The Best Part. 09
Update? Yeay!
Vote dan komen ya^^
Happy reading!
Awas, kesel.
...
"Gi?"
"Hm? Kenapa?"
"Gigi?"
"Iya, Ca, i'm here."
"Gigi!"
"Astaghfirullah. Kenapa sih? Udah deh, kalau mau mewarnai ya mewarnai aja! Gak usah berisik, kan bisa!"
"Ish, gitu doang ngambek!"
Gigi menghadap Caca. Menghempaskan pulpen di atas buku tulisnya dengan kesal. Pasalnya sedari tadi temannya itu tidak kunjung diam. Selang beberapa detik memanggil namanya terus. Apalagi sejak pagi tadi, ada yang aneh dengan temannya itu.
Caca yang memegang krayon berwarna merah itu langsung menghentikan gerakan mewarnainya. Ia kemudian meringis setelah menatap Gigi. Ternyata Gigi sedang mendelik kesal padanya.
"Lo tuh kenapa sih, Ca? Kalau ada apa-apa cerita aja, gak usah sungkan." Gigi mulai rileks rupanya.
"Kamu tahu gak soal gelang itu?"
Gigi mengangkat bahunya acuh. Mana ia tahu, kan gelang itu selalu dibawa oleh Caca sendiri ke mana-mana. Jadi, kalau ada apa-apa dirinya tidak tahu-menahu.
"Tahu apaan? Jangan-jangan ... Gelang itu hilang? Lo hilangin, Ca? Nanti kalau yang punya tahu gimana?!"
Caca mengerucutkan bibirnya. "Ish, bukan!" Ia melirik ke sekitar. Teman kelasnya sibuk masing-masing. "Gelang itu punya kak Afkar," lanjutnya berbisik.
Gigi melotot hebat. "SERIUS?" pekiknya.
"GIGI, JANGAN TERIAK!" tegur sang ketua kelas.
Gigi menoleh. "Lah, lo juga teriak?"
Mengangkat tangannya sebelah, ketua kelas mengalah. "Sori," katanya.
"Demi apa itu punya kak Afkar? Lo tahu dari mana, Ca? Jangan halu, deh!"
"Kamu gak percaya sama aku?"
"Bukan gak percaya, Arsya Fidiya, cuma mau memastikan kejelasannya aja."
"Sama aja! Kalau Gigi percaya, pasti gak akan ngomong kayak gitu!"
Ngambek?
Gigi kini mendapati Caca yang kembali mewarnai buku gambarnya. Mood Caca memang seperti itu. Seperti anak kecil jika berhadapan dengannya. Lain kali kalau di rumah. Pasti berbeda.
Gigi mencolek lengan Caca. "Sstt, cewek, jangan marah dong. Masa gitu doang ngambek?"
"Apaan sih?"
"Ayolah, Ca, jangan ngambek, nanti nambah jelek, mau?"
"Bentar, ish! Ini lagi warnain buah apelnya dulu! Lagian siapa yang ngambek."
YA, TERUS YANG TADI APA KALAU. BUKAN NGAMBEK?!
Gigi memutar bola matanya malas. Cukup sudah. Ia kemudian mengambil ponsel dan mulai menjelajahi akun sosial medianya. Dari pada meladeni Caca, hanya mengundang kekesalannya saja, lebih baik ia bungkam.
...
"Aku mau ke perpus."
Tanpa menunggu balasan dari Gigi, Caca langsung melesat pergi keluar kelas. Gigi sampai dibuat heran oleh temannya yang polos satu ini. Polos-polos kadang minta ditampol. Seperti sekarang contohnya.
"Aneh banget dari pagi, lagi dapet kali ya?" gumam Gigi sambil menggelengkan kepalanya. Ia kemudian mengajak teman kelasnya untuk pergi ke kantin.
Caca menyusuri koridor yang ramai. Ia akan ke perpustakaan yang ada di lantai tiga. Saat murid yang lain berbondong-bondong keluar kelas menuju kantin, tapi dirinya tidak. Ia memutuskan ke perpustakaan karena ada buku yang harus ia pinjam. Dan moodnya memang suka naik turun jika sedang berhalangan.
