The Best Part. 11
Karena sudah dua hari meminjam buku di perpustakaan, hari ini Caca akan mengembalikannya lagi. Beberapa hari terakhir ia mengindari keramaian. Selalu ke tempat sepi, perpustakaan atau diam di kelas saat istirahat, misalnya.
Jelas saja itu semua ada alasannya. Semata-mata bukan karena malas gerak. Tapi, takut saja kalau ia akan bertemu dengan seseorang yang ia hindari, lagi.
Caca bukannya sombong ketika Afkar mendm di Instagram. Hanya saja ia merasa kalau dirinya tidak yakin jika lelaki itu yang mengiriminya ucapan terima kasih. Bisa saja itu temannya, kan?
Hm, Caca ingat nama dua teman Afkar yang ia titipkan gelang Afkar waktu itu. Misbah dan Raka(?) Ah, iya benar. Siapa tahu salah satu dari mereka yang membajak akun Instagram Afkar, kan? Itulah alasan kenapa dirinya memilih tidak membalas dm itu.
Nanti, kalau zonk, bagaimana?
Tiba di perpustakaan, seperti biasanya Caca mengisi data pengunjung di buku. Di depan meja penjaga perpustakaan, Caca menyerahkan bukunya.
"Bu, ini mau ngembaliin buku."
"Buku apa?"
"Fisika."
"Oh, yaudah, kembalikan lagi di tempatnya, ya."
Caca melipir ke jajaran rak tinggi itu lagi. Ia mendesah kesal saat mendongakan kepalanya. "Ini mah sama aja kayak kemarin, nggak bisa naruh sendiri dong," ucapnya. Lantas mengedarkan tatapannya ke sekitar.
"Pakai kursi plastik bisa kali, ya? Aku, kan, kecil badannya, pasti nggak akan pecah itu kursi plastik kalau aku naikin."
Kemudian, dengan masih membawa buku fisika itu, ia mengambil kursi plastik yang ada di barisan meja-meja tempat murid untuk membaca bukunya. Setelah mengambilnya, Caca mengarahkan kursi itu agar lurus dengan letak buku paket yg ada di jajaran rak paling atas.
"Bismillah."
Gadis itu kemudian menaiki kursi dengan berpegangan pada rak. Ia tersenyum cerah karena wajahnya sudah sejajar dengan buku-buku itu. Kemudian menaruh buku yang ia pinjam tadi ke tempat semula.
"Hei, ngapain?"
"Astaghfirullah!"
Caca menunduk. Matanya membulat kala melihat siapa yang menegurnya. Nyaris terjatuh karena terkejut, ia berpegangan pada rak buku. "Ke-kenapa, Kak Af-Kar?"
"Lo, ngapain naik kursi gini? Jatuh tahu rasa," kata Afkar.
Ya, ia adalah Afkar.
Caca mencebikan bibirnya. Tuh, kan, galak sama judesnya gak berubah. Pasti dm kemarin itu dibajak, pasti! serunya dalam hati.
"Heh, pentol korek, malah ngelamun!"
Caca mengerjapkan matanya. "Apa? Pentol korek?" beonya tidak suka. Ia langsung lompat turun dari kursi. Membuat Afkar menundurkan tubuhnya.
"Enak aja nyebut aku pentol korek! Kalau aku pentol korek, terus kakak apa? Tiang listrik? Iya?"
Waw, kemajuan. Caca sepertinya sudah melenyapkan sisi takutnya jika berhadapan dengan Afkar. Tidak sepenuhnya hilang sih, masih ada sedikit. Lebih dominan ke rasa kesal dan sebal pada lelaki itu.
Afkar menaikan satu alisnya. Memasang wajah menyebalkan. "Iya, lo pentol korek. Udah kecil, kurus, pendek pula! Mendingan juga gue, tiang listrik. Tinggi!" balasnya tidak mau kalah.
Caca mendelik sebal. "Omongannya dijaga! Laki-laki itu mulutnya harus lebih lembut daripada perempuan, jangan gitu banget dong!" dumelnya dengan kesal. Kemudian menarik kursi plastik untuk ia taruh kembali ke tempat semula.
Afkar menatap punggung kecil itu dengan dahi yang mengernyit. "Lah, salah gue apa?"
Sedangkan Caca, beranjak keluar perpustakaan setelah menaruh kursi. Memakai sepatu dengan perasaan dongkol yang menggumpal dalam dadanya.
"Astaghfirullah. Ya Allah, kasih kak Afkar pelajaran biar dia sadar dan ada perubahan. Aamiin."
...
"Gigi," panggil Caca pada Gigi yang asyik mengemil sambil menggulir ponsel.
"Kenapa, Ca?" tanya Gigi. Mendongak, menatap Caca.
"Aku emangnya kayak pentol korek?"
Gigi tertawa lebar. Nyaris tersedak camilan kalau tidak segera meraih botol minum dan menegaknya. Ia menatap temannya tidak percaya. Apa katanya tadi? Pentol korek?
