The Best Part. 26

Bel pulang berbunyi. Seluruh murid berlomba untuk cepat-cepat pulang. Begitu juga dengan anak kelas 11 IPA 2. Mereka berbondong-bondong keluar kelas. Saling menyerobot satu sama lain, bahkan ada yang terjepit di pintu karena terdorong.

Di tempatnya, Caca mengernyit saat melihat teman kelasnya yang aneh. Tidak seperti hari biasanya, mereka selalu tenang, tidak tergesa-gesa. Dika dan Raihan yang selalu keluar kelas paling akhir saja, kali ini keluar paling awal. Caca sempat melihat Dika menarik tas Raihan.

"Gi, mereka pada kenapa, sih?" Caca bertanya pada Gigi yang sedang memakai tas ke punggung.

Sebelum Gigi menggeser kursi ke depan, ia keluar lebih dulu dari sana. Langsung menjawab, "Gabut kali, Ca."

Caca memasang tasnya ke punggung, lalu berjalan keluar kelas bersama Gigi. Dalam hati ia tampak tidak puas dengan jawaban yang Gigi berikan. "Aneh tahu!" katanya.

Gigi tertawa dan menarik lengan Caca agar berjalan di sampingnya. "Antar gue ke toilet dulu, ya, Ca? Kebelet banget ini. Udah di ujung ...."

"Ya udah, Gi, jangan dijelasin juga kalau udah di ujung tanduk!" Caca menyela. Tidak sadar jika ucapannya justru memperjelas apa maksud Gigi.

"Itu lo yang memperjelas, ya!"

"Tahu, ah!" Caca memeluk lengan Gigi. "Biasanya kalau jam pulang sekolah gini, toilet ramai nggak, sih, Gi?" tanyanya.

"Nggak juga lah, Ca. Kenapa emang?"

Mereka berjalan menuruni anak tangga lantai dua yang menuju lantai satu.

"Jangan lama-lama, ya, nanti Kakek Fadil nungguin akunya lama. Takut udah ada di depan sekolah. Soalnya, kata Mbak Esha, Kakek Fadil mau jemput aku pulangnya, padahal aku bilang bisa pulang sendiri," papar Caca, menjelaskan.

Gigi mengangguk cepat, lalu menatap ke arah lain dan tersenyum geli. Ia bangga pada skenario yang sudah dirancang bersama temannya yang lain, sepertinya akan berjalan mulus. Dalam hati, dirinya sangat bersyukur sekali mendapatkan sahabat seperti Caca yang manut.

Tiba di toilet lantai satu, Caca menunggu di depan, sementara Gigi masuk ke dalam. Sembari menunggu, Caca mengeluarkan ponsel, lalu menghubungi Kakek Fadil.

Caca
Kakek udh di depan skolah blm?

Caca mengedarkan pandangan ke area sekitar. Di sana masih ramai. Masih banyak murid yang berlalu-lalang. Di hadapannya ada lapangan utama yang biasa digunakan untuk melaksanakan upacara.

Ponselnya tidak lama kemudian bergetar. Ada balasan dari Kakek Fadil.

Kakek Fadil
Ban mobil kakek bocor. Caca naik ojek aja gppa?

Caca memberikan balasan cepat.

Caca
Gappa, maaf jdi ngerepotin kakek

Kakek Fadil
Ga kok, lgian kakek blm brgkat, msh dirumah, Caca hati2

Caca
Siap!

Bertepatan dengan ponselnya yang dimasukkan, Caca mendapati Gigi keluar dari toilet. Gigi memegangi perutnya dengan sebelah tangan. Menatap Caca yang tampak bingung.

"Kamu kenapa, Gi?"

Gigi mendekatkan bibir ke telinga Caca. Membisikkan suatu kalimat yang membuat Caca sontak membulatkan kedua mata. Caca menoleh dan memberikan raut khawatirnya.

"Aduh! Kok bisa, sih?" Caca menarik tangan Gigi. "Ayo, ke koperasi!" ajaknya.

