The Best Part. 05
Halo, jangan lupa vote dan komennya.
Happy reading!
Menjadi salah satu anggota organisasi di sekolah memang terkadang tidak selalu enak, ada kalanya masa lelah dan letih itu menyerang, apalagi kalau diadakan lomba atau acara yang menyangkut tentang ekskul yang amat sangat membutuhkan tenaga. Jelas tidak hanya tenaga, tapi juga menyita waktu--yang tadinya senggang menjadi amat sangat sibuk.
Awalnya saat masuk ke SMA Purnama, Caca tidak berniat untuk masuk ke organisasi sekolah atau ekskul manapun. Tapi, demi untuk menambah nilainya di raport dan ada sedikit kegiatan--selain membuat konten di YouTube--akhirnya ia memilih masuk ke ekskul PMR. Ya, Palang Merah Remaja.
Selama menjadi salah satu anggota PMR di sekolahnya, Caca tidak banyak mengeluh, toh ia juga hanya menjadi anggota. Di mana tidak terlalu sibuk menjadi panitia utama jika ada lomba-lomba yang akan diikuti. Namun, siapa sangka kalau tahun keduanya bersekolah di SMA nya ini, ia akan ditunjuk sebagai sekretaris ekskul PMR?
Membayangkannya saja tidak pernah, bagaimana bisa ia menjalaninya? Lagipula, kenapa harus dirinya yang ditunjuk? Padahal anggota PMR yang lain banyak yang lebih berkompeten menjadi sekretaris itu dari pada dirinya.
Setelah pulang sekolah tadi, ekskul PMR kumpul. Membahas masalah STJB (Serah Terima Jabatan). Dirga, anak tingkat kelas duabelas yang menjabat sebagai ketua PMR, menunjuk anggota PMR yang lain--yang masih tingkat 10 dan 11--yang akan menjadi ketua, wakil, sekretaris, dan bendaharanya. Dirga menunjuk mereka satu persatu dan atas persetujuan sang pembina. Dua minggu kemudian--setelah penunjukan ini--akan diadakan STJBnya. Di mana Dirga akan terlepas dari masa tanggung jawabnya menjadi sang ketua ekskul PMR.
Memang bulan ini atau bulan depan akan ada STJB di semua organisasi di sekolah. Desusnya kabar itu menyeruak ke seluruh penjuru sekolah dan disambut heboh oleh semuanya. Entah penasaran dengan siapa penerus ketua di tiap ekskul itu atau menunggu event yang akan ada setelahnya.
Caca melangkahkan kakinya melewati lapangan utama. Ia mengernyit aneh kala melihat dua orang laki-laki tertidur di sana. Dengan lengan kanan yang menutup bagian mata dan sebelah kakinya yang menekuk ke atas. Sedang apa? Ia menggeleng tidak habis pikir. Mentang-mentang cuaca saat ini sedang mendung, mereka jadi bebas tertidur di lapangan yang luas seperti itu?
Karena mendung dan sepertinya akan turun hujan, Caca memilih untuk mendekati dua orang itu. Kasihan kalau kehujanan, pikirnya.
Dengan jarak dua meter di tempatnya berhenti melangkah, gadis itu berusaha membangunkan kedua orang yang sepertinya sangat nyaman tertidur di lapangan. "Emm ... Permisi. Assalamu'alaikum."
"...."
Caca mengulum bibirnya. Menatap ke sekitar, lalu berdehem pelan. Oke, coba lagi. Siapa tahu berhasil membangunkan mereka. "Kakak-kakak, bangun! Ini udah mau hujan, jangan tiduran di lapangan!"
Kedua orang itu menggeliat. Salah satu dari mereka menjauhkan tangannya yang menutupi mata. Mengerjap pelan dan bangkit duduk. Masih mengumpulkan kesadaran.
Caca yang melihat itu sontak membulatkan mata, lalu langsung berbalik badan dan berlari.
"Ya Allah, kak Afkar, trauma aku sama dia."
•••
"Allahuma shoyibannafia."
"Hujan, kenangan, dan mantan."
"Ya Gusti nu agung, hampurakeun batur urang."