Caca memasuki perpustakaan yang cukup ramai itu setelah melepas sepatu dan menaruh di rak samping pintu masuk. Seketika rasa sejuk menerpa kulitnya. Ini yang ia suka ketika di perpustakaan. Adem dan tentram.
Gadis itu mengisi nama di buku kunjungan perpustakaan. Lalu mulai menjelajahi rak demi rak. Mencari buku fisika yang ia cari. Ada PR yang ia kurang paham. Dan ia membutuhkan bantuan lewat buku itu.
Di rak jajaran paling atas, terdapat buku fisika tingkat XI. Di jajaran bawahnya kimia, lalu berlanjut ke pelajaran yang lain. Seketika Caca langsung mendesah kecewa. Rak buku itu tinggi, bagaimana ia mengambilnya?
"Aku kayaknya harus banyak minum susu. Biar tumbuhnya tuh ke atas, bukan diam di tempat. Iya, gak sih?"
Caca menolehkan kepala ke kanan dan kiri. Tidak ada orang yang sedang berdiri di lorong rak yang sama sepertinya. Ia kemudian berpindah ke lorong sebelah, dapat! Ada seseorang di sana. Berdiri membelakanginya. Dirinya perlahan menghampiri sosok itu.
"Emm ... Permisi. Boleh minta tolong gak?"
Tubuh jakung itu berbalik. Seketika mata Caca membulat. Ia mundur dua langkah dengan tidak sadar. Ini pasti mimpi. Dirinya harus buru-buru pergi.
"Kenapa?"
Caca menggulung ujung jilbabnya dengan malu. Hah, apa? Malu? Yang benar saja! Bukan malu, tapi gerogi. Takut juga kalau sosok di depannya itu akan memarahinya karena kemarin sore dirinya tidak sopan mengatakan galak dan judes kepada lelaki di depannya itu.
"Eng ... Gak jadi deh," lirihnya. Ia kemudian berbalik badan. Nyaris melangkah, namun teguran dari lelaki itu membuatnya kembali memutar badan.
Ya Allah, lindungi Caca. Ini kak Afkar jangan sangar mukanya, bisa gak sih?
"Minta tolong apa?"
Caca mendongak sedikit. Saat matanya bertubrukan dengan iris mata laki-laki itu yang tajam, ia langsung menunduk lagi. Jantungnya, maraton. Ngelihatinnya biasa aja, bisa gak sih? Gak kuat! dumelnya dalam hati.
"Tolong ... Ambilin buku. Eh, tapi kalau kak Afkar gak mau gak papa," jawab Caca. Terdengar seperti cicitan anak ayam.
Lelaki itu Afkar, iya benar. Afkar menatap ke sekitar, semua orang sibuk masing-masing. Meskipun ada satu dua manusia yang mencuri-curi lirikan padanya.
"Di mana?"
"Hah?" Caca terkejut. Sangat. Ini Afkar mau menolongnya? Serius?!
"Di mana buku yang mau lo ambil?" Suara beratnya terdengar jelas, meskipun ada kejudesan terselip di sana.
Caca melangkahkan kakinya ke lorong rak sebelah. Ia kemudian berhenti. Ternyata Afkar mengikutinya juga. Hoo ... Benar mau menolong rupanya. Mimpi apa Caca semalam?
"Itu, di rak fisika. Tadi ... Mau ambil, cuma nggak sampai."
Afkar mendongak ke jejeran rak paling atas. Ia kemudian mengambil satu buku fisika dari sana. Menyodorkannya pada gadis di depannya yang ia juga tidak tahu namanya siapa.
"Iyalah gak sampai, masih anak kecil gini. Nih!"
Caca mendelik. Langsung mengambil buku itu. "Makasih!" ucapnya dengan kesal. Bergegas pergi dari sana. Meninggalkan Afkar yang selalu menyebutnya 'anak kecil'.
Satu hal yang dilewati Caca, Afkar menahan bibirnya yang berkedut ingin tersenyum.
***
Di rumah Afkar kali ini ramai. Ketiga temannya sedang mampir ke rumah. Tujuannya satu, menumpang makan. Atau paling tidak, berenang di kolam renang belakang rumah. Memang, ketiga temannya itu hanya bisa merusuh. Oh, tidak. Atau mungkin Misbah dan Raka, sedangkan Ganda masih tahap normal.
