. Ia mendapati Afkar berjalan mendekat dengan kotak makan di tangannya. Jantungnya berdebar cepat melihat tatapan Afkar untuknya.

Afkar menaruh kotak makan di atas meja Caca, lalu menundukkan kepalanya sedikit. "Makasih dan ... maaf," ucapnya tulus.

Dalam ruangan yang hanya ada mereka itu senyap. Caca menatap kotak makan miliknya dalam diam. Kenapa kotak makan itu ada pada Afkar? Bukannya tadi pagi ia kasihkan pada Raka dan Misbah?

Melihat Caca yang hanya diam, Afkar kembali melanjutkan dengan tubuh yang menunduk. Meletakkan kedua tangan di tepian meja. "Gue bener-bener minta maaf sama lo. Maaf karena udah bentak lo di depan umum pagi tadi. Maaf juga karena gue nggak ngerti kenapa lo bisa semarah itu, padahal gue emang bersalah."

Caca mendongak kembali, lalu menggeleng. "A-aku juga minta maaf," ucapnya. "Makasih udah nolong aku, Kak."

Afkar mengangguk. Ia merasa lega karena sudah meminta maaf. Kemudian ditengakkan kembali badannya. "Nggak pulang?"

Caca memasukkan kotak makannya ke tas. "A-anu, itu ... nggak bisa jalan, nunggu sekolah sepi," jawabnya.

"Udah sepi."

Caca kembali bergerak tidak nyaman, apalagi Afkar masih ada di dekatnya. Tidak mungkin juga ia berkata jujur kalau saat ini dirinya mengalami girls problem.

"Ayo, pulang," ajak Afkar.

"Kakak duluan aja."

Afkar memandangi Caca dengan bingung. "Lo kenapa, sih?"

"Ma-masalah perempuan, Kak." Pipi Caca bersemu.

"Hah?" Afkar mengernyit, kebingungan. Tapi kemudian ia tersadar. "A-oh ... bentar." Ia kemudian melepas jaket yang dipakainya, lalu memberikan itu pada Caca. "Pakai," katanya.

"Ng ... nggak usah, Kak. Nggak papa."

Afkar mendengkus. "Gue duluan," ujarnya, lalu melangkah meninggalkan Caca yang terdiam.

Diam-diam sudut hati mereka terusik. Menciptakan sebuah debaran yang ternyata sudah ada sejak lama.

***

Ciat ciatttttt BUMBU CINTA BERTEBARAN NIH

YANG NGESHIP MEREKA SIAPA?

KANGEN KALIAN DEH, XIXIXI

MINTA TINGGALKAN JEJAK YA👇🏻⭐

BENTAR LAGI ENDING🥰 SEKEDAR MENGINGATKAN

Subang, 12 maret 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top