The Best Part. 03

Halo, welcome back, sosok itu datang, jadi mari kita sambut dengan vote dan komen :)

Ini genrenya lebih kepada fiksi remaja dengan dibumbui sisi keagamisan ya. Jadi, aku mau ngingetin kalo disini nanti aku gak cantumin ayat atau hadits, masih belum paham

Aku berharap, walau hanya dengan tulisan yang aku tulis ini, kalian bisa paham dan mengerti saat membacanya

#staysafe semuanya

Yang masih berkewajiban keluar rumah, tetap jaga diri (termasuk aku)

Jangan lupa senyum.Senyumanmu manis, tawamu merdu, jadi jangan meragu untuk melakukan kedua hal itu.

Sebelum baca part ini, tolong kalian tarik napas, hembuskan sambil baca bismillah. Terus senyum. Kemudian bilang kaliman ini--

I love me too♡

...pada diri kalian sendiri.

Gimana? Sudah merasa baik?

Oke, happy reading

•••



DUGH!!

BRAKKK!!!

Suara itu membuat semua pasang mata yang berada di dekat lapangan futsal membulat. Bola futsal yang ditendang oleh seorang gadis yang memakai kerudung warna navy itu melesat mengenai seorang laki-laki yang masih duduk di tingkat duabelas.

Bukan karena bola itu mengenai buku-buku yang ia bawa, tapi karena yang membawanya adalah Afkar. Kapten tim futsal di SMA Purnama. Punya tubuh tinggi kurus dengan kulit sedikit kecokelatan. Dan yang terpenting adalah ... sedikit judes.

Oke, sedikit, katanya. Kita lihat saja nanti.

"Gak ikut-ikutan ah."

"Tatapannya itu lho... haduh, gak kuat!"

"Astaghfirullah, Caca, berdoa aja semoga habis ini gak kena masalah."

"Wah, Ca, wahhhh."

Beberapa teman laki-laki Caca mengompori. Membuat Caca takut. Ya Allah, Caca harus bagaimana? Bagaimana nanti kalau ia mendapatkan masalah? Terus dibully? Atau banyak orang-orang yang tidak menyukainya? Caca memilin ujung kerudungnya sambil berjalan mendekati Pak Jeje. Semua mata teman kelasnya masih terus menatap dirinya tanpa kedip. Menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Pak Jeje, gimana dong?"

"Lho, kok kamu tanya bapak? Ya kamu minta maaf lah Caca sama Afkar."

Apa? Tidak salah?

"Anterin, Pak."

Pak Jeje menyemburkan tawa. Lalu berjalan mendahului. Mendekat pada Afkar yang sedang berjongkok. Memungut buku-bukunya yang berserakan.

Caca ikut mengambil buku-buku yang ada di lantai itu. Ia menahan deguban jantungnya yang menggila. Apalagi saat matanya tidak sengaja bertubrukan dengan mata Afkar saat ia melirik laki-laki itu sebentar. Tatapannya, mematikan!

"Maaf ya Afkar, tadi bapak lupa tutup pintu jaringnya. Tapi badan kamu gak ada yang kena kan?" Pak Jeje memberikan beberapa buku pada Afkar yang sudah berdiri tegak. Memeluk buku-buku itu dengan kedua tangannya.

"Gak papa, Pak. Gak ada luka di badan saya," sahut Afkar.

Caca menyodorkan beberapa buku yang ia kumpulkan tadi pada Afkar. "Emmm..., Kak, aku minta maaf. Tadi nggak sengaja. Maaf udah bikin buku yang dibawa kakak berserakan," ucapnya.

Pak Jeje mengambil bola yang ada di dekat bangku panjang depan koridor itu. Ia kemudian menepuk bahu Afkar dua kali. "Bapak duluan Afkar, mau lanjut nih." Dan dibalas anggukan kepala oleh anak muridnya itu.

Afkar menerima buku yang disodorkan oleh Caca. Kemudian berkata. "Iya, anak kecil emang belum ngerti cara main bola yang bener!" Nadanya judes. Kemudian ia melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Caca yang terbengong.

Apa katanya? Anak kecil?

Heh, Caca memang tidak tinggi, tapi ia bukan anak kecil lagi!

Mendengus dan mengelus dadanya sambil beristighfar, Caca berbalik dan kembali ke lapangan karena pertandingannya belum selesai.