"Tisya mana, Kar? Kangen gue sama adik lo," ucap Raka saat memasuki rumah. Melepas sepatu dan melipir ke ruang tengah. Menghempaskan tubuhnya di sana. Sebelum itu, ia dan yang lain bersaliman dulu dengan Umma.
Afkar melotot tidak terima. Apa tadi, kangen? Yang benar saja! "Sekali lagi lo ngomong gitu, siap-siap gitar lo gue bakar!" semburnya.
Misbah tertawa kencang. Raka terkekeh geli. Padahal niat Raka hanya ingin iseng, namun memang Afkar yang mudah sentimen, jadi mudah mengundah kekesalan temannya itu. Ganda duduk anteng di tempat. Sedang memakan buah pir. Pantas saja tidak ada suaranya, tahu-tahu mencomot buah dari kulkas.
"Wah, curang! Gan, lo makan buah diem-diem aja ya? Afkar, nih lihat, temen yang lo kata normal, tahu-tahu lagi asik makan dan lo diem aja?!" Misbah memang jago mendrama dan mengompor.
"Ganda udah ijin ambil satu tadi."
Misbah langsung bungkam. Setan merah yang membisikinya untuk mengompori itu langsung lenyam. Raka mengejeknya karena ia gagal mengompori kali ini.
"Lo sih, Mis, kali-kali jangan nurut apa kata bisikan setan!"
Misbah merebahkan tubuhnya di sofa panjang. Lupa kalau ia duduk di sofa yang sama seperti Ganda duduk. Kakinya sampai mengenai paha Ganda. Langsung di tepis oleh temannya itu.
"Enyahkan kakimu itu anak muda," ujar Ganda sok baku bahasanya.
"Ya Allah ya Rabbi, kena dikit doang abang Ganda. Sentimen amat, heran!"
"Kar, laper gue." Raka menyuarakan isi hatinya sambil menepuk perutnya.
Misbah langsung bangkit. Posisinya menjadi duduk kembali. "Bener tuh apa kata Raka, Kar. Laper. Umma masak kali?"
Afkar menatap gelang yang kini ada di pergelangan tangan kirinya lagi itu. Ia kemudian menatap temannya satu persatu. Menanyakan sebuah pertanyaan retoris.
"Kalau seseorang udah menolong kita, apa kita wajib ngucapin terima kasih?"
Raka dan Misbah kompak mendelik. Pertanyaan macam apa itu?! Sedangkan Ganda nyaris tersedak buah pir. Terkejut dengan pertanyaan Afkar.
"Lah, Afkar jadi bego?" ceplos Misbah. Langsung mendapat toyoran dari Raka. "Jangan ngomong kasar. Nanti Umma marah."
Afkar berdecak. "Serius!"
"Ya, lo nya aja yang aneh. Di mana-mana, dari sabang sampai marauke, dari kutub selatan ke kutub utara. Ngucapin makasih itu wajib, apalagi tuh orang udah nolongin kita," jelas Raka dengan geregetan.
"Kenapa emang nanya gitu? Lo mau ngucapin makasih sama adik kelas itu?" tanya Ganda.
"Tadi gue ketemu dia, di perpus," ujar Afkar.
"Terus, terus?"
"Nabrak!" seru Afkar dengan kesal. "Mending masak mie, sana. Lo berdua kalau masak mie instant sedap rasanya, gih cepet!" titahnya.
Raka dan Misbah yang ditunjuk itu langsung mendengus. "Dan lagi ...." ucap mereka berdua.
Ya memang kalau Raka dan Misbah yang memasak mie instant, rasanya enak. Entah apa yang terjadi di dapur, yang jelas rasanya berbeda kalau Afkar atau Ganda memasaknya sendiri. Itulah kenapa Afkar menyuruh kedua temannya untuk memasak mie. Tidak sopan memang, tapi masa bodo. Toh sudah biasa ini kok.
...
Maaf ya Afkar lagi eror wkwk
Gimana part ini? Komen!
Alhamdulillah part 9 publish, clear!
Sampai sini siapa yg paling nyebelin?
Afkar cs mau aku kasih nama biar enak, masih mikir namanya apa wkwk
Jangan lupa baca ceritaku yg lain ya, yg baru juga, Heartbeat judulnya!
Dadahhh
Indramayu, 17 juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top