The Best Part. 24

Pada malam Minggu, sekitar pukul tujuh. Suasana di ruang tamu perlahan mencair. Tidak tegang seperti awal-awal mereka berkumpul. Kurang dari sepuluh orang yang ada di sana, tampak saling membaur, begitu juga dengan Caca yang duduk di samping Nina.

Mereka—Caca, Nina, Nino, dan Bu Maya—datang ke rumah calon istri dari Nino. Karena Esha, Akbar, dan Azhar tidak bisa ikut, maka hanya Caca yang mewakilinya.

Ya, pada malam ini Nino akan melamar seorang perempuan. Di mana perempuan itu bekerja di tempat yang sama dengannya. Hanya beda divisi saja.

Jika Nino menjadi sekretaris Akbar, maka perempuan tersebut di tempatkan di bagian resepsionis. Setiap hari bertemu dan berinteraksi, membuat hati Nino perlahan mencintai perempuan itu. Karena tidak mau berlama-lama larut dalam perasaan yang cukup sulit untuk dikendalikan, maka ia lamar saja. Lebih cepat lebih baik.

Saat ini, Caca dan Nina duduk menghimpit calon istri Nino, Kayla namanya. Kayla yang mudah berbaur dengan orang baru itu menyambut Caca dan Nina dengan baik. Mereka tampak mengobrol seru bertiga. Mengabaikan anggota keluarga yang lain.

"Mbak Kayla sejak kapan suka sama Mas Nino?" tanya Nina dengan serius.

Kayla yang ditanya seperti itu mulai malu. Lagian, Nina kenapa bertanya seperti itu? Itu, kan, pertanyaan yang cukup sensitif untuk dijawab secara gamblang.

"Kamu, tuh, Nin, Mbak Kayla jangan ditanya gitu! Malu tahu!" Caca mencubit lengan Nina. "Coba kalau kamu yang ditanya begitu sama calon adik iparmu nanti, apa kamu nggak malu? Kalau aku udah tutupan panci!" tuturnya.

Nina mendengkus sambil mengusap lengannya. "Ya, wajar aja namanya orang kepo!"

"Udah nggak usah berantem." Kayla menengahi. "Kalau suka mah udah lama, mungkin? Ya, sekitar sebulanan setelah aku kerja di kantor."

Caca dan Nina saling tatap, lalu tersenyum lebar. "Cie ...," goda mereka bersamaan. Membuat para orang tua berserta Nino menoleh.

"Jangan diusilin Mbak Kayla nya," ucap Nino sambil menatap Caca dan Nina bergantian.

"Cowok selalu salah," kata Nina. Caca mengangguk membenarkan.

Mereka kemudian mengobrol kembali, hingga suara laki-laki yang tiba-tiba saja muncul dari tangga membuat semuanya menoleh.

Ibu Kayla bangkit ketika melihat anak laki-lakinya yang tertatih menuruni anak tangga. Laki-laki itu adalah adik Kayla yang duduk di bangku SMA.

Sedari tadi, mata Caca tidak berkedip. Ia meraba tangan Kayla, lalu menatap perempuan itu. "Mbak, jangan bilang dia adik Mbak Kayla?" tanyanya berbisik.

Kayla menatap Caca, kemudian mengangguk. "Iya, dia adik aku. Kenapa, Ca? Kamu kenal, ya, sama dia? Atau kalian satu SMA?"

Belum sempat Caca menjawab, panggilan dari adik Kayla membuatnya kikuk sendiri.

"Caca?"

Untuk pertama kalinya, Caca tidak suka akan kebetulan yang begitu tak ia inginkan terjadi.

***

Caca menaruh sebuah novel di atas meja dengan kasar. Menimbulkan suara yang menggema di dalam kelas karena saat ini semuanya sedang mengerjakan tugas. Beberapa orang yang merasa terkejut memprotesnya. Tapi ia tidak peduli.

Tadi, Caca habis dari toilet dan mampir untuk mengambil novel yang sejak kemarin-kemarin belum sempat diambil, namun saat membuka lokernya ia menemukan sebuah cokelat yang diberi pita berwarna biru, warna kesukaannya.

Tak habis sampai situ, terdapat sticky note yang tertempel. Entah siapa yang memberikan itu, yang jelas tulisannya seperti ini, dimakan ya, nanti besok aku bawain lagi.

Caca bergidik ngeri dan langsung menutup loker. Membawa cokelat itu bersama dengan novel. Agak waswas sebenarnya. Siapa tahu yang memberi cokelat itu ada maksud tertentu.

