The Best Part. 18

"Di dunia ini gak ada yang kebetulan, Ca. Setiap kebetulan itu udah direncanakan sama Tuhan yang dijadikan takdir. Rencana itu pasti gak cuma sekali datang, tapi di kemudian hari bakal datang lagi."

Masih terpatri dengan jelas ucapan Raihan tempo hari di dalam kepalanya. Seakan roda kehidupan bertitik pada poros yang sama seperti waktu itu, Caca kehilangan kata-kata untuk sekadar bertanya, rencana Tuhan apalagi yang sedang terjadi saat ini?

Setelah hari di mana ia menerima bantuan Afkar untuk membawakan buku ke kelasnya, ia memang sudah tidak pernah bertemu langsung dengan lelaki itu ataupun dengan teman-temannya. Dirinya merasa tenang dan bersyukur, hidupnya kembali normal seperti sebelum-sebelumnya.

Menghindar dan menyimpang yang selalu ia lakukan selama ini membuahkan hasil. Namun, ia lupa kalau di dunia ini tidak ada yang kebetulan karena itu semua sudah direncanakan oleh Tuhan.

Di sini, di sebuah rumah yang ukurannya tidak jauh beda dengan rumah milik keluarga Akbar, Caca entah sudah berapa puluh kali menarik napasnya dengan dalam dan mengembuskannya dengan pelan, pelan sekali. Seakan ia takut jika embusan napasnya bisa terdengar oleh seseorang yang sedari tadi menatapnya seakan ingin menerkam.

Afkar. Ya, lelaki itu duduk di sofa yang ada seberangnya. Menatapnya dengan tatapan tajam dan mengintimidasi. Rasa ingin mencolok mata lelaki itu tiba-tiba saja langsung mencuat ke permukaan.

Caca benar-benar tidak tahu kalau Afkar adalah abang dari teman Azhar, Tisya. Ia sudah tahu nama Tisya saat gadis itu memperkenalkan diri padanya dengan suka hati. Bahkan tidak melunturkan senyum barang secuilpun. Senyum yang mampu membuatnya ikut menarik kedua sudut bibirnya juga. Namun, ketika seorang laki-laki bertubuh jangkung muncul di belakang Tisya, senyumnya langsung luntur.

Beruntungnya, Umma Tisya langsung datang dan menyuruhnya masuk. Caca menahan napas ketika melewati Afkar yang berdiri kaku di tempatnya. Lelaki dengan celana training panjang dan kaus biru tua itu berhasil membuat dentuman jantungnya menggila di dalam sana.

"Kak Caca!"

Caca terkesiap. "Hah? Ya, kenapa? Gimana?" sahutnya dengan raut bingung.

Caca duduk dihimpit oleh Azhar dan Tisya. Tisya suka berada di samping Caca. Merasa kagum pada Kakak dari temannya itu. Ia bahkan tidak sadar kalau abangnya sudah memasang wajah yang sulit dijelaskan karena tingkahnya.

"Kok melamun?"

"Laper kayaknya, Sya." Bukan Caca yang menjawab, tapi Azhar.

Caca menoleh pada Azhar dan memberikan pelototan kecilnya. "Azhar, gak boleh gitu," bisiknya dengan mata yang sesekali melirik Afkar yang belum juga membuka suara.

Ya Allah, jika Afkar ingin menjadi patung, tolong tempatkan di tempat yang seharusnya.

Azhar memberikan senyumannya, lalu meminta maaf. Caca kini fokus pada Tisya yang menatapnya dengan binar penuh semangat yang begitu nampak di kedua bola mata beningnya.

"Kakak melamun karena takut sama abangnya Tisya, ya?"

Caca langsung tergagap ketik menjawab, "Emmm ... N-nggak kok! G-gak git-tu." Ya ampun, jantungnya seakan langsung merosot ke perut. Tidak abangnya, tidak adiknya, sama-sama suka membuat orang jantungan!

Tisya menatap Afkar. "Sapa dong Kak Caca nya, Bang! Dari tadi diem aja kayak patung! Mau ngalahin patung yang di mana?" Gadis itu merocos dengan memberikan pertanyaan pada Afkar, yang langsung dibalas dengan dengusan kecil oleh abangnya.

