The Best Part. 22
Yuhu, update di TBP awal tahun 2021😭
Mau ngucapin banyak terima kasih untuk kalian yang udah baca cerita ini dari awal dan selalu support. Yang pembaca baru juga, tetep dukung aku ya🍓
Pertanggal 12 April nanti, Caca Afkar anniversary yang kesatu tahun😭 tapi cerita ini baru masuk ke pertengahan, hiksrot
Dahlah, happy reading anak stroberi ku 🍓
...
Lorong sekolah tempat loker siswa-siswi tampak sepi karena jam pulang sekolah sudah berlalu dua jam yang lalu. Kini, hanya ada anak-anak ekskul yang sedang berlatih. Pada pukul empat sore ini, cuaca cukup mendung. Angin mulai berdatangan, menarik awan mendung untuk singgah di ibu kota.
Karena cuaca sepertinya akan hujan dalam waktu dekat, ekskul PMR langsung dibubarkan beberapa saat lalu. Caca akan menaruh agenda absen anak PMR di lokernya.
Caca membuka loker, lalu ia mendapati sebuah novel yang dibungkus dengan plastik bening, dan diberi pita berwarna biru. Gadis itu mengernyit, keheranan. Kenapa ada novel di dalam lokernya?
Itu bukan novel milik Caca yang sengaja gadis itu taruh di loker. Karena rawan dicuri, ia tidak berani menaruh novel di sembarang tempat. Belinya pakai uang, sayang kalau hilang.
Meskipun bingung, Caca tetap menaruh agenda absen di dalam lokernya. Di sana ada kotak P3K, dua buah pulpen, dan juga buku tulis. Novel yang entah datang dari mana itu kini membuatnya takut.
Kepala Caca menengok ke kanan-kiri, memastikan jika di sekelilingnya tidak ada orang satu pun. Perlahan tangannya terulur untuk mengambil novel itu. Namun, sebuah teriakan dari ujung lorong membuatnya urung.
"Woi!"
Caca langsung menoleh. Ia menemukan seorang laki-laki memakai jersey futsal berlari menghampirinya. Tepat ketika lelaki itu ada di hadapannya, napasnya terengah-engah. Bulir keringat mulai bermunculan. Ia refleks mundur dua langkah.
"Ke-kenapa, ya?" tanya Caca dengan gugup. Ia takut saja jika laki-laki di depannya itu ingin macam-macam.
"Lo anak PMR, 'kan?" tanya lelaki itu dengan napas yang mulai beraturan. Tatapannya mengarah pada baju yang Caca pakai. "Udah jelas, sih, lo anak PMR, seragamnya aja gitu."
Caca menatap lelaki itu dengan tidak suka. "Matanya gak sopan!" tegurnya.
Lelaki itu menggaruk kepala, lalu meminta maaf. "Sorry. Tapi, gue butuh bantuan. Lo ada P3K? Ada anak futsal yang jatuh, terus lututnya berdarah. Gue mau ke UKS cuma udah tutup, jadi gue minta tolong sama lo, bisa?" ujarnya menjelaskan alasan kenapa ia mendatangi Caca.
Caca mengangguk. Nalurinya sebagai anak PMR langsung keluar. Dengan cepat ia mengambil kotak P3K, lalu menutup loker tanpa mengambil novel. "Ayo!" ajak Caca.
Mereka berdua berjalan dengan cepat menuju lapangan yang biasa anak futsal pakai untuk latihan. Di sana masih ada anak futsal yang sedang berlatih. Kaki Caca perlahan melangkah dengan pelan ketika mendapati Afkar duduk di tepi lapangan sambil memegangi lututnya.
Jadi ... orang yang lututnya terluka itu Afkar?
Laki-laki yang bersama Caca tadi segera menyuruh Caca untuk mendekati Afkar. "Lo ke sana, deh, ya. Gue mau latihan lagi. Thanks!" katanya, lalu memasuki lapangan bergabung dengan temannya yang lain.
Caca mendengkus. "Cowok, kok, suka seenaknya!" dumelnya, namun kakinya tetap berjalan mendekati Afkar. Ia tidak tega melihat luka di lutut lelaki itu jika tidak diobati.
Tiba di sebelah Afkar, Caca langsung memangil, "Kak Afkar." Dan Afkar langsung menoleh.
Sebelum Afkar membuka suara, Caca berkata, "Lukanya diobati dulu, nanti infeksi."
Caca duduk seperti Afkar tanpa alas apa pun. Gadis itu membuka kotak P3K yang ia bawa. "Udah dicuci pakai air belum, Kak?" tanyanya. Ia kemudian menatap luka pada lutut Afkar yang cukup besar, lalu meringis sendiri. "Lumayan, nih."
"Apanya?" Afkar bertanya.
"Lukanya lumayan lebar," balas Caca.
"Udah dicuci pakai air." Afkar menjawab pertanyaan Caca yang tadi.
"Air apa?" Caca mengambil obat tetes merah dan kapas.
"Transparan."
Caca mendongak. "Hah?"
"Air keran, Arsya." Afkar mulai gemas—ah, kesal mungkin.
