The Best Part. 16
"Ngapain?"
Caca menoleh dengan terkejut. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Lantas, buru-buru menyadarkan dirinya. "Emmm ... ambil buku paket, Kak," jawabnya.
Laki-laki yang bertanya pada Caca tadi langsung menganggukkan kepalanya. "Perlu bantuan?" tawarnya saat melihat melihat tumpukan buku paket yang cukup banyak jika Caca yang membawanya sendirian.
Caca terdiam cukup lama. Ucapan lelaki di depannya tempo hari itu masih ia ingat dengan jelas. Bahkan, dirinya masih sering memikirkan ucapan kakak kelasnya itu secara diam-diam.
"Sebagai balas budi, kalau butuh bantuan, lo bisa minta ke gue."
Ucapan itu selalu menghantuinya. Jika ia meminta bantuan pada Afkar, itu artinya, hutang lelaki itu padanya sudah lunas, kan? Lalu, ia tidak akan pernah berurusan lagi dengan Afkar?
Sungguh, Caca sangat tidak suka menjadi pusat perhatian. Baginya, itu adalah sebuah hal yang tidak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin menjalani kehidupannya seperti biasa sebelum tragedi 'keempat pentolan sekolah mengunjunginya ke kelas'. Tidak seperti sekarang, di manapun ia pergi ke salah satu tempat yang ada sekolah, maka bisikan-bisikan itu akan selalu ia dengar dan dapatkan.
"Gimana?"
Pada akhirnya, Caca mendongak dan menganggukkan kepala. Dengan pelan dan sedikit menekan rasa groginya, ia berkata, "Setelah ini, hutang balas budi kakak ke aku, selesai. Aku harap ini terakhir kalinya kita berinteraksi. Maaf kalau aku kurang sopan, tapi ini demi kenyamanan hidup aku, Kak."
Tidak banyak bicara, Afkar mengambil alih tumpukan buku itu ke tangannya. Berjalan keluar perpustakaan begitu saja. Meninggalkan Caca yang kini justru mengembuskan napasnya dengan perasaan yang sulit untuk dijabarkan. Tidak tahu kalau Afkar sedang menahan perasaan kesalnya.
...
Caca berjanji ini terakhir kalinya Afkar muncul di dalam ruang kelasnya dan menggemparkan semua orang yang ada di sana. Setelah ini, selesai. Ia sebisa mungkin akan menghindari Afkar dan teman-temannya agar hidupnya bisa tenang tanpa bisikan-bisikan murid-murid di sekolah.
Menaruh tumpukan buku di atas meja guru, Afkar berbalik tanpa mengatakan apapun. Mulut Caca yang terbuka ingin mengatakan terima kasih saja langsung terkatup ketika lelaki itu justru melenggang pergi dengan wajah galak dan datarnya.
Jangankan mau menyapa, melirik saja tidak. Bukannya merasa lega, Caca justru merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Antara tidak enak dan ... entahlah. Susah dijelaskan.
Tanpa repot-repot untuk menyusul Afkar dan mengucapkan terima kasih, Caca justru menutup pintu kelas dan berjalan menuju tempat duduknya. Beberapa teman kelasnya memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sangat malas untuk dijawab.
"Kok bisa dibawain bukunya, Ca?"
"Ca, lo ada apa-apa ya sama Kak Afkar?"
"Ini kedua kalinya lho dia ke sini dan itu menyangkut elo, Ca."
"Jangan-jangan lo mulai pendekatan sama Kak Afkar, ya, Ca?"
"Kak Afkarnya gue, kenapa bisa kecantol sama elo sih, Ca ...."
Caca mengibaskan tangannya ke udara. "Udah, ya, jangan buat berita yang nggak-nggak. Itu tadi gak sengaja ketemu di perpus, terus Kak Afkar nawarin bantuan. Karena aku gak kuat bawa buku-buku itu, akhirnya dibawain sama dia. Jadi, diem, oke? Ini cuma kebetulan, kok," jelas Caca, lalu duduk di kursinya. Malas menanggapi yang lebih dari ini lagi.
Raihan menyeletuk, "Di dunia ini gak ada yang kebetulan, Ca. Setiap kebetulan itu udah direncanakan sama Tuhan yang dijadikan takdir. Rencana itu pasti gak cuma sekali datang, tapi di kemudian hari bakal datang lagi." Yang langsung mendapatkan toyoran di kepalanya dari Dika.
"Gaya lo ngomongin gituan, Rai! Urus aja tuh kartu sim yang keblokir!" ujar Dika dengan suara lantang. Langsung direspon oleh suara tawa teman kelasnya.
Haikal selaku ketua kelas itu maju ke depan sambil membawa ponselnya. Ia duduk di meja guru dan menyuruh teman-temannya untuk mengambil buku paket mereka. Ia tidak bisa membagikannya sendiri karena sebelah tangannya digips. Kemarin lusa baru saja jatuh dari motor. Itulah sebabnya kenapa Caca yang mengambil buku ke perpustakaan, sekalian juga Caca tadinya ke toilet.
Caca mengambil buku dan pulpennya, sedangkan Gigi maju ke depan untuk mengambil buku paket itu. Setiap dua orang, mendapatkan satu buku untuk digunakan bersama-sama.
Gigi mengambil buku itu dan mendelik pada Haikal yang menatapnya dengan jail. "Gue timpuk juga tangan lo itu biar makin menderita!" ucap Gigi dengan nada kesalnya sambil mengangkat buku paket yang ada di tangannya.