"Siapa yang ngasih aku cokelat, terus ditaruh di loker?" tanya Caca pada seluruh teman kelasnya.

Semuanya menoleh. Ini kejadian langka dalam kurung waktu kurang dari dua tahun ada yang memberikan Caca cokelat.

"Lo mimpi, Ca?" Haikal bertanya.

Gigi menatap cokelat yang ada di tangan Caca, lalu beralih pada novel yang ada di atas meja. "Novel?"

Caca menunduk untuk mengambil novel yang belum ia buka bungkus plastiknya. Masih rapi seperti awal-awal ia mengambil itu dari loker. Kemudian Caca menunjukkannya pada teman kelasnya.

"Ini. Novel sama cokelat ini, di antara kalian ada yang ngasih ke aku? Di novel nggak ada keterangan dari siapanya. Tapi di cokelat ini ada tulisan, dan tulisannya asing di mata aku."

Dika dan Raihan langsung mendekat. Ia membawa kursinya untuk ditempatkan di dekat meja Caca dan Gigi. Merasa penasaran juga kenapa bisa Caca mendapatkan novel dan cokelat?

"Nggak ada, Ca. Mungkin ada yang suka sama lo dari kelas lain, tapi malu ngomong."

Kemudian, mereka melanjutkan aktivitasnya kembali. Sedangkan Dika dan Raihan merebut novel dan cokelat dari tangan Caca.

Caca duduk di kursinya. Ia memasang wajah datar. Satu dengkusan lolos karena ia merasa kesal. Caca tidak suka diperlakukan seperti itu oleh siapa pun, terlebih lagi laki-laki. Ia sangat tidak menyukainya.

"Lo lagi deket sama siapa, sih, Ca?" tanya Gigi.

Caca menatap Gigi dengan tidak suka. "Ya, kamu pikir aku mau deket-deket sama siapa? Sama laki-laki?"

"Kak Afkar?"

"Nggak!"

Raihan menaruh novel di atas meja, lalu mengetuk jari telunjuknya di sana. "Ini yang ngasih udah pasti cowok, Ca. Dia suka sama lo, tapi nggak berani bilang langsung."

Dika menarik sticky note, lalu meremas dan memasukkannya ke dalam saku kemeja. Dengan santai ia membuka bungkus cokelat. Membaginya dengan rata pada Caca, Gigi dan Raihan.

"Jangan diladenin. Kalau besok-besok masih kirim ginian, kasih ke gue aja," kata Dika.

Caca menggeleng ketika Gigi menyerahkan cokelat padanya. "Aku nggak suka digituin, Dika."

"Ya, gimana, kita aja nggak tahu siapa yang ngirim ini." Dika menyandarkan tubuh pada sandaran kursi.

"Tapi, beneran lo nggak ada apa-apa sama Kak Afkar?" Gigi bertanya lagi.

Caca menatap temannya dengan malas. "Beneran, Gi. Lagian kamu tahu sendiri dia juga kayak apa ke cewek, 'kan? Jadi mustahil!"

Raihan membuka buku paket yang ada di atas meja ketika cokelatnya sudah habis dimakan. "Lo mah belum tahu aja cowok kalau udah suka sama cewek itu gimana. Jangankan yang galak, judes, ketus kayak Afkar, yang pendiem, alim, pemalu aja kalau udah suka sama cewek digas pol!" Ia kemudian menyenggol Dika. "Kasih paham, Dik!"

Dika menatap lurus Caca yang tampak bingung. "Itu artinya, ada dua kemungkinan yang kirim ini sama lo. Afkar atau orang yang bener-bener sering ada di sekitar lo, tapi dia nggak berani ngungkapin langsung," paparnya.

"Aku nggak mau disukain sama orang itu," ucap Caca dengan polos.

Gigi sudah mulai geregetan jika Caca versi telat mikir datang. Raihan tertawa tanpa suara mendengar ucapan Caca. Ada-ada saja temannya yang satu itu.

"Ya, emang orang itu sebelumnya tahu bakal suka sama lo? Kan, nggak, Caca!" tutur Dika. "Namanya perasaan yang nggak ada yang tahu datang kapan dan untuk siapanya. Sama kayak orang yang ngasih lo novel dan cokelat itu."

***

Cuma mau bilang kalau, setelah ini bakal lebih sibuk lagi, di mana update makin gak karuan jadwalnya🙏🏻

Makasih yang udah stay di sini, makasih banyak yg udah kasih vote dan comment ❤️

Indramayu, 02 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top