Caca mendengus sebal karena Gigi malah tertawa. "Jangan ketawa dong, Gi, aku serius tanya, lho," katanya.
"Ya, lagian, elo tuh ada-ada aja, sih, Ca. Emangnya kenapa lo tanya gituan?"
"Aku dikatain pentol korek sama Kak Afkat," bisik Caca. Ia melirik ke sekitar, takut ada orang lain yang mendengarnya, nanti bisa heboh gosip bertebaran di mana-mana layaknya virus.
Gigi membulatkan matanya tidak percaya. "Serius? Kok bisa? Terus, gimana lagi? Lo ketemu dia di mana? Kapan?" tanyanya beruntung. Menghempaskan ponsel di atas meja dan melupakan camilannya. Topik pembicaraan kali ini lebih penting karena menyangkut Afkar. Salah satu goodboy yang ada di sekolah.
Caca mengusap wajahnya. "Nyembur, ih!" dumelnya. Lantas membuat Gigi terkekeh dan meminta maaf.
"Makanya, jawab dong, Ca."
"Aku tadi ketemu di perpustakaan. Terus dia ngatain aku pentol korek. Ya udah, aku bales aja ngatain dia tiang listrik. Nyebelin, sih!"
Gigi mengerjapkan matanya tidak percaya. Temannya ini polos atau memang berani, sih? Ia jadi ragu kalau Caca memang polos. Tapi, kalau temannya itu benar-benar berani kepada Afkar, kemajuan bukan?
Selama ini tidak ada yang berani mendekati atau mengata-ngatai Afkar seperti apa yang Caca lakukan. Semua perempuan mundur jika berhadapan dengan lelaki itu. Tatapannya membius, seakan siap membunuh. Galak, judes, tidak ramah pula. Tapi, kenapa masih banyak yang menyukainya?
Oh, iya, kalau yang ganteng, mah, bebas!
"Atas dasar apa lo ngatain dia tiang listrik?"
Caca menerawang. "Emm ... Kan, dia tinggi. Terus, kaku lagi, cocok kayak tiang listrik," ujarnya penuh percaya diri. Gigi sampai geleng kepala.
"Ca, kok bisa lo ketemu dia terus, ya? Kayaknya ada aja hal yang buat lo sama dia saling berinteraksi."
Caca menelengkan kepalanya tidak mengerti. "Interaksi apa?"
"Ya, interaksi gini. Lo ngobrol sama dia."
"Ngobrol apanya? Gigi, kalau orang mengobrol itu saling bertukar pendapat, auranya juga adem, gak ada aura permusuhan. Lho, ini? Aku kalau ketemu sama dia, terus dia ngata-ngatain aku sembarangan, bawaanya mau nyakar tahu, gak?"
Ya sudah, daripada dirinya pusing, Gigi mengiyakan saja. Tidak mau ambil repot.
...
Saat berjalan di koridor untuk menuju parkiran, seseorang yang suaranya familiar memanggil Caca dengan keras. Caca berhenti melangkah dan memutar badan ke belakang. Ada Irfan di sana yang berjalan menghampirinya. Membawa sebuah makalah bersampul plastik kuning.
"Kenapa, Fan?" tanya Caca saat Irfan sudah berdiri di sampingnya.
"Nih, ini agenda ekskul." Irfan memberikan makalah yang cukup tebal itu pada Caca. "Jadi, nanti tiap kegiatan ekskul, kamu catat apa aja yang kita pelajari atau lakuin. Tapi, tiap-tiap bidang, ya?"
Melirik bangku panjang yang ada di koridor, Caca beringsut duduk. "Coba, kamu jelasin lebih panjang dan lebar supaya aku paham," ucapnya.
Irfan mengambil duduk di sebelah Caca. Di mana makalah itu jadi penghalangnya. Ia membuka makalah agenda itu dan menunjukkannya pada Caca. "Gini, lho, Ca. Ini kan ada kolom agenda ekskul, nah kamu tulis di sini. Misalkan, Tandu Darurat, simpul baru. Atau, PP, Penanganan luka baru. Gitu, deh. Paham, kan?"
"Harus banget?"
"Iya, itu dari pelatih. Sistem baru, katanya."
Caca kemudian mengangguk dan memasukan makalah itu ke dalam tasnya. Beranjak berdiri diikuti Irfan. "Pulang sama siapa, Ca?" tanya lelaki itu.
Setelah menutup risleting tas dan memakainya dengan benar kembali, Caca mendongak. "Sendirian," jawabnya.
"Naik apa?"
"Sepeda, Fan."
"Oohh, kirain."
Caca menaikan satu alisnya. "Apa?"
Irfan menggaruk kepalanya dan terkekeh kecil. "Enggak, hehehe. Ya udah, aku duluan. Hati-hati, Arsya."
Caca mengedikan bahu setelah Irfan pergi. Aneh, batinnya.
...
Siapa yg mau beli novel Akresha jika terbit?
Indramayu, 12 juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top