Gigi cepat-cepat menahan. "Ca, koperasi jam segini udah tutup. Kan selalu tutup lima belas menit sebelum bel pulang," ujarnya.

Caca belum menjauhkan tangannya dari tangan Gigi. Ia terdiam sebentar. Tampak sedang berpikir. Gigi yang melihat itu ingin tertawa, namun harus ditahan, ini bagian dari rencana.

"Gi." Caca menatap Gigi. "Ayo, ke UKS aja!"

Ide konyol!

Gigi mendelik untuk menutupi senyumnya yang siap merekah. "Di sana yang ada bukan pembalut, tapi kain kasa, Cacaaa!"

Caca tersenyum kuda. "Lupa."

"Ke kantin aja, deh. Takut bocor ke rok," ucap Gigi.

Menarik tangan Gigi lagi, Caca membawanya ke kantin. "Iya, ayo buruan!"

Gigi sengaja berjalan di belakang Caca agar gadis itu tidak tahu kalau dirinya tersenyum senang. Ia sangat berpikir positif karena rencana di hari ulang tahun Caca ini akan berjalan dengan mulus! Jalan tol saja kalah mulusnya!

Tiba di kantin, Caca terdiam karena ....

Di sana, tercipta sebuah lengkungan besar berisi orang-orang yang ia kenal ....

Berdiri menghadapnya ....

Salah seorang laki-laki di antaranya memegang sebuah kue yang terdapat lilin angka 17 tersenyum ke arahnya, begitu juga dengan yang lain.

Rangkulan yang ia rasakan membuat Caca menoleh, mendapati Gigi yang tersenyum penuh ketulusan.

"Selamat ulang tahun Arsya Fidiya, yang ketujuh belas."

Gigi menggiring Caca untuk berjalan mendekat ke teman-teman kelasnya yang sudah berdiri membentuk sebuah setengah lingkaran.

Caca menatap penuh haru pada mereka semua. Menatap satu per satu orang-orang yang tadi berjalan keluar kelas dengan tidak sabar. Jadi, ini alasan mereka terburu-buru seperti itu? Karena ingin memberikannya kejutan?

Lima langkah lagi tiba di depan Dika, laki-laki yang memegang kue ulang tahun, Caca sudah meneteskan air mata. Tidak sadar kalau di tempatnya berdiri, Raihan meloloskan sebuah kata kasar yang langsung bisa didengar oleh Dika karena mereka berdiri bersebelahan.

"Kalian ...."

Caca mengusap pipinya yang basah. Ia  dan Gigi berdiri di hadapan Dika. Satu kekehan lolos dari bibirnya. "Aku nggak tahu harus ngomong apa lagi," sambungnya.

"Selamat ulang tahun, Caca!"

Lalu, lagu selamat ulang tahun dinyanyikan. Caca kembali meneteskan air mata. Menyembunyikan wajahnya pada bahu Gigi ketika ia malu menunjukkan sisi cengengnya.

Gigi mengusap bahu Caca, disusul yang lain. Peluk berjamaah untuk mengungkapkan rasa saling peduli satu sama lain, kecuali anak laki-laki yang hanya bisa menonton.

Caca yang baik, penurut, lucu, polos, dan tidak pernah membuat masalah, pantas mendapatkan rasa kasih sayang dari teman kelasnya. Meskipun mereka tidak begitu dekat layaknya hubungan Caca dan Gigi, tapi mereka tetaplah teman Caca. Di mana rasa peduli sudah pasti ada.

Kejutan ini direncakan oleh Gigi yang mengingat jika Caca sedang berulang tahun. Karena Dika dan Raihan juga ingat, maka mereka berencana untuk menyusun acara kejutan itu, lalu teman kelasnya yang lain juga mengikuti. Meski tidak semua yang hadir, setidaknya ini sudah lebih dari cukup untuk memberi kejutan pada Caca.

"Udah, woi! Jangan pelukan terus! Kan gatel pengen peluk juga, tapi nggak bisa, nanti diterjang sama Gigi," ucap Haikal yang berdiri di samping Dika.