Gadis di dekat Afkar mengangguk tanda mengerti. "Aku obati dulu, ya, Kak. Maaf kalau perih," kata Caca dengan mata yang hanya berani menatap lutut yang terluka itu. Jika bertatapan dengan Afkar, jantungnya tidak waras. Jelalatan di dalam sana, dan ia tidak menyukai itu.
Afkar menatap Caca sejenak yang sedang mengobati lukanya. Sebenarnya, meski tidak diobati sekarang pun tidak apa-apa. Hanya saja, anak futsal yang lain menyuruhnya untuk diobati dengan segara. Ia juga tidak tahu kalau Caca ternyata masih ada di sekolah.
Afkar mengernyit ketika rasa perih menyerang. Ia menggerakkan kakinya yang terluka itu tanpa sadar, membuat Caca mendongak dan menatapnya.
"Perih ya, Kak?" tanya gadis itu. Afkar langsung menjawab, "Dikit."
Caca tersenyum kecil. Ia kemudian menunduk kembali, dan meniup pelan luka Afkar, lalu berkata, "Totalitas itu penting, tapi jangan sampai lupa sama keselamatan diri sendiri, Kak." Yang mana langsung membuat Afkar langsung menatapnya.
Afkar sedikit terkejut karena Caca berani meniup lukanya, padahal gadis itu tidak perlu melakukannya. Ia membalas perkataan Caca dengan gumaman saja.
Caca mengambil kain kasa yang sudah terdapat kapas di dalamnya, kemudian menempelkannya pada lutut Afkar. Gadis itu dengan lihai membalut luka Afkar tanpa rasa keberatan sedikit pun karena itu memang sudah menjadi kebiasaannya.
Setelah luka itu terbalut dengan sempurna, Caca menaruh plester agar balutannya tidak lepas. Ia kemudian membereskan barang-barangnya ke dalam kotak kembali.
Afkar yang sudah selesai diobati itu menatap lututnya yang terbalut perban. Lelaki itu beralih pada gadis di dekatnya. "Makasih," ucapnya dengan tulus.
Sambil menutup kotak P3K, Caca mendongak dan mengangguk. "Sama-sama, Kak," balasnya sambil tersenyum. Entah kenapa ketika Afkar berterimakasih setulus itu membuatnya senang. Setidaknya lelaki itu masih bisa tahu bagaimana caranya berterimakasih dengan baik pada orang yang sudah membantunya.
"Mau pulang?" tanya Afkar.
"Iya, udah sore, mendung juga. Takut nanti kehujanan di jalan kalau gak pulang sekarang."
Afkar bangkit dengan cukup kesusahan. Membuat Caca ingin membantu, namun dengan cepat ia sadar kalau mereka tidak bisa berkontak fisik. "Kakak mau ke mana?"
"Ayo, gue antar ke parkiran," ucap Afkar.
"Hah?" Caca langsung berdiri.
"Udah, ayo!" ajak Afkar tidak mau dibantah. Lelaki itu berjalan dengan sedikit tertatih, mendahului Caca.
><
Afkar menaruh jas hujan miliknya di keranjang sepeda Caca. Hal itu membuat Caca sedikit berjingkat. "Bawa," ucap Afkar.
"Hah?"
"Budek?"
Caca mendengkus. Baru saja beberapa menit yang lalu Afkar 'cukup' menyenangkan, tapi sekarang sudah menjengkelkan kembali. Memang, kalau sifatnya sudah bawaan dari lahir akan susah diubah.
"Gak hujan, kenapa harus bawa jas hujan?" tanya Caca dengan bingung. "Lagian, itu punya Kakak, aku gak mau bawa," timpalnya.
"Sedia payung sebelum hujan, kalau gak ada payung ya bawa jas hujan," balas Afkar dengan cepat.
Caca menatap lelaki itu. "Nanti, Kakak gimana?"
"Sama temen." Sekali judes, ya judes saja.
Tanpa buang waktu dan semakin bingung, juga kesal, Caca langsung menaiki sepedanya. Tidak lupa juga memakai helm khusus sepeda. Ujung jilbabnya turun ke kening ketika helm itu terpasang di kepalanya.
"Barang punya Kak Afkar ada dua yang aku simpen sekarang," kata Caca tiba-tiba.
"Hm?" Afkar tidak mengerti.
"Kotak makan sama jas hujan ini. Nanti besok aku kembalikan," tutur Caca. Ia kemudian mendongak sejenak menatap langit yang ternyata semakin mendung. "Aku duluan, ya, Kak. Makasih buat pinjaman jas hujannya," pamitnya pada Afkar.
Lelaki itu langsung mengangguk. "Iya," sahutnya.
"Hati-hati," ucap Afkar menambahi.
Caca mengerjap beberapa kali, kemudian segera mengayuh pedal sepeda. "Iya, Kak." Perlahan ia menjauhi area sekolah dengan debaran jantung yang sudah jelalatan. Meninggalkan Afkar yang hanya diam menatap punggung kecilnya semakin tidak terlihat.
Perlahan Afkar menatap lututnya, lalu bergumam, "Arsya."
><
Full Caca Afkar ya🍓
Ada apa nih di part ini? Puing-puing cinta, kah? Atau apa woiiiii
Jangan lupa vote and comment🍓
Indramayu, 6 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top