The Best Part. 29
Irfan menoleh, lalu tersenyum sambil mengangkat sebelah tangannya yang memegang sebuah bingkisan. Tidak sadar jika bingkisan itu berhasil membuat Caca terdiam di tempatnya.
"Ca, ini gue-"
Caca menyela, "Apa kamu orangnya?"
Irfan mengernyit. "Orang apa, sih, Ca?"
"Apa kamu orang yang selama ini bersembunyi di balik barang-barang, makanan dan minuman yang selalu ada di loker aku?"
Laki-laki yang tadi tersenyum itu, langsung melunturkan senyumannya. Ia bergeming. Menatap Caca yang menatapnya dengan tatapan berbeda. Ada pancaran kekesalan yang tersirat di sana, dan ia menyadari itu.
"Jawab!" bentak Caca. Berhasil membuat Irfan meneguk ludahnya. Orang-orang di sekitar mereka menatap penuh tanda tanya.
Melihat Irfan yang diam saja, Caca menggelengkan kepala cepat. Ia menghentakkan kaki dengan mata yang mulai berkaca. "Irfan, jawab! Jawab kalau itu bukan kelakuan kamu!"
Jika memang benar Irfan adalah orang di baliknya, kenapa laki-laki itu bisa melakukannya tanpa rasa bersalah? Kenapa bisa, Irfan bersembunyi seperti itu?
Caca lebih suka berteman dengan siapa pun, tapi tidak seperti ini ujungnya. Jika pertemanan itu hanya memunculkan sebuah perasaan, maka sejak awal ia tidak akan mau menerima kehadirannya.
Namun, bisakah manusia tahu takdir seperti apa yang akan Tuhan beri?
Apa bisa manusia memilih perasaan itu hadir kapan dan untuk siapanya?
Lalu, apa mungkin, manusia menyalahkan Tuhan, hanya karena takdir yang tidak sesuai dengan harapan?
Caca tahu jika semua itu adalah takdir Tuhan. Hanya saja, ia benci ketika orang yang sudah dianggap menjadi temannya, justru seperti itu. Seharusnya, jika Irfan memang memiliki perasaan itu untuknya, kenapa tidak bilang sejak awal-awal perasaan itu muncul?
"Ca, gue ...."
"Aku benci sama manusia bertopeng. Aku emang bodoh. Iya, aku emang nggak sepintar perempuan lain yang langsung bisa nangkap gerak-gerik orang yang lagi suka sama seseorang. Aku juga nggak sadar kalau selama ini aku dibodohi sama temen sendiri," sela Caca. Ia tidak menyadari jika orang-orang di sekitarnya sedang memperhatikannya dengan Irfan, bahkan Gigi dan HRD pun menatap dari ambang pintu kelas.
Irfan maju selangkah, membuat Caca mundur. Gadis itu menggelengkan kepala. "Apa karena Mas Nino dan Mbak Kayla mau menikah, jadi kamu berpikir kalau ada kesempatan besar buat kamu bisa melakukan itu sama aku, Fan?"
"Ca, gue bisa jelasin semuanya, tapi nggak sekarang," ucap Irfan.
"Karena kamu pengecut!" Caca berteriak.
Di tempatnya, Gigi ingin mendekat, namun dicegah oleh Dika dan Raihan, sedangkan Haikal sudah melotot. Melarangnya untuk mendekati Caca.
"Caca nggak pernah semarah itu. Gue khawatir sama dia, apalagi dilihat orang-orang gini," kata Gigi.
"Bukan urusan lo atau kita, Gi. Resiko kalau dilihat banyak orang." Dika membalas. Gigi langsung diam.
"Gue bukan pengecut," ucap Irfan mantap. "Karena gue punya alasan yang kuat, kenapa gue nggak omongin semuanya secara langsung."
"Aku nggak suka cara kamu, Fan." Caca mulai melunak. Ia mengusap kasar air matanya yang keluar. Satu hal yang ia benci juga, ketika sisi cengengnya tidak bisa diajak kerjasama seperti sekarang.