Ganda tertawa. Nyaris tersedak minuman yang sebelumnya ia tenggak. Menatap muka salah satu temannya yang sudah masam. Sementara kedua temannya yang lain malah menatap wajah temannya yang masam itu dengan tatapan jengah.
"Ka, plis deh, gak banget muka lo!" kata Misbah.
Raka membola matanya malas. "Hak dong hak!" sahutnya nyolot.
Afkar menyenggol kaki Raka yang ada di bawah meja. "Emang belum move?" tanyanya.
Mereka saat ini ada di kedai kopi dekat dengan daerah sekolah. Tentu saja karena mereka sama-sama belum ingin pulang ke rumah. Dan untuk membunuh rasa bosan saat di rumah, mereka memilih untuk mangkir di kedai kopi langganan mereka. Sampai-sampai barista di sana sudah hafal dengan keempat orang laki-laki berseragam SMA itu.
"Udah," jawab Raka pendek. Menatap keluar jendela sana, di mana hujan turun sangat lebat. Di kedai kopi pun saat ini cukup banyak pengunjung yang mampir untuk menghangatkan tubuh yang mulai menggigil.
"Lagian bucin banget, toh lo masih muda, Ka. Masih panjang perjalanannya." Ganda membuka suara kembali. Di antara ketiga temannya yang lain, ia yang paling sering berpikir jernih. Jika Afkar selalu menyorobot dengan ucapannya yang tidak disaring, Misbah yang tidak ada faedahnya sama sekali, dan Raka yang paling malas memberikan suatu opini atau pendapat. Mungkin hanya dirinya saja yang paling dewasa di antara yang lain.
Di tempatnya duduk, Raka membisu. Ia berpikir kalau sudah biasa diberi wejangan-wejangan seperti itu oleh teman-temannya. Dan ia tidak merasa terbebani sama sekali.
"Kita masih berlayar, tapi bukan menuju pulau. Kita berlayar untuk menuju tujuan akhir kita, yaitu pelabuhan. Di mana nggak ada salah satu pulau yang akan menjadi tempat singgah. Hingga kita tiba di pelabuhan, lelah kita akan terbayar dengan sepenuhnya."
Satu yang tidak diketahui oleh banyak orang, apalagi perempuan, kalau dibalik sifat Afkar yang judes, sebenarnya ia adalah sosok yang berpikir panjang. Dan jangan lupakan ucapannya barusan yang membuat Misbah bersorak heboh di tempatnya. Bahkan mengacungkan dua jempolnya ke udara.
"Ahayde, tarik manggg!!!"
Raka menjitak kepala temannya yang satu itu. "Berisik! Dilihatin, oncom!"
"Eh, eh, gue tuh terpana ya akan pencerahan dari Afkar. Pantes aja dilove-in sama banyak ukhty."
"Tukeran aja, Mis. Lo yang di posisi gue kalau mau dilove-in sama banyak perempuan, gue risih." Perkataan Afkar membuat Raka mencibir. "Sombong amat!"
"Ka, dengerin tuh apa kata Afkar tadi," ucap Ganda. "Jadi, lo mau singgah ke pulau lagi atau terus berlayar sampai ke pelabuhan?" tanyanya melanjutnya. Kemudian terkekeh pelan.
Raka memiringkan kepalanya. Nampak berpikir sebentar. "Emm ... Terus berlayar sampai ke pelabuhan," jawabnya mantap.
Afkar mengepalkan tangannya ke udara. Memberi semangat dan apresiasi karena temannya itu menjawab dengan mantap. "Good boy!" pujinya.
Misbah pura-pura muntah mendengar pujian itu. "Halah, nanti juga kalau mantan senggol dikit langsung ambyar. Cowok kok lembek," sindirnya.
Dan terjadilah cek-cok antara Misbah dan Raka yang sama sekali tidak direlai oleh Afkar ataupun Ganda. Mereka berdua sudah biasa begitu. Biarkan saja.
°°°
"Kamu kenapa, Ca?"
Caca menoleh. Ada kakek Fadil di sana yang duduk di sampingnya. Saat ini ia berada di halaman belakang dekat kolam renang. Iya, Caca memanggil Ayahnya Akbar dengan sebutan kakek. Di mana kakek Fadil sendiri yang meminta dirinya untuk memanggil pria yang umurnya sudah setengah abad itu dengan sebutan kakek.
