The Best Part. 17
"Lo tahu kenapa kura-kura selalu bawa tempurungnya ke mana-mana?"
Pertanyaan itu meluncur dari mulut Misbah. Seperti biasanya, ia menanyakan suatu hal yang random. Pertanyaannya tadi mewakili pertanyaan dari Raka yang memang ingin temannya itu tanyakan, hanya saja sedang malas berbicara, jadilah ia yang harus menggantikannya. Teman yang sangat pengertian, bukan?
Ganda yang sedang mengerjakan PR matematika itu mendongak sejenak untuk menatap Misbah, sebelum akhirnya kembali fokus pada buku tulis. Di sampingnya, Afkar justru menghela napasnya dengan perasaan yang lelah menghadapi Misbah.
Tidak Raka, ya Misbah. Tidak Misbah, ya Raka. Layaknya kembar yang terpisah, mereka seperti mempunyai ikatan batin yang begitu kuat.
Iya, kuat karena sama-sama random dan sering error.
"Karena tempurung itu rumahnya kura-kura, Mis," jawab Ganda.
"Gue punya rumah, tapi gak pernah dibawa ke mana-mana," ucap Raka begitu santai. Rasa malasnya seketika menguar entah ke mana karena pembahasan yang random itu begitu menarik perhatiannya.
Afkar menatap kedua temannya yang duduk di sofa, sedangkan dirinya dan Ganda ada di atas tempat tidur. Setelah pulang sekolah, ketiga temannya memang mampir ke rumahnya untuk main dan ... jelas saja menumpang makan.
"Lo bawa pilarnya aja gak bakal kuat, Ka." Afkar mulai membuka suaranya. Alih-alih mengabaikan topik pembicaraan yang random itu, ia justru ikut menimbrung dalam obrolan. Memang, bagaimanapun kerandoman dan ke-erroran teman, pasti ia juga akan tertular, padahal sudah mewanti-wanti agar tidak ikut terjerat.
Raka menaikkan satu kaki ke atas sofa, menaruh lengannya di atas lutut. Wajahnya nampak seperti sedang berpikir. "Kura-kura selalu bawa rumahnya ke mana-mana, sedangkan manusia nggak bisa. Tapi, manusia juga bisa bawa rumah lho, aslinya."
Misbah menyenggol kaki Raka yang naik ke atas sofa itu, membuat kaki temannya bergeser. "Kayaknya gue tahu apa yang lo maksud," ujarnya sambil mengangguk-anggukkan kepala seakan mengerti arah dan tujuan dari ucapan Raka.
Ganda di tempatnya diam-diam menghela napas. Afkar sampai menoleh dan terkekeh pelan. "Temen lo gak waras ya, Gan?"
"Lagian kenapa juga harus bahas kura-kura sama tempurungnya, sih?"
Raka menyaut, "Lo itu jadi manusia harus memperhatikan ke sekitar, Gan, Kar. Hidup itu nggak melulu tentang bahagia." Entah pembicaraan itu akan menuju ke mana.
"Emangnya kura-kura hidupnya penuh dengan duka dan lara?" Misbah bertanya, semakin random.
Afkar beranjak karena ia muak. Muak sekali! "Gan, cabut," ucapnya pada Ganda yang langsung dipatuhi temannya. Biarkan saja kedua temannya yang lain itu terus membahas sesuatu yang random.
Menyisakan Raka dan Misbah, mereka berdua justru menyandarkan tubuh di sofa dengan nyaman. Kemudian, tawa mereka keluar bersamaan.
"Gila lo, Ka."
"Lo juga ngikut, Mis."
Dua manusia random dan error yang disatukan akan menciptakan sebuah dunia yang tidak bisa dimasuki dan dipahami oleh sembarangan orang.
Sama seperti Raka dan Misbah, mereka memang seperti dua orang kembar. Sama-sama gila.
...
"Abang." Tisya memanggil abangnya yang duduk di seberang meja makan. Ia, abang dan ummanya sedang makan malam.
"Kenapa, Sya?" Menyaut tanpa melihat sang adik.
"Kemarin Tisya bagi nomor hape Abang ke temen."
Uhuk! Uhuk!
Tisya menekuk alis, sedangkan Umma langsung memberikan Afkar minum. "Pelan-pelan, Bang, minum dulu," kata Umma.
Afkar meneguk habis minumnya dan berterima kasih pada Umma. Ia menatap adiknya yang justru memberikan tatapan tidak merasa bersalah sama sekali. Apa katanya tadi? Memberikan nomor ponselnya pada teman Tisya?
"Maksud kamu apa?"
