The Best Part. 28

Nyengir kalian jomblo!🤣

Cincin yang melingkar di jari tengah Caca terus menghantui Afkar sampai besok malamnya. Di kepala muncul beberapa pertanyaan yang tak diketahui jawabannya. Ingin bertanya pun, pada siapa? Afkar tidak bisa menemukan jalan keluar apa pun.

Apakah cincin itu adalah cincin pertunangan yang tempo hari Afkar dengar saat di kantin?

Tapi, kalau cincin pertunangan, kenapa dipakai di jari tengah? Mengapa tidak di jari manis?

Lalu, kenapa di usianya yang masih muda, Caca bertunangan? Dengan siapa?

Afkar berdecak karena baru sadar jika ia tengah memikirkan suatu hal yang sebenarnya tak harus dipikirkan sampai kesal begini. Kenapa pula ia harus repot-repot terusik dengan cincin itu? Mau Caca sudah bertunangan atau belum, bukan urusannya juga, 'kan?

Malam ini seperti biasa rumah Afkar dijadikan tempat 'tumpangan makan dan tidur' oleh ketiga temannya. Ada Raka dan Misbah yang asyik bermain PS, lalu ada Ganda yang tengah berkutat dengan layar laptop miliknya sendiri yang dibawa dari rumah. Kebetulan Wi-Fi rumah Afkar tidak pernah lelet. Koneksinya patut diacungi empat jempol.

Mendengar decakan dari Afkar, Ganda menoleh sekilas pada temannya itu yang menyandarkan tubuh di kepala ranjang, sedangkan dirinya di meja belajar Afkar yang memang dekat dengan tempat tidur.

"Kenapa, Kar?" tanya Ganda, lalu mengambil flashdisk dalam tas dan menyambungkannya ke laptop.

Afkar menggeleng cepat. "Nggak papa."

"Cewek bener, dah," kata Ganda.

"Ya, emang nggak papa, terus gimana lagi?"

"Kampret lo, Raka! Mati aja lo!" pekik Misbah. Ganda sampai mengatupkan bibirnya kembali, padahal ia ingin membalas ucapan Afkar.

"Lo ngomong kasar lagi gue usir, ya?" Afkar mengancam Misbah, lalu duduk dengan tegak. Mendengkus malas, setelahnya, saat Misbah masih saja beradu mulut dengan Raka.

"Ada masalah apaan?" Ganda bertanya sekali lagi. Jika tidak dijawab, ia akan memakai cara Misbah dan Raka agar Afkar mau bercerita. Sekeras apa pun Afkar menutupi, wajahnya tidak bohong jika lelaki itu sedang memikirkan sesuatu.

Melihat Ganda yang sudah menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas, lalu duduk menghadapnya, Afkar berdeham sejenak. "Ada yang ngusik," ujarnya.

"Ngusik lo? Yang bener?" Ganda mengernyit. Cukup aneh jika Afkar ada yang mengusik. Sejauh ini, meskipun Afkar famous, tidak ada yang berani macam-macam dengan temannya itu.

Afkar mengangguk. "Ngusik pikiran," katanya.

"Tukang kredit kali. Yarnen, ya?" celetuk Raka tiba-tiba. Matanya masih fokus pada layar di depannya.

"Yarnen apaan?" Ganda bertanya.

Kali ini Misbah yang menjawab, "Ya elah, yarnen doang nggak tahu. Yarnen, tuh, bayar panen."

Ganda menahan umpatannya yang sudah di ujung lidah. Afkar memutar bola matanya malas. Kosa kata baru sudah tercipta dari Raka dan Misbah. Entah dari mana mereka mendapatkan kosa kata seperti itu.

"Si Afkar pikirannya keusik karena punya hutang sama tukang kredit, tuh." Raka bersuara kembali.

"Raka bacot banget," ucap Misbah. Langsung mendapatkan toyoran dari Raka. Misbah sungguh tak tahu diri.

"Afkar penerus utama dari perusahaan almarhum abahnya, jadi nggak mungkin punya hutang di tukang kredit. Lagian, kredit apaan? Beli barang-barang aja selalu cash," tutur Misbah. "Kalau punya hutang ke tukang kredit itu baru emaknya Raka, valid, gue pernah lihat Raka ditagih uang kreditan sama Mas-mas yarnenan."

Ganda tertawa. Ia menggelengkan kepala melihat kelakuan temannya yang satu itu. "Nggak jelas lo, Mis!"

Raka berhenti mengomel karena Misbah telah membongkar aibnya. "Nggak lucu juga lo malah ketawa, Gandul!" katanya.

Tawa Misbah menggelegar. Afkar meloloskan sebuah kalimat. "Sinting."

"Gandul nggak, tuh!" Misbah semakin terbahak. Mendorong lengan Raka yang terkekeh, hingga temannya itu terdorong ke samping.

"Kayak cewek banget, sih, lo main dorong-dorong kalau ketawa!" Raka menyentak tangan Misbah, lalu membuang stick PS begitu saja, membuat permainan seketika tidak terkendali.

Misbah menatap layar di depannya dengan nelangsa. "Yah, yah! Mati ini, Rakampret!" jeritnya.

Raka beranjak, lalu menjambak rambut Misbah. "Bodo amat!" Ia berjalan mendekati tempat tidur, kemudian mendudukkan dirinya di sana, di dekat Afkar yang masih berekspresi tidak senang.

Misbah ikut mendekat. Ia merebahkan tubuh dan menjadikan paha Raka sebagai bantalan. "Paha lo nggak gede-gede amat, Ka, tapi enak dijadiin bantal," ujarnya.

