The Best Part. 20

Umma menghadang kepergian Afkar yang saat ini sudah duduk di atas motor, bahkan sudah menyalakan mesinnya. Anaknya itu sedang memakai helm, ia dengan segera berjalan ke arah Afkar sambil menenteng paper bag di tangannya.

Afkar menekuk alis ketika Umma datang menghampirinya. Ummanya itu terlihat sangat terburu-buru, seperti takut tertinggal sesuatu. Dengan kepala yang sudah terpasang helm, ia pandangi ummanya dengan terheran-heran.

"Untung Abang belum pergi." Umma mengembuskan napas leganya sambil tersenyum cerah. Ia kemudian mengangkat sebelah tangannya. Menunjukkan paper bag pada Afkar.

"Kenapa, Ma?"

"Umma titip ini buat Caca, ya. Nanti misalkan kamu mau ke kelas, jangan lupa kasih ini dulu buat Caca. Bilang aja titipan, gitu."

Afkar menatap paper bag itu sejenak, lalu menghela napas. Umma yang melihat anaknya seperti itu langsung merasa tidak suka. "Kamu keberatan, Bang?"

Afkar sontak menggeleng. "Enggak, Umma. Ya udah, nanti aku kasih ke Arsya," katanya menuruti permintaan ummanya.

Umma tersenyum sambil menyerahkan paper bag itu. Ia kemudian menepuk-nepuk pundak anak laki-lakinya itu dengan senang. "Makasih, ya, Bang. Sampaikan salam buat Caca."

"Iya, Umma, nanti disampaikan ke Arsya-nya."

"Caca, bukan Arsya." Umma mengingatkan.

Afkar berusaha untuk sabar. "Nama aslinya Arsya, bukan Caca," ujarnya.

Umma mengangguk saja, lalu menyuruh Afkar untuk segera pergi. Bukan karena takut Afkar terlambat, tapi karena ia tidak sabar apa yang ia berikan untuk Caca itu sampai di tangan gadis itu.

Afkar menurut saja. Ia kemudian bergegas pamit. Mengendarai kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang. Selama di perjalanan, ia sempat memandangi paper bag itu sejenak.

Entah perasaan aneh apa yang tiba-tiba saja muncul dalam dirinya, laki-laki itu kemudian bertanya pada angin lalu. "Takdir atau kebetulan, Arsya?" Yang entah jawabannya itu apa.

><

"Halo?"

"Iya, halo ... Kak Afkar?"

Caca memilin bibirnya sendiri. Suara seseorang yang ada di seberang sana adalah Afkar, kakak kelasnya. Terbukti dari nama kontak di ponselnya itu, terpampang dengan jelas kalau lelaki itu meneleponnya di jam tujuh kurang lima belas menit sekarang ini.

Ia juga sebenarnya bingung, untuk apa Afkar meneleponnya?

"Iya, ini gue."

"Emmm ... ada apa, ya, Kak?"

"Lo di mana?"

"Di dalam kelas, Kak."

"Ke luar dulu, gue di depan, sekarang."

Tut.

Panggilan diputus sepihak. Caca pandangi layar ponselnya dengan jantung yang bertalu. "Ini orang kenapa suka banget bikin deg-degan, sih?" monolognya dengan bingung.

Kemudian Caca beranjak dari duduk. Ia langkahkan kakinya keluar kelas. Di dalam kelas cukup ramai karena bel akan berbunyi kurang lebih lima belas menit lagi. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi gugup ketika menyadari jika Afkar ada di depan kelasnya.

Caca menengok ke arah kanan, ia menemukan Afkar di ujung koridor. Berdiri di pembatas balkon dengan tangan sebelah tangan yang dimasukkan ke dalam saku hoodie. Sementara sebelah tangannya yang lain menenteng paper bag.

Gadis itu berjalan mendekati Afkar yang belum sadar akan kehadirannya. Beberapa orang-orang yang lalu-lalang di koridor, menatap Afkar yang tidak peduli akan keadaan sekitar. Ia kemudian memanggil lelaki itu ketika sudah berdiri dengan jarak satu meter dari tempat Afkar berdiri.

"Kak Afkar."

Afkar menoleh, mendapati Caca yang sedang menatapnya. Ia kemudian memiringkan tubuh menghadap gadis itu. Mengangsurkan paper bag yang ia bawa. "Titipan dari umma, gak tahu isinya apa," ucapnya.

Caca menatap paper bag itu dengan bingung. Atas dasar apa ummanya Afkar memberikan itu padanya?

"Emmm ...." Caca ragu untuk menerimanya.

Afkar dengan cepat mendorong paper bag itu sampai membentur lengan Caca. Ia merasa gemas sendiri karena adik kelasnya itu banyak berpikir. Padahal, ummanya tidak akan macam-macam karena memberikan paper bag itu.

"Haram untuk ditolak."

Caca berkedip dua kali dengan tangan yang mulai menyambut paper bag itu. "Sampaikan makasih untuk umma, ya, Kak."