Alih-alih Tisya yang menjawab, tapi Umma-lah yang menjawabnya. "Hape Umma rusak, kayaknya, jadi Umma bilang sama Adek buat pakai nomor Abang dulu untuk dikasih ke temannya. Itu lho, Bang, yang suka bikin video di YouTube terus Umma sama Adek sering tonton."
Afkar memicingkan mata, menatap curiga pada sang adik yang kini memberikan senyum pasta giginya. "Kan, bisa pakai nomor Umma, terus dimasukkan ke hape Abang, Tisya."
"Ya udah, sih, Bang, kan udah terlanjur juga. Nanti kalau ada apa-apa, Umma yang tanggung jawab. Oke?"
Tisya tersenyum penuh kemenangan. "Yang tua, mengalah aja, ya."
Afkar hanya bisa mendengus sebal sebagai respon. Berharap jika teman adiknya itu tidak akan macam-macam dengan nomor ponselnya. Sebab, itu sangat privasi, baginya.
...
Di hari Minggu, Azhar sudah menarik-narik tangan Caca untuk segera pergi ke rumah temannya, Tisya. Ia sudah berpakaian rapi, begitu juga dengan Caca yang memakai rok bahan levis, kemeja berwarna biru-abu, dan kerudung peach. Dilengkapi dengan kamera yang menggantung di lehernya. Azhar yang memintanya untuk membawa kamera itu. Padahal, Caca sebenarnya tidak mau.
Di teras bagasi, Akbar sudah memanaskan mobilnya, siap untuk mengantar anak dan adik iparnya ke tempat tujuan. Azhar sudah bercerita padanya kalau anak itu akan pergi ke rumah teman sekolahnya yang sangat menyukai Caca--lebih tepatnya video yang sering adik iparnya itu buat di YouTube.
"Gak usah ditarik gitu Kak Cacanya, Azhar, pelan-pelan nanti jatuh." Berjalan di belakang Azhar dan Caca, Esha menegur anaknya yang memang kelewat bersemangat. Ia juga akan ikut mengantar--lebih tepatnya berjalan-jalan dengan Akbar setelah mengantar Azhar dan Caca. Mumpung hari libur dan sudah lama tidak menikmati waktu berdua di luar rumah.
Azhar menyengir dan menjauhkan tangannya dari tangan Caca. Berlari menuju mobil yang sudah ada papinya di dalam sana. Ia membuka pintu mobil bagian belakang dan duduk di kursi. "Mami, Kak Caca, buruan dong!" serunya dengan semangat. Suaranya menggema di dalam mobil. Papinya sampai menutup telinga.
"Rusak gendang telinga Papi, Zhar, rusak!"
Azhar menatap ke depan, ke arah papinya. "Ya, kalau rusak tinggal dibenerin, Pi," sahutnya dengan alis yang sedikit menekuk.
"Dikira perabotan rumah kali," gumam Akbar. Memilih untuk tidak membalas sahutan anaknya tadi.
Setelah Caca dan Esha naik, Akbar melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah, menuju tujuan utama, yaitu rumah teman sekolah Azhar.
...
Sejak tadi malam, ponsel Afkar di tangan Umma. Sebabnya karena teman Tisya hari ini akan datang bermain bersama dengan kakaknya. Kurang lebih seperti itu apa yang dikatakan Umma tadi malam. Jadi, sekarang ia bingung, antara keluar kamar atau tidak?
Menatap ke arah luar jendela kamarnya, ia bisa melihat dengan jelas pemandangan yang ada di luar gerbang rumah. Di sana, ada sebuah mobil berwarna hitam berhenti. Ia menekuk alisnya.
"Apa itu temannya Tisya?"
Kemudian, pintu mobil terbuka. Muncullah seorang anak laki-laki, lalu disusul seorang gadis remaja. Wajah mereka belum bisa Afkar lihat karena mereka memunggunginya. Nampak sedang berbincang-bincang pada seseorang yang mengemudikan mobil itu.
Tidak lama kemudian, Tisya datang membuka kunci gerbang rumah. Tepat saat itu juga, mobil yang mengantar tadi pergi dari depan gerbang rumahnya. Dua orang itu berbalik badan ketika menyadari kalau gerbang rumah sudah dibukakan.
Kedua mata Afkar membulat sempurna.
"Arsya?!"
Takdir Tuhan macam apa ini?
...
Setelah IFTL selesai, mungkin aku bakal fokus di sini. Lapak lain juga bakal update, tapi aku usahakan di sini lebih sering, ya. Doakan saja idenya lancar seperti air sungai yang terus mengalir tanpa henti, wkwkwk aamiin
Makasih yg masih membaca sampai sini dan nungguin. Pound of you, so much, thanks a lot❤
Jazakumullah khairan katsiran, Akhi, Ukhty🤗
Jangan lupa vota dan comment nya ya
Indramayu, 19 oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top