The Best Part. 08
Haiiiiii!!!
Masih ada yg baca kah?
Alhamdulillah sampai juga di part 8 hehehe
Vote dan komen yaa
Happy reading!
...
Sore ini ekskul sudah dibubarkan. Hampir semuanya sudah meninggalkan ruangan. Hanya tersisa beberapa saja yang masih membereskan barang milik masing-masing. Di tempatnya, Caca merogoh saku bajunya. Menemukan gelang yang sudah dua hari ini ya simpan.
Ia menatap gelang berwarna cokelat itu dengan lamat. Tidak berkedip. Berusaha menerka gelang itu punya siapa dan sampai kapan akan ia simpan.
Tadi pagi, ia ingin melaporkannya ke sumber suara, tapi gagal lagi. Seharian ia sibuk dengan tugas. Istirahatpun makan di kelas dengan bekal yang ia bawa dari rumah. Bertanya kepada teman kelasnya pun percuma. Tidak ada yang tahu gelang itu milik siapa. Dan berujung pada disimpan ke saku seragamnya lagi.
Irfan, ketua PMR yang baru, menghampiri Caca. Gadis itu belum sadar kalau ada seseorang yang berjalan mendekati dirinya. Hingga suara Irfan terdengar, barulah Caca mendongak dan kembali menaruh gelang itu ke dalam saku baju.
"Ca, ini kertas absen yang tadi." Irfan memberikan kertas itu pada Caca kembali yang sebelumnya ia pegang.
"Kok dibalikin ke aku?" Caca menerima kertas itu dengan bingung.
"Ya, kan, kamu sekretarisnya. Jadi, kamu buat absen dalam bentuk makalah."
Kabel merah, tidak bisa Caca sambungkan. Irfan menjelaskannya tidak langsung to the point. Belibet. Caca tidak bisa mencerna.
"Jangan setengah-setengah dong kasih tahunya, aku gak ngerti."
Irfan terkekeh. "Yaelah, Ca, lola amat. Kamu ketik ulang ini absen ke word di laptop, nanti format bentuknya aku kirim di wa, abis itu kamu pindahin ke laptop. Baru deh kamu bisa ketik ulang absen hari ini ke laptop, dan abis itu kamu print. Jadi deh absen makalahnya. Paham?"
Ahh ... Ternyata itu. Tapi ....
"Nanti kamu jelasin lagi aja ya di telepon. Aku buru-buru mau pulang, udah sore, hehehe..."
Irfan menggelengkan kepala melihat Caca yang pergi begitu saja sambil membawa kertas absen.
***
"Tuh, kan, Irfan emang ngejelasinnya muter-muter. Coba kalau langsung dipraktekin, pasti aku langsung paham. Mana udah sore lagi, untung aku udah sholat ashar."
Sekarang pukul 16.25.
"Lagian, kenapa baru sekarang ya si Irfan kasih tahu aku kalau absennya harus diketik di word."
"Eh, tapi gak papa deh, nanti malem aku kerjain."
Caca melangkahkan kakinya cepat melewati lapangan utama. Ia berjalan sambil menatap kertas absen itu. Sesekali melihat jalanan, siapa tahu ada selokan. Takut kalau ia terperosok. Tidak lucu nantinya.
Gadis itu berjalan dengan tergesa-gesa. Saat hampir melewati lapangan utama sepenuhnya, tubuh seseorang sudah lebih dulu menabraknya. Membuat ia terjungkal ke belakang. Kertas yang ia pegang jatuh dengan jarak satu meter di depannya.
"Ish, jalan tuh maju, bukan mundur. Waktu aja berjalan maju, ini orang jalan kok malah mundur. Aneh! Gak jelas!" dumel Caca saat merasakan nyeri di pantatnya.
Ya ampun, siapa sih yang menubruknya tadi?!
***
Raka mengabaikan rasa sedikit nyeri di pantatnya itu. Ia langsung beranjak berdiri. Tidak sadar kalau kakinya menginjak selembar kertas yang aslinya milik gadis yang ia tubruk tadi.
Mendengar dumelan itu, Raka menoleh dan langsung meminta maaf. "Aduh, emm ... Maaf. Gue ... Tadi gak sengaja. Maaf ya?"
"Hayo, Raka, hayooo..." Memang kalau masalah kompor mengompori serahkan saja pada Misbah. Sedangkan Afkar masih diam, asyik menonton saja.
Caca bangkit sambil menepuk-nepuk celana kebesarannya. Ia menunduk untuk membersihkan tangannya yang terkena debu juga. Tatapannya kemudian jatuh pada kertas yang kini sudah terinjak oleh kaki seseorang yang menubruknya itu.
Caca memekik, "ITU KERTASNYA JANGAN DIINJEK!"
"Astaghfirullah!"
"Lah? Kaget woy!"
"Gak usah teriak."
