The Best Part. 27
Yang minta update lagi, nih aku kasih. Asal komen yang banyak ya biar aku semangat terus🥺
Senyap.
Alih-alih mendatangi Afkar, Caca bergeming. Memalingkan wajah, menatap ke arah kue yang tersisa di atas meja. Membuat teman-temannya ikut bungkam. Seperti sedang menunggu kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya.
Afkar menaikkan satu alis, keheranan. Tak banyak kata, ia maju beberapa langkah, lalu menaruh bingkisan itu di atas meja, tepat di hadapan Caca. Bingkisan yang Tisya titipkan padanya pagi tadi sebelum berangkat, bahkan adiknya membungkus sendiri hadiah untuk Caca, dibantu oleh umma.
Saat Afkar bertanya kenapa Tisya memberikan Caca hadiah, maka adiknya langsung menjawab, "Kak Caca ulang tahun, tahu! Ini barang yang aku beli pakai uang aku sendiri! Khusus buat Kak Caca!" Dengan antusias. Ia saja sampai keheranan, bahkan Tisya tahu warna apa yang disukai Caca. Jelas saja sumber informasinya adalah Azhar.
"Dari Tisya," ucap Afkar, lalu berbalik untuk meninggalkan kantin.
Pita biru. Kertas kado berwarna biru.
Caca dengan cepat beranjak sambil membawa kado itu. "Kak Afkar!" panggilnya.
Afkar berhenti dan memutar tubuh. "Apa?" tanyanya.
Gadis dengan wajah yang tampak menahan kesal itu berdiri di hadapan Afkar. Bukti kuat sudah terpampang jelas. Caca langsung berpikir jika Afkar adalah dalang dari barang-barang, makanan dan minuman yang selalu ada di lokernya.
Jika kado itu dari Tisya, bisa saja itu hanya sebagai alasan, 'kan? Caca yakin, dengan gengsi yang dimiliki dalam diri Afkar, lelaki itu tidak akan mudah untuk mengakui semuanya.
Ia sangat yakin jika Afkar adalah dalangnya.
"Udah berani muncul sekarang?" tanya Caca.
Afkar mengernyit. "Apa, sih?"
Di tempatnya, Dika menarik kerudung Gigi. "Apa mungkin?" tanyanya ketika Gigi menoleh dengan tatapan penuh protes karena kerudungnya miring.
"Mungkin apa?"
"Afkar, dalang di balik semuanya?"
Gigi menggeleng, lalu membalas cepat. "Bukan dia."
"Kenapa bisa lo seyakin itu kalau dia bukan dalangnya?"
Gigi kembali menatap Afkar dan Caca yang belum bersuara lagi. "Karena Afkar bukan orang pengecut. Cara sampah kayak gitu, nggak akan dia gunain sampai kapan pun."
"Tapi, kita lihat aja apa yang bakal Caca lakuin." Dika kemudian bungkam.
Sedangkan Caca, saat ini mendorong kado itu ke dada Afkar. "Kakak kira, yang kakak lakuin selama ini bisa buat aku seneng?" tanyanya tidak suka.
Afkar semakin mengernyit. Ia menerima kado itu kembali. "Apaan, sih! Apa yang lo omongin?!" Nadanya naik satu oktaf. Afkar tetaplah Afkar. Laki-laki yang belum bisa mengontrol emosi, apalagi pada perempuan seusianya.
Melawan debaran jantungnya yang menggila—entah karena takut atau selain itu—Caca balas menatap Afkar. "Barang-barang, makanan dan minuman yang selalu ada di loker aku, itu Kak Afkar, 'kan, yang taruh? Kak Afkar nggak berani kasih langsung karena Kakak nggak berani! Kakak selalu usik aku! Selalu kasih sesuatu yang buat aku semakin nggak suka diperlakukan kayak gitu!" paparnya dengan satu tarikan napas.
Hening cukup lama. Sampai akhirnya Afkar terkekeh hambar. Menundukkan sedikit tubuhnya agar sejajar dengan Caca. Menatap tajam gadis di depannya itu.
"Jangan mimpi," ucap Afkar penuh penekanan.
Caca menggeleng cepat. "Aku nggak mimpi!" Ia kemudian menunjuk Afkar. "Kak Afkar yang gengsi ngakuin semuanya ke aku. Kakak kasih aku kado, dan bilang itu dari Tisya. Tapi, aku nggak percaya. Pita biru dan kertas biru itu jadi bukti kuat kalau Kakak adalah dalang dari semuanya! Kakak suka aku, tapi nggak berani ungkapin langsung!"
Afkar tidak habis pikir dengan apa yang dikatakan Caca. Untuk apa juga ia melakukan semua itu pada Caca? Untungnya apa? Yang ada boros!
Lalu, apa Caca sepercaya diri itu untuk mengatakan semua tuduhan padanya? Padahal, yang melakukan semua itu bukan dirinya, tapi orang lain, dan ia mengetahuinya.
Dasar bocah! batin Afkar.
"Lo kira, gue suka sama lo?"
Caca bungkam. Menelan kasar ludahnya sendiri. Rasa gugup mulai menguasai. Entah ke mana hilangnya keberanian tadi.