Haikal terkekeh dan menunjuk lengannya yang digips itu dengan dagu. "Nih, silakan, Gi," sahutnya mempersilakan Gigi untuk melakukan apapun pada tangannya yang sedang tidak baik-baik saja itu.
Gigi mendengus. "Sayangnya gue masih punya hati nurani buat nggak nimpuk elo, Kal." Lalu, melengos begitu saja dari hadapan Haikal yang kini tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya.
"Gigi marah-marah mulu sama Haikal, gak baik tahu, Gi. Apalagi Haikal lagi sakit kayak gitu," tutur Caca ketika Gigi sudah duduk di sampingnya.
Gigi membuka buku tulisnya sambil melirik Haikal yang fokus pada ponsel. "Dia sakit juga karena ulah sendiri, Ca. Tadi-tadi mending sakit karena gue aja!" balasnya.
"Kok karena kamu?"
"Iya, biar bukan tangannya aja yang digips, biar mukanya juga aku bikin bonyok! Gak bisa ngomong! Daripada sehat, tapi nyebelin, mending sakit aja itu anak!"
Caca menggelengkan kepalanya tidak paham. Gigi memang akan selalu meledak-ledak jika menyangkut tentang Haikal. Entah benteng apa yang ada di antara Gigi dan Haikal itu, Caca tidak mengerti. Otaknya hanya bisa memilih warna krayon mana yang cantik, tapi tidak bisa memilih opini mana yang menurutnya tepat tentang Gigi dan Haikal itu.
"Eh, Ca, tapi beneran tadi Kak Afkar gak ngapa-ngapain, kan?" tanya Gigi masih penasaran dengan sebuah 'kebetulan' yang Caca katakan tadi.
Caca melihat papan tulis. Di sana Haikal sedang menuliskan halaman ke berapa dari buku paket untuk mereka tulis dan kerjakan. "Iya, emang gak sengaja, Gi," jawabnya.
Gigi membolak-balik buku paket itu dengan perasaan malas menulis yang mulai menyerangnya. "Kali aja gitu tadinya udah kirim-kirim pesan dulu."
"Halaman enam puluh empat. Rangkum materi yang berjudul itu dan kerjakan lima soal esai. Dikumpulkan setelah jam pelajaran habis." Caca membaca tulisan di papan tulis itu, kemudian meminta Gigi untuk membuka halaman 64. "Buka halaman enam puluh empat, Gi."
Gigi membuka halaman 64 seperti apa yang Caca katakan. "Ca, balas dong omongan gue tadi!" ujarnya dengan geregetan.
Caca menekuk alisnya. "Yang mana, Gi?"
Gigi mendengus kesal. Tidak Caca, tidak Haikal, selalu saja menguji kesabarannya. "Tahu, ah! Gak jadi! Udah basi!"
...
Azhar memasuki kamar Caca setelah mengetuk pintu dan diizinkan masuk oleh sang empu. Ia membawa secarik kertas di tangannya. Kini ia bisa melihat kalau Caca sedang duduk di kursi belajar dan fokus pada laptop. Ia menghempaskan pantatnya di atas tempat tidur.
"Kak Caca."
"Kenapa, Zhar?"
"Azhar bawa sesuatu buat Kak Caca." Anak laki-laki itu menunjukkan kertas yang ia bawa ketika Caca memutar tubuhnya dan beranjak untuk duduk di sampingnya.
Caca mengambil kertas itu dan membukanya. Ada deretan angka-angka yang tertulis di sana. Hanya ada angka yang tersusun menjadi satu deret nomor ponsel seseorang, tanpa ada namanya. Ia merasa kebingungan saat itu juga.
"Ini nomor hape siapa, Zhar?"
"Itu nomor Umma nya Tisya, temen Azhar itu yang suka sama kakak itu. Umma nya juga katanya ngefans sama Kak Caca, suka sama video yang kakak buat di YouTube," terang Azhar pada Caca.
"Terus, dikasih nomor hape buat apa?"
"Katanya, kalau sempat dan ada waktu luang, Tisya mau kakak datang ke rumahnya sama Azhar. Nanti, kalau kakak bisa ke sana, kakak tinggal hubungi aja nomor itu."
Caca terdiam beberapa saat. Ia tidak bingung lagi kenapa nomor ponsel itu diberikan padanya. Hanya saja merasa heran karena ada orang yang ingin bertemu dengannya sampai memberikan nomor ponselnya. Ia bergumam kecil karena merasa bingung harus bagaimana.
Melihat Caca yang diam saja, Azhar menggoyangkan lengan kakaknya itu. "Gimana kalau hari Minggu nanti? Kakak gak sibuk, kan? Tisya suka banget lho sama kakak dan Azhar udah janji buat nemuin kakak sama Tisya. Bisa ya, Kak, hari Minggu?" pintanya dengan menggebu-gebu.
"Iya, deh, tapi nanti diantar papi kamu, ya?"
Azhar bersorak, "Yes! Ngevlog!"
Caca membulatkan kedua matanya. "HAH?!"
Azhar tertawa sambil beranjak dari kamar Caca. Meninggalkan kakaknya yang kebingungan.
...
Ampun, maaf slow update banget😭 mau bilang makasih sama kalian yg masih stay di sini dan nungguin. Jangan lupa kasih vote dan komen untuk meramaikan cerita absurd ini hoyyyy
Mau bilang, kemaren ada yg minang Garis Terdepan buat jadi buku, tapi akunya gak siap dan memutuskan untuk tetep stay di wattpad sampai cerita ini selesai dan dibaca sama kalian.
Next?
Indramayu, 10 oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top