"Ca." Irfan menghela napas. "Gue lakuin itu semua karena sebagai bentuk pengungkapan rasa suka gue ke lo. Perasaan yang gue nggak tahu kapan hadirnya itu nggak bisa gue atasi dengan gampang. Ngelihat lo tiap hari, tiap kita bareng di kegiatan ekskul, cukup ngebuat gue ngerasin perasaan yang nggak pernah gue rasain sebelumnya," ujarnya menjelaskan.
"Gue sayang lo, Ca. Sesayang itu sampai gue nggak berani bilang dan buat hubungan pertemanan kita hancur. Gue tahu lo nggak bakal dengan mudahnya bersikap seolah-olah kita nggak ada apa-apa setelah gue kasih tahu semuanya, 'kan?"
Irfan menunduk, lalu tersenyum. "Itu kenapa gue milih untuk bersembunyi. Bukan karena gue pengecut untuk ngungkapin semuanya. Tapi gue mempertimbangkan hubungan pertemanan kita ke depannya," sambungnya.
"Kalau udah gini, kamu tahu apa yang aku rasain, Fan?" Caca bertanya.
"Aku, mau temenan sama siapa pun itu karena aku pengen hidup aku seneng, bahagia, karena ada kalian. Aku nggak mau kebahagiaan itu hilang karena perasaan yang seharusnya nggak ada, justru hadir. Kamu tahu aku orangnya gampang ngerasa nggak enak dan bersalah, kalau udah gini aku nggak bisa baik-baik aja waktu inget semuanya," tutur Caca.
Irfan mengangguk. "Maaf buat semuanya."
Tak banyak kata, Caca berlalu memasuki kelas. Melewati Gigi dan yang lainnya. Mengambil tas, Caca langsung diberi tatapan bingung.
"Lho, lho, Ca, mau ke mana?" Gigi bertanya. Ia masih berdiri di ambang pintu dengan yang lain. Menghadang Caca yang ingin keluar kelas.
"Aku mau bolos," jawab Caca jujur.
"Heh! Anak kecil bolos!" Haikal melotot.
"Mau main. Awas, ah!" Caca mengusir mereka.
"Main ke mana? Jangan asal bolos gitu," kata Dika.
"Hari ini ada pelajaran Seni Budaya, materinya tentang Seni Lukis, masa mau bolos?" Haikal mengeluarkan jurus jitu. Ini benar, materi tentang Seni Lukis akan dipelajari nanti.
Caca memasang raut sedih. Menatap satu per satu teman-temannya. "Kalau kalian kangen sama seseorang, kalian bakal ngapain?"
"Nemuin orang itu," jawab mereka kompak.
Caca mengangguk paham. "Sama, aku juga. Aku kangen sama ayah dan ibu, jadi mau nemuin mereka," ujarnya.
"Kan, nanti bisa di rumah, Ca ...." ucap Haikal, merasa gemas dengan Caca.
Gigi kemudian bertanya, "Gue antar, ya? Gue juga pengen ketemu om dan tante. Boleh?"
Raihan menyahut, "Ini lagi, modus pengen bolos, nih!"
"Udah, jangan pada bolos, balik ke tempat duduk sana," titah Dika.
"Kalian nggak ngerti, ya, gimana rasanya kangen dan pengen ngadu semua apa yang dirasa, tapi orang itu nggak ada di dunia?" Caca bertanya. Ia kemudian menghentakkan kakinya. "Aku pengen ketemu ayah sama ibu!"
Gigi memberi pelototan pada ketiga temannya. Ia merangkul Caca dan membawanya keluar kelas tanpa banyak kata pada Dika, Raihan dan Haikal. "Ayo, ke sana. Jangan ladenin mereka. Mereka nggak bakal ngerti. Mukanya aja kayak orang oneng waktu lo ngomong gitu," ucapnya pada Caca.