Raka ingin sekali mengenyahkan kepala Misbah. Kalau bisa ia buang jauh-jauh, tapi seram juga jika Misbah tak ada kepala. Jadi ia membiarkan Misbah menjadikan pahanya sebagai bantalan. "Kalau kaki gue kesemutan, Afkar harus beliin pizza."

Afkar sontak melotot. "Kenapa jadi gue!" Ia protes. Enak saja!

Misbah menyetujui dengan mata yang fokus pada layar ponsel. "Harus itu. Harus beli pizza. Kasihan anak orang kelaparan."

Ganda tertawa renyah, sedangkan Afkar menghela napas. Alih-alih pikirannya yang sedang terusik tenang, justru semakin menambah beban. Teman-temannya memang tak ada yang tahu diri.

Lalu, ucapan Misbah yang terdengar serius membuat Afkar bingung.

"Eh, gue bingung, deh. Masa ada, tuh, adik kelas yang diam-diam taruh barang di loker, tapi kek bukan ke loker dia. Kayaknya itu anak ngasih barang ke loker seseorang, dan gue sering banget mergoki dia. Mau gue samperin, cuma bukan urusan gue juga, jadi ya udahlah, tapi aneh aja gitu."

Raka menyisir rambut Misbah yang lebih panjang dari rambutnya. "SDD itu, Mis," katanya.

"SDD apaan lagi?" Ganda mulai malas.

"Suka diam-diam."

Misbah mengenyahkan tangan Raka dari rambutnya. "Diem dulu." Ia kemudian menurunkan ponsel. "Cupu tahu pakai cara gituan suka sama cewek. Cemen."

Afkar berdeham, lalu bertanya, "Dia adik kelas, 'kan? Barang yang sering dia bawa bungkusan atau hiasannya warna apa?"

Mereka menatap Afkar dengan tatapan bingung. Namun, Misbah tetap menjawab, "Nah itu yang jadi daya tarik gue sampai sekarang. Dia selalu kasih sesuatu yang dominan warnanya biru."

Afkar terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya berkata, "Lain kali kalau lo pergoki dia lagi, kabarin gue. Gue juga tahu siapa orangnya karena gue pernah nggak sengaja lihat, tapi cuma sekali."

Mereka terdiam mendengar perkataan Afkar.

Afkar kemudian bersuara kembali. "Cewek yang diincar sama dia itu, si Arsya. Dan Arsya nuduh gue kalau gue dalangnya. Menurut kalian, gue brengsek atau nggak kalau bongkar kedok itu pelaku?"

***

"Demi apa, sih, gue berangkat dibonceng sama lo?" Gigi mendelik pada Haikal yang sudah duduk di kursinya. Mereka berangkat bersama karena Haikal tidak sengaja menemukan Gigi di trotoar menunggu angkutan datang. Karena kasihan, ya sudah ia angkut saja itu perempuan.

Caca yang sudah datang lebih dulu dan duduk di kursinya itu menoleh. Mendapati Gigi yang menatap Haikal tidak minat. "Bilang makasih, dong!" ucapnya memberi tahu.

Gigi bergidik sambil duduk di sebelah Caca. "Lo nggak tahu aja, Ca, kalau tadi dibonceng sama dia nyawa gue dipertaruhkan!" tuturnya. "Males banget bilang makasih!"

"Nggak tahu diri!" Haikal berkata, lalu fokus pada ponselnya sebelum Gigi mengamuk.

"Raihan! Pulsa, dong!" pekik Gigi dari tempat duduknya. Caca sampai menutup telinga karena terkejut.

"NGUTANG? TINGGAL DI PLUTO AJA SANA!" balas Raihan berteriak. Padahal jarak mereka hanya beberapa bangku saja, tidak terlalu jauh.

"Pluto nggak bakal nampung manusia spesies kayak Gigi. Mukanya udah dilihat sama warga sana aja udah ditolak mentah-mentah," ujar Haikal, lalu terbahak. Disusul Caca yang ikut tertawa.

"Pluto nolak Gigi. Parah, sih!" Dika mendramatisasi.

Sebelum Gigi meledak, Caca mengelus lengan sahabatnya yang satu itu. "Udah, nanti ke Saturnus aja sama aku ya, Gi."

Memang tidak ada yang waras.

"Caca, ada yang nyariin, tuh. Namanya Irfan," celetuk Bilsqis yang baru memasuki kelas.

Caca langsung beranjak tanpa banyak kata. Keluar kelas dan mendapati Irfan berdiri di dekat balkon pembatas. "Fan?" panggilnya.

Irfan menoleh, lalu tersenyum sambil mengangkat sebelah tangannya yang memegang sebuah bingkisan. Tidak sadar jika bingkisan itu berhasil membuat Caca terdiam di tempatnya.

"Ca, ini gue-"

Caca menyela, "Apa kamu orangnya?"

Irfan mengernyit. "Orang apa, sih, Ca?"

"Apa kamu orang yang selama ini bersembunyi di balik barang-barang, makanan dan minuman yang selalu ada di loker aku?"

***

Asdfghjkl! Menuju ending 🤣

Tim Afkar-Caca? atau,

Caca-Irfan? Dan,

Caca-Dika?

Jujur ngetik part ini ketawa sendiri karena Duo Kampret 😭👍🏻 Raka dan Misbah gak ada tandingannya

Jangan lupa tinggalkan jejak ya!

Indramayu, 16 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top