"Nggak papa kok, Kek. Emangnya aku kenapa?" Ia malah balik bertanya. Aneh juga. Ia merasa kalau dirinya tidak papa. Tapi, apakah terlihat sedang memikirkan sesuatu?
"Sekolah kamu baik-baik aja? Kalau ada masalah ya cerita aja, kakek siap dengerin kok. Kan gimanapun juga kamu cucu kakek, Ca."
Iya, memang benar apa yang dikatakan Fadil. Bagaimana bisa Caca tidak merasa sangat bersyukur mendapatkan banyak kasih sayang dari keluarga kakak iparnya ini? Kenapa mereka amat sangat welcome kepadanya? Entah apa yang dilakukan kedua orangtuanya semasa masih hidup, hingga ia mendapatkan kebahagiaan yang berlipat sekarang ini. Yang jelas ia merasa sangat bersyukur karena itu.
Pada akhirnya, Caca mulai bercerita, "Di ekskul PMR sekolah, aku ditunjuk jadi sekretarisnya, Kek. Kan aku gak mau, tapi langsung ditunjuk gitu aja."
Fadil terkekeh mendengar curhatan gadis remaja itu. "Seru lho jadi sekretaris." Dan mendapatkan tekukan di kedua alis gadis itu.
"Serunya apa? Caca lebih suka jadi anggota biasa."
"Ya, seru aja. Kalau jadi anggota biasa mah, nanti gak ada pengalam jadi salah satu bagian penting di ekskul kamu itu. Dan nanti makin banyak pengalaman dan pelajaran yang kamu dapet. Coba aja dulu, kalau nanti Caca gak kuat baru bilang sama ketuanya buat ngundurin diri jadi sekretaris. Oke?"
Begitu ya?
"Emm ... Oke, deh! Makasih, Kakek, emang paling top deh!"
Dan hanya dibalas gelak tawa. Kemudian Fadil bertanya kembali. Kali ini cukup membuat Caca terkejut.
"Di sekolah gak ada pacar kan? Atau yang deketin kamu?"
Caca menggeleng keras. "Nggak, kok. Lagipula Caca gak kepikiran sampai sana. Semua temen laki-laki di sekolah, cuma temen, nggak lebih, Kek, itu juga gak terlalu deket masih batas wajar kok."
Fadil mengangguk-anggukan kepalanya percaya. Toh gadis yang dulu masih berumur delapan tahun dan sampai sekarang sudah remaja ini memang tidak berani berbohong. Sejak kecil Esha--sang mantu--memang sangat baik dalam mendidik adiknya. Fadil salut dengan sepasang kakak beradik itu.
"Terus, gak ada yang ledekin Caca karena gak ada pacar?"
"Nggak ada. Malah ya, Kek, temen-temen yang lain selalu ngelindungin aku. Kalau ada laki-laki dari kelas lain atau kelas sendiri yang deketin aku, pasti langsung dimarahin." Caca bercerita dengan senang. Ia sedikit diperlakukan istimewa oleh teman kelasnya. Ia seperti anak bungsu yang dijaga ketat oleh kakak-kakaknya.
Ia kemudian melanjutkan ceritanya, "Katanya gini, Kek, 'Ca, Caca itu masih polos, kudu dilindungi dari para buaya darat. Pokoknya jangan sampe anak kecil ini kecolongan' gitu. Awalnya aku ngambek karena dibilang anak kecil, tapi lama kelamaan enggak. Mereka semua baik. Aku seneng dapet temen kayak mereka, Kek."
Fadil bernapas lega. Baguslah. Gadis ini mendapatkan kebahagiaan dan kasih sayang oleh orang di sekitarnya, meskipun bukan dari kedua orangtuanya yang sudah tenang di sisi Tuhan.
•••
YOK, BERLAYAR BARENG, TAPI JANGAN SINGGAH KE PULAU, WALAUPUN PULAU ITU SEINDAH APAPUN, HIYAAA
OKE INI NUMPANG HOSPOT TEMEN WKWKWK
HAPPY 1K DI PART 4 WKWK SEKARANG DAH PART 5
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top