Mendengar suara yang paling terakhir itu membuat Caca mendongak. Menatap satu persatu wajah ketiga lelaki di hadapannya ini. Yang pertama, lelaki yang menubruk tubuhnya dan menginjak kertasnya. Yang kedua, lelaki yang ia tahu sering menempelkan kertas informasi di mading. Yang terakhir, yang paling horor. Afkar.
"KERTAS AKU DIINJEK! GIMANA GAK TERIAK!"
Caca tetap ingin berani. Tidak mau kalah dengan para lelaki di depannya yang sekarang ia tahu adalah kakak kelas. Entah dorongan dari mana ia bisa seberani ini pada Afkar. Padahal sebelumnya, nyali yang ada dalam dirinya menciut jika berhadapan dengan kakak kelas galak dan judes itu.
"Astaghfirullah! Masih aja teriak," ucap Misbah. Lalu menggelengkan kepalanya.
Raka menjauhkan kakinya. Lalu mengambil selembar kertas itu. Kini kertas itu sudah terdapat cap langsung dari telapak sepatunya. Berwarna cokelat pudar. Bagus, tulisannya sedikit tertutup karena tinta alami dari tanah itu.
"Yah ... Kotor."
Caca merebut kertas itu dengan kasar. Menatap kertasnya. Berusaha menghilangkan kotorannya dengan mengibaskannya. Ada beberapa tulisan yang tertutup kotorannya. Menyebalkan.
Melihat wajah gadis itu yang cemberut, membuat Raka menyenggol kaki Afkar. "Sstt, gimana dong?" bisiknya.
Afkar menaikan satu alisnya. Masih dengan menatap wajah gadis itu, ia menjawab, "Tanya sama orangnyalah!"
Caca mendongakan kepalanya. Melipat kertas itu menjadi dua kali lipatan. Kemudian memasukannya di saku celana. Menatap para kakak kelasnya dengan diam. Sorot mata antara kesal dan sendu menjadi satu.
"Lain kali kalau jalan hati-hati, Kak. Jangan sampai nubruk orang yang gak salah apa-apa," ucap Caca.
Raka menggaruk belakang kepalanya. "Maaf sekali lagi ya? Lain kali gue hati-hati kok," ujarnya.
Karena Caca baik hati dan ramah, gadis itu mengangguk. Bergegas pamit. Enggan bersama lebih lama lagi dengan ketiga kakak kelasnya itu. Apalagi ada Afkar. Brrr ... rasanya seperti nano-nano.
Belum ada lima langkah gadis itu meninggalkan mereka, ia berbalik badan. Kembali menghampiri kakak kelasnya. Ingin bertanya sesuatu meskipun ragu dan malu.
"Balik lagi? Kenapa?" tanya Misbah yang melihat adik kelasnya itu kembali mendekat.
"Minta ganti rugi sama gue ya, Kar?" bisik Raka pada Afkar, lagi. Dan hanya dibalas angkatan kedua bahu. Pertanda tidak tahu.
"Kak, aku boleh tanya sesuatu?"
Afkar sudah hampir membuka mulutnya ingin berbicara, tapi dengan cepat 'anak kecil' yang tempo hari menendang bola ke arahnya itu mengangkat tangannya.
"Tapi, kecuali sama kak Afkar. Aku mau tanya sama kakak ini dan ini." Caca menunjuk Raka dan Misbah bergantian.
Raka mengernyit. Merasa bingung. Dan juga berpikir kenapa gadis di depannya itu berani pada Afkar? "Kenapa Afkar gak ikut juga?" tanyanya.
"Galak, judes. Ngapain?"
Sontak saja Misbah langsung terbahak. Memukul bahu Afkar dan langsung mendapat pelototan dari temannya itu. Sedangkan Raka tertawa. Tanpa pamit, Afkar langsung pergi begitu saja setelah memberikan tatapan tajam pada Caca.
Caca menatap punggung yang perlahan menjauh itu. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari saku baju. "Kakak tahu ini gelang punya siapa?" Ia menunjukan gelang itu.
Misbah dan Raka menatap gelang itu setelah tawanya mereda. Mereka berdua kemudian saling beradu tatapan. "AFKAR?!" ucap mereka bersamaan.
Caca menekuk alisnya. Bingung kenapa kedua kakak kelasnya itu malah menyebut nama Afkar. "Kok jadi kak Afkar?" tanyanya polos.
Lemot, batin Raka.
Misbah mengambil gelang itu. "Ini punya temen kita," katanya.
Caca terdiam beberapa saat. Matanya kemudian membulat. "Jangan-jangan ... Ini punya kak Afkar?"
Kedua kakak kelasnya mengangguk. "Tepat sekali!"
Caca ingin pingsan saat itu juga.
...
Uwuuu, gimana?? Wkwk
Sampai jumpa di part 9 nanti yaa😍🤣
Peluk dulu sini dari Caca🤗
Indramayu, 10 juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top