Sementara di tempatnya, ketiga laki-laki itu terdiam. Menatap punggung Caca dan Gigi yang semakin jauh.
Lalu, satu decakan lolos dari Dika. "Orang tua Caca udah nggak ada, bego! Kenapa kalian malah ngomong gitu!"
Raihan menjambak Dika. "Lo juga sama, Kambing!"
Haikal berlalu ke tempat duduknya sambil berkata, "Berdosa kalian." Sungguh tidak tahu diri.
***
Setelah mengantar Caca ke TPU, Gigi mengajak Caca untuk ke rumahnya sampai jam pulang sekolah selesai. Tidak mungkin juga Caca pulang ke rumah, nanti bisa-bisa kena omel Mbak Esha.
Saat di rumah Gigi, Caca diam saja. Gadis itu memilih untuk tidur sampai jam 2 siang. Sebenarnya, Caca tidak ingin pulang, hanya saja tidak mendapatkan izin dari Mbak Esha.
Katanya begini. "Kalau ada masalah apa-apa itu, cerita ke Mbak. Pulang ya, Ca, nanti Mas Akbar jemput sekalian pulang dari kantor. Caca harus tidur di rumah, nanti kapan-kapan nginap di rumah Gigi."
Yang mau tak mau harus Caca patuhi. Dan di sinilah Caca berada, di kamar dengan Mbak Esha yang memeluknya.
"Kangen sama ayah dan ibu, ya?" Esha bertanya sambil terus mengusap kepala Caca.
"Kangen, banget." Suara Caca bergetar. "Kenapa mereka ninggalin kita segampang itu? Caca butuh mereka. Mbak Esha juga butuh."
Esha masih beruntung karena diberi kesempatan untuk menikmati hidup bersama ayah dan ibu. Tapi tidak dengan Caca. Ayah meninggal sewaktu Caca masih ada dalam kandungan, dan ibu meninggal sewaktu ia masih kecil. Itu kenapa Esha berusaha untuk terus ada untuk adiknya. Mengusahakan segala hal agar Caca tak merasa kurang kasih sayang.
Namun, perasaan seseorang siapa yang tahu, 'kan? Sekalipun orang itu adalah orang terdekat kita.
Caca memang tak kekurangan kasih sayang. Hanya saja ia ingin sekali bertemu dengan orang tuanya. Merasakan usapan lembut dari sang ibu, dan dekapan hangat dari tangan kekar milik ayah.
Esha merasa jika Caca sedang memikirkan sesuatu atau ada sesuatu yang terjadi pada adiknya. Ia sudah tahu Caca seperti apa saat ada masalah yang datang, entah itu kecil ataupun besar. Caca akan sangat merindukan ayah dan ibu. Caca hanya ingin mengadu pada mereka secara langsung. Dan sayangnya, hal itu tak bisa terjadi sampai kapan pun.
"Mereka itu ada. Ada kok di sini. Di sekitar kita. Di dekat kita. Mereka ada di hati kita. Mereka juga hidup dalam diri kita, Ca." Esha berucap, "Jadi, jangan ngerasa mereka nggak ada."
"Caca mau tidur sama Mbak Esha, ya."
Esha mengangguk. "Iya, nanti-"
Caca cepat menyela, "Cuma mau sama Mbak Esha, nggak mau sama Azhar dan Mas Akbar."
Esha tertawa. Namun, dalam hati ia sedang menyusun segala bujuk dan rayu agar suami dan anaknya mau diajak kerjasama ketika ia harus tidak tidur bersama mereka.
***
Ngga tau, bingung 🥺
Aku nangis heh waktu Caca bilang, "Kangen, banget." Ga ngerti lagi udah🥺
Udah part 29, gimana part 30 nanti yaaaa
Btw, Irfan ya gais, bukan Dika atau Afkar wkwkwk
Tinggalkan jejak ya!⭐👇🏻
Indramayu, 19 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top