Para perempuan melepas pelukan dan menyeru pada Haikal. Gigi menjauhkan tubuh dari Caca, lalu melototi Haikal yang tampak biasa saja. "Sini, gue patahin tangan lo!"

Caca tertawa. Gadis itu menatap Dika yang masih setia memegang kue dengan kedua tangan. Ia selangkah lebih maju untuk berdiri tepat di hadapan lelaki itu.

"Dika, mau kuenya," ujar Caca.

"Gue dulu yang dapet potongan pertama, ya, Ca. Udah dua hari nggak makan, nih. Kelaperan," ucap Raihan sambil memasang wajah melas.

Dika berdecih. "Padahal kemarin habis makan bakso dua mangkuk, ditambah baksonya dibayarin gue. Itu lo sebut nggak makan dua hari, hah?!" semburnya.

Raihan tertawa lebar. "Baperan," katanya.

Dika menaruh kue di meja terdekat, lalu duduk di kursi. Ia menepuk kursi di sampingnya untuk Caca duduki. "Yang lain duduk juga, ya. Sini, bareng-bareng."

Harusnya yang menjadi ketua kelas adalah Dika. Siswa kalem IPA 2 yang tak banyak tingkah dan omong. Kontras dengan Haikal.

Caca menarik tangan Gigi untuk duduk di sampingnya. Teman kelasnya yang lain menyatukan meja dan kursi agar memanjang dan muat untuk mereka semua. Caca tersenyum lebar ketika di hadapan Gigi yang duduk adalah Haikal.

"Duh, jodoh gue pengennya duduk di depan gue, nih." Ucapan Haikal berhasil membuat gelak tawa yang lain terdengar. Mengabaikan Gigi yang sudah mengambil garpu. Bersiap mencakar bibir Haikal.

"Ini lilinnya langsung dilepas aja?" Dika bertanya pada Caca.

"Iya. Kan nggak bakal ditiup juga."

Setelah melepas lilin di atas kue, Dika memotong kue dengan rapi. Kue berukuran cukup besar yang dibeli saat jam istirahat kedua secara mendadak itu hasil dari Gigi dan Haikal yang membelinya. Mereka kadang bisa kompak dalam waktu yang tak bisa terduga.

Lalu, Dika dan Caca membagi kue itu pada teman-temannya. Suasana semakin ramai. Namun mereka tak peduli dengan tatapan beberapa orang yang ada di sekitar. Yang penting mereka senang-senang. Bisa makan kue gratis.

"Weh! Kue gue dicomot Raihan!"

"Jangan colek muka gue pakai krim! Skincare mahal, astaghfirullah!"

"Raihan, kue gueee!"

"Gi?"

Gigi mendongak. Haikal mencolek hidung gadis itu dengan krim kue. Ia kemudian langsung berlari, sebelum Gigi mengejarnya.

Saat teman-temannya sedang sibuk masing-masing, Caca mengobrol dengan Dika. "Kue ini pasti mahal, ya?"

"Mahalan juga kebahagiaan lo, kebahagiaan kita semua, Ca."

"Sayang tahu uang kalian," kata Caca.

"Nggak papa, sekali-kali, 'kan?"

Caca mengangguk membenarkan, meski ia masih merasa tidak enak pada teman-temannya. Saat asik mengobrol dengan Dika, panggilan dari seseorang membuatnya menoleh. Disusul yang lain. Sosok jangkung itu berdiri sambil membawa sebuah bingkisan yang diberi pita warna biru langit.

"Arsya?"

Sudah tahu, 'kan, kalau yang memanggil Caca itu siapa?

***

Part ini ditulis semalem, ketika mood aku ancur banget. Iya, menulis bener-bener buat aku tenang🥺

Makasih yg udah kasih support dan terus baca cerita ini, aku jadi semangat! Kasih semangat lagi dongggg, xixixi

Tuh, di part ini gimana?

Indramayu, 14 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top