"Udah kenal," sahut Afkar dengan singkat. Terdengar dari nadanya kalau lelaki itu tidak minat untuk menjawab.

Jantung Caca semakin maraton. Gadis itu menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan. Santai, Ca, santai. Kak Afkar gak bakalan gigit kamu, dia bukan kanibal, ucapnya dalam hati.

Tisya menatap tidak percaya pada abangnya. Lalu, ia tolehkan kepala ke arah Caca. "Kak Caca udah kenal sama Bang Afkar?"

Caca meringis pelan dan menganggukkan kepalanya. Dari ekor mata ia melirik Afkar yang kini memalingkan wajah. Seakan tidak mau bertanggung jawab atas apa yang sudah lelaki itu katakan.

"Wah! Bagus, dong, kalau udah saling kenal. Biasanya Bang Afkar susah kalau kenalan atau temenan sama cewek, Kak. Tapi, Kak Caca ternyata udah saling kenal sama Abang, bagus deh, hehehe ...."

Umma muncul kemudian dengan membawa nampan berisi minuman dan stoples camilan. Mengulas senyum tulusnya, wanita itu duduk di samping Afkar setelah menaruh nampan di atas meja.

"Ayo, Nak Caca, Azhar, diminum dulu."

Caca membalas senyuman Umma sambil menganggukkan kepalanya. "Iya, makasih, Umma. Maaf, ya, kalau kedatangan aku sama Azhar merepotkan," katanya.

"Nggak, kok, nggak merepotkan. Justru, Umma senang karena Caca mau ke sini untuk menemui Tisya."

Lalu, obrolan ringan yang didominasi oleh Tisya dan Azhar itu mengalir begitu saja. Afkar di tempatnya masih diam, memandangi Caca yang mengobrol dengan Umma. Tidak sadar jika di tempatnya, Caca berusaha mati-matian untuk menahan debaran jantungnya yang menggila.

><

Adonan cookies baru saja memasuki oven. Caca melepas celmek dan menaruhnya di tempat semula. Ia kemudian mencuci tangan di westafel. Hingga suara Umma terdengar, ia sedikit memiringkan kepalanya dengan tangan yang masih penuh dengan sabun.

"Capek, ya, Nak?"

Caca langsung menggeleng dan tersenyum lebar. "Nggak kok, Ma. Malahan aku senang bisa buat cookies bareng Umma dan Tisya. Semoga nanti rasanya enak."

Umma terkekeh sebentar. "Aamiin. Makasih, ya."

Setelah selesai, Caca mengelap tangannya dengan kain. Ia kemudian digiring oleh Umma untuk duduk di kursi meja makan. Mereka berdua duduk berdampingan. Tidak ada Tisya, Azhar ataupun Afkar.

Umma mengusap lengan atas Caca dengan lembut. Wanita itu lagi-lagi mengulas senyum indah. Entah sudah berapa kali ia tersenyum hari ini hanya karena kehadiran Caca yang membuat anaknya senang. Bukan hanya anaknya saja, dirinya juga senang karena Caca begitu sopan dan baik.

"Umma sangat berterima kasih sama kamu karena udah mau berkunjung ke sini, apalagi sampai ajarin Tisya sama Umma bikin cookies. Umma yakin, cookiesnya pasti enak!" tutur Umma.

"Umma nggak perlu ngomong makasih terus sama aku. Aku senang, kok, datang ke sini. Selain bisa ketemu Umma dan Tisya, aku juga bisa dapat teman mengobrol." Caca membalas demikian. Gadis itu mengusap punggung tangan Umma.

Lalu, ia bertanya, "Oh, iya, suami Umma lagi kerja atau ... gimana? Maaf, sebelumnya aku lancang, hehehe ...."

Umma menggelengkan kepalanya. "Enggak papa, dong, wajar kalau kamu tanya hal begitu. Suami Umma, Abah Afkar dan Tisya udah meninggal dunia. Udah bahagia sama Allah di sana." Wanita itu menunjuk ke arah langit-langit ruangan sambil tersenyum.

Caca sedikit tertegun. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu membalas senyuman Umma. "Aamiin. Allah pasti menempatkan orang baik di tempat-Nya yang terbaik juga."