Afkar menegakkan tubuh. Menatap sekilas pada kado milik Tisya yang ditolak mentah-mentah oleh Caca. "Sekarang gue tanya." Ia menyodorkan kado itu. "Lo mau terima ini atau nggak sama sekali?"
"Nggak!"
Afkar mengangguk paham. "Oke. Lo emang anak kecil yang kekanak-kanakan." Kemudian mengedarkan pandangan, sebelum akhirnya berkata, "Gue nggak akan gunain cara sampah itu dengan sembunyi. Sampai kapan pun nggak akan pernah karena gue bukan orang pengecut."
Ia menatap Caca yang masih bungkam, lalu tersenyum tipis. "Dan asal lo tahu, kalau gue suka sama lo, gue nggak akan ngungkapin langsung ke lo, tapi ..."
Caca berdebar. Tidak sadar jika tangannya sudah meremas rok karena menunggu ucapan Afkar.
"... ke orang yang bisa mengizinkan lo jadi milik gue."
Itu artinya ....
***
Seharusnya, Caca lega karena bukan Afkar pelakunya. Tapi, entah kenapa perasaannya semakin menjadi tidak karuan setelah pulang ke rumah. Membawa banyak pertanyaan yang kini bersarang dalam kepala.
Caca merasa malu karena ia sudah menuduh Afkar. Terlalu percaya diri jika lelaki itu menyukainya. Bukannya dari awal ia sadar kalau dirinya tidak pantas disukai oleh lelaki mana pun? Termasuk Afkar.
Namun, otaknya tadi memang koslet. Sifat kekanak-kanakan juga mendominasi. Terciptalah sosok manusia yang paling tidak tahu diri.
Caca menggigit bantal. Merasa gemas karena tingkahnya sendiri siang tadi. "Mau ngomong bodoh, tapi nanti jadi kenyataan." Padahal, memang sudah bodoh.
Malam ini pukul 20.15 menit, Caca merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Setelah makan malam di sebuah restoran jepang yang Akbar rekomendasikan—khusus untuk malam ulang tahun Caca—, Caca lebih memilih untuk langsung memasuki kamar, padahal orang rumah yang lain duduk di ruang tengah sambil menonton tv.
"Pusing jadi manusia," ucap Caca sambil menatap langit-langit kamar. "Tapi, kalau nggak jadi manusia, mau jadi apa?"
Larut dalam pergulatan batinnya, ponsel Caca tak lama kemudian berdering panjang. Malas melihat nama sang penelepon, gadis itu langsung menekan tombol hijau. Tidak perlu melihat layar karena sudah hafal di mana letaknya.
"Halo, assalamualaikum, siapa ini?"
"Waalaikumsallam. Afkar."
Caca sontak menegakkan tubuh. Terduduk di atas tempat tidur. Menatap layar ponsel yang menampilkan nama 'Kak Afkar Judes' di sana.
"Ke-kenapa, Kak?" Gugup mulai menyelimuti.
"Gue di depan rumah lo. Mau kasih kado dari Tisya yang lo tolak tadi siang."
Dengan cepat Caca mematikan sambungan telepon, lalu bercermin. Memekik sejenak. "Kayak gembel!" Tapi, Caca tidak peduli. Ia langsung mengambil kerudung instan dan memakainya. Berjalan keluar kamar dengan sedikit tergesa.
Di ruang tengah sudah kosong. Televisi juga mati. Mungkin orang-orang sudah masuk ke dalam kamar masing-masing. Caca bergegas keluar rumah.
Tiba di pintu utama yang terbuka, Caca mendapati Kakek Fadil berdiri di hadapan Afkar yang memegang satu kantung plastik besar di tangannya.
Mendengar langkah kaki dari belakang, kedua orang itu menoleh. Kakek Fadil langsung tersenyum pada Caca dan gadis itu langsung berdiri di sebelahnya. "Nah, ini Cacanya."
Afkar langsung memberikan kantung itu pada Caca. "Tisya ngamuk karena lo nggak mau nerima kadonya," katanya memberi tahu.
Caca menerima itu dengan kikuk, apalagi ada Kakek Fadil. "Ma-makasih, Kak."
"Kakek masuk dulu, ya. Kalian jangan lama-lama. Caca, nanti kalau udah selesai, kunci gerbang sama pintu rumah, ya," ucap Kakek Fadil. Langsung mendapatkan anggukkan patuh dari Caca.
Setelah pria itu pergi, Caca mengintip sedikit apa saja yang ada di dalam kantung tersebut. Melihat Caca yang sepertinya penasaran, Afkar berkata, "Ada susu kotak juga."
Caca mendongak. "Buat?"
"Buat lo, biar makin pinter kalau mikir, nggak main nuduh sembarangan ke orang lain."
Caca langsung berasumsi jika Afkar adalah orang yang suka menyindir.
***
Jadi ... Afkar atau Irfan? Eh, ups! Hahahaha
Atau ... Dika? Banyak kemungkinan bisa terjadi, gais
Kuucapkan banyak terima kasih yang udah support dan baca sampai sini. Makasih juga udah selalu vote dan komen🥺
Tulisanku tanpa kalian nggak akan jadi sebuah bacaan 🥺
Tinggalkan jejak ya⭐👇🏻
Sampai jumpa di part selanjutnya!
Indramayu, 14 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top