Afkar mengangguk, lalu memutar badannya. Namun, Caca kembali memanggilnya. "Kak?"

Afkar menoleh. "Hm?"

"Makasih juga buat Kak Afkar, maaf merepotkan."

Afkar mengangguk sekilas. Kemudian melangkahkan kaki menjauhi koridor kelas Caca. Meninggalkan gadis itu sendirian yang kini menatap isi paper bag. Diam-diam dirinya mengepalkan sebelah tangannya yang ada di saku hoodie.

"Aneh," gumamnya.

><

Caca memasuki ruang kelasnya. Ia disambut oleh tatapan penuh tanda penasaran dari Gigi, Raihan, dan Dika yang duduk mengitari mejanya. Bel tidak kunjung berbunyi, padahal dirinya ingin lari dari pertanyaan-pertanyaan yang akan temannya lontarkan itu.

"Pendekatan, Ca?" tanya Dika sambil menaikkan satu alisnya. Di sampingnya ada Raihan yang memutar-mutar ponsel, kalau jatuh, tahu rasa.

Caca duduk di kursinya. Gadis itu menaruh paper bag di atas meja. Kemudian menatap satu per satu teman-temannya. "Apaan, sih, Dika, enggak," jawabnya.

"Iya juga gak papa, Ca," ujar Raihan.

"Hape kamu nanti jatuh, Han, tahu rasa. Kayak punya duit aja buat beli baru. Kasihan orang tua kamu kerja supaya dapat uang." Caca menekuk alisnya ketika menyadari kalau Raihan sedang memutar-mutar ponsel di tangannya.

Gigi memandangi Raihan. "Hayo, lho, Han." Ia kemudian mengalihkan tatapannya pada Caca. "Gak usah mengalihkan topik, Arsya Fidiya!"

Caca memberikan senyuman kuda. Gagal sudah. "Ya, habis mau apa yang dibahas, sih, Gi? Orang, gak ada apa-apa, kok, beneran," tuturnya berusaha menyakinkan temannya. Ya, memang begitu, kan, kenyataannya?

"Kemarin-kemarin juga bilang gak sengaja, kebetulan, gak ada apa-apa, tapi tetep aja berkelanjutan." Dika beranjak dari kursi, dan berjalan menuju tempat duduknya sendiri.

"Kayak orang cemburu lo, Dik."

Dika hanya mengangkat ibu jarinya ke udara sebagai balasan untuk ucapan Raihan.

Gigi menggeleng dan mencolek lengan Caca. "Cemburu, tuh, Ca. Makanya, jangan dulu punya gebetan, apalagi kakak kelas," katanya.

Caca mengangkat kedua bahunya. "Gak tahu, ah, kalian semua aneh. Dibilang gak ada apa-apa gak percaya banget."

><

Raka menepuk bahu Misbah yang berjalan di sampingnya, sementara Afkar dan Ganda di depan. Ia menatap seseorang yang ada di dekat gerbang dengan seorang laki-laki di dekatnya. Mereka tampak sedang mengobrol, dan sepertinya sudah mengenal satu sama lain, terbukti karena dari raut wajahnya sangat begitu bersahabat.

Misbah menoleh ketika Raka menepuk bahunya. "Apaan, dah, Ka?"

Raka menunjuk ke arah depan sana. "Itu Arsya sama siapa, dah? Kok kelihatannya akrab banget?"

Mendengar nama Arsya disebut, langkah kaki Afkar spontan berhenti, Ganda pun begitu. Afkar menekuk alisnya ketika mengikuti arah tunjuk Raka. Dirinya langsung mendapati Arsya dan seorang laki-laki di dekatnya.

Siapa? tanyanya dalam hati. Namun, otaknya langsung menampik, urusannya sama gue apa?

Iya, itulah laki-laki dengan sudut pandang logikanya.

"Abangnya, mungkin?" Ganda ikut menyaut.

"Tapi, gak mirip, tahu."

"Siapa tahu sepupunya, positif aja lah mikirnya."

Raka melirik Afkar sebentar. "Ya, kan, gak ada yang tahu kalau itu pacarnya. Kelihatan akrab banget gitu, gak ada canggung sama sekali," tuturnya.

Afkar tidak sadar jika dirinya menatap datar pada dua orang di sana. "Gosip aja sampai sore. Gak usah pulang sekalian," ucapnya, lalu melangkahkan kaki ke arah parkiran. Berusaha tidak memikirkan pertanyaan apa saja yang tiba-tiba bersarang di dalam kepalanya.

><

Assalamualaikum, everybody😭 kangennnnn

Alhamdulillah akhirnya bisa up juga setelah sebulan, hmmm maaf ya lama banget karena harus ngerjain naskah cerita sebelah :"

Oh iya, yg baca I Found The Love, jangan lupa nabung ya, insyaallah bulan Januari atau Februari mendatang akan terbit, pantengin terus lapaknya yaa

Jangan lupa vote dan comment🍓

Indramayu, 14 Desember 20

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top