><

"Umma kebelet, nih, Ca. Kamu di sini sendirian nggak papa?" Umma beranjak dari duduk.

"Iya, gak papa, kok."

"Nanti, kalau udah matang, toples kuenya ada di rak atas ya, Ca. Maaf banget Umma kebelet soalnya."

Caca terkekeh. "Iya, Umma, nggak papa kok, tenang aja."

Kemudian, Umma beranjak menuju kamar mandi yang ada di lantai satu, dekat dengan pintu halaman belakang rumah. Meninggalkan Caca sendirian di sana yang tidak lama kemudian beranjak dari duduk ketika bunyi dari oven sudah terdengar, pertanda kalau cookiesnya sudah matang.

Memakai sarung tangan untuk mengambil loyang yang ada di dalam oven, Caca menundukkan tubuhnya. Ia buka oven dan mengeluarkan loyang dari sana. Bau harum dari cookies cokelat tercium menggelitik hidung. Perlahan senyumnya merekah.

"Alhamdulillah, kayaknya enak." Iya, kayaknya.

Menaruh loyang di atas bar dapur, Caca melepas sarung tangannya. Ia kemudian mendongak, menatap rak yang di dalamnya terdapat toples kue untuk diisi dengan cookies.

"Rak toples sama rak buku sama aja, sama-sama tinggi," ujar Caca dengan spontan. Gadis itu menaruh kedua tangannya di pinggang. Nampak berpikir sejenak. "Pakai kursi lagi, gitu? Tapi, ya, masa pakai kursi dari meja makan? Nggak sopan banget. Ini bukan rumah Mas Akbar."

"Di rumah ini gak ada setan, kenapa lo ngomong sendiri kayak gitu?"

Sontak, Caca menoleh dengan kedua tangan yang ia turunkan. Gelagapan sendiri ketika tertangkap basah sedang berbicara sendiri. Yang menegurnya tadi adalah Afkar. Ya ... laki-laki galak, judes dan aneh itu muncul di depan pintu dapur tiba-tiba.

"A-apaan, Kak? N-nggak, kok!"

"Nyari apaan?"

Caca membalas tatapan lelaki yang berdiri tiga meter dari tempatnya berpijak itu. "Emmm ... anu, toples," jawabnya.

"Terus, bukannya diambil, kenapa malah ngomong sendiri kayak tadi?"

Kok, jadi banyak tanya, ya? batin Caca.

"Belajar bermonolog dengan baik," balas Caca dengan asal. Kehadiran Afkar tidak membantunya untuk mengambil toples sama sekali.

Afkar melangkahkan kaki memasuki dapur. "Kenapa gak diambil, Arsya?" tanyanya sekali lagi dengan nada mengintimidasi.

"Y-ya, itu raknya tinggi, Kak. Jadi, aku gak bisa ngambilnya."

Afkar menatap rak yang ada di dekat kepalanya itu. "Butuh bantuan?" Pertanyaan retoris keluar begitu saja.

Caca memandangi lelaki itu dengan tidak percaya. "Nggak juga. Tapi, kalau emang peka, ya pasti tahu harus membantu atau enggak," katanya.

Afkar mendengus. Ia membuka rak dan mengambil stoples kaca, lalu memberikannya pada Caca. "Gak usah sok jual mahal," ucapnya.

Caca menerima toples itu dan membalas, "Emangnya siapa yang mau jual cookies ini dengan harga mahal? Lagian, cookies ini nggak akan dijual, Kak."

Afkar menahan geramannya. Ia mengambil satu cookies dan memutar tubuhnya untuk keluar dari dapur. "Bolot dan polos beda tipis rupanya." Ia bergumam sambil menggelengkan kelapanya, di mana gumaman itu tidak akan bisa didengar oleh Caca.

><

Alhamdulillah, ya Allah akhirnya bisa update juga😢

Jazakumullah khairan katsiran untuk yang menunggu cerita ini update, sekarang sudah lunas ya hutang part 18 nya😗

Jangan lupa vote dan comment nya akan selalu ditunggu😁

Salam kangen dari Nung, buat pembaca Garis Terdepan❤

Indramayu, 11 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top