•••

Alvard Afkar Mustafa, namanya. Memiliki tubuh tinggi kurus yang tegap. Kulit yang tidak putih dan juga tidak kuning langsat, tetapi agak kecokelatan. Laki-laki itu duduk di bangku SMA kelas 12. Masuk ke jurusan IPA. Lebih tepatnya sekarang ia duduk di kelas 12 IPA 3. Kapten tim futsal sekolah yang sebentar lagi akan STJ. Serat terima jabatan, dan jelas kepada adik kelasnya yang masih tingkat 11 atau 10.

Kata banyak orang, Afkar memiliki mulut dengan gaya pengucapan yang judes. Di mana membuat para kaum hawa bergidik ngeri saat berbicara dengan laki-laki itu. Tidak jarang juga, keahlian lain--selain pandai bermain futsal--yang dimiliki oleh Afkar itu membuat para perempuan berteriak histeris. Afkar pandai bersholawat. Dan juga mengaji.

Ya, kurang lebih seperti itulah sosok Afkar yang didamba para perempuan, tapi tidak ada yang berani mendekatinya. Setidaknya itu lebih baik daripada ia harus dikerumuni dan diserbu oleh mereka.

Menaruh tumpukan buku itu di atas meja guru, Afkar langsung berjalan ke tempat duduknya. Ia bukan sebagai ketua kelas, tapi karena hari ini ia jadwalnya piket, jadi sudah menjadi tugasnya untuk ke ruang guru untuk mengambil buku teman-temannya. Di tempat duduknya berada, ada Misbah--temannya--yang duduk diam di tempat. Jangan lupakan juga kalau temannya itu sedang menyalin tugas. Alias nyontek.

"Izin dulu dong!" seru Afkar tiba-tiba.

Srettt

"Yah, Kar. Lo mah... kecoret kan buku gue, jangan ngagetin gitu dong!"

"Lo nyontek di buku gue ya? Ngaku!" Afkar menodong. Menelisik temannya itu yang kadang-kadang suka usil. Iya, usil tangannya. Suka sekali mengambil bukunya yang ada di dalam tas untuk dijadikan contekan.

Bukan sekali-dua kali saja Misbah meminjam bukunya. Atau bahkan, kadang tidak bilang kalau mau meminjam, seenaknya mengambil tanpa izin. Dan sekarang, sudah pasti kalau Misbah ini melakukan hal yang sama.

Dengan memukul pulpen di atas buku tulis, Misbah merasa tidak terima sudah dituduh seperti itu oleh temannya sendiri. "Astaghfirullah, Afkar, gak baik nuduh serambangan begitu. Emangnya lo punya bukti? Nggak kan?"

Afkar mendengus sebal. "Sembarangan! Bukan serambangan. Serambangan muka lo kali yang serem tuh!" katanya sambil menarik buku yang ada di atas meja--yang ia kira adalah bukunya sendiri.

"Batu, dibilang itu bukan buku elo," gumam Misbah. Menatap temannya itu dengan lelah. Memang, Afkar salah satu temannya yang memiliki kepala sekeras batu, judes, galak. Tapi ia heran, kenapa masih betah saja berteman dengan Afkar? Terlepas dari kepopuleran laki-laki itu karena prestasinya.

Tidak hanya ada Afkar dan juga Misbah, masih ada dua temannya lagi yang kelakuannya suka berubah-ubah. Kadang alim, kadang pecicilan. Tergantung di mana mereka berada. Karena apa? Cover adalah nomor satu dalam penilaian publik. Bukannya begitu?

Banyak orang-orang yang mengutamakan bentuk luaran dirinya. Entah itu dari sikap dan juga tindakan mereka di depan orang banyak. Tapi nyatanya? Tidak seperti apa yang mereka lihat.

Yang baik belum tentu baik. Yang jahat belum tentu jahat.

Dan satu lagi. Yang pendiam, bukan berarti dalamnya juga pendiam.

Contohnya seperti mereka ini, Afkar, Misbah, Raka dan juga Ganda. Mereka dikenal dengan ketegasan dan juga cukup pendiamnya. Aura yang dibawa oleh mereka itu seperti ada ... dinding tinggi yang di mana tidak ada yang bisa menerobosnya. Mereka terkadang bisa menjadi sosok yang tegas dan berwibawa di waktu yang sama, tentu saja karena mereka pintar bermain peran, bukan?

Lantas, sekarang apa? Misbah malah selengean begini.

Kalau Afkar ketua tim futsal sekolah, lain juga dengan Misbah. Misbah itu anak jurnalis, anak mading. Kegiatannya di luar jam sekolah ya mencari bahan tulisan yang bermanfaat dan unik untuk ia pajang di mading sekolah--tentu saja bersama dengan teman satu organisasinya yang lain. Setelah Misbah, ada Raka. Salah satu teman Afkar yang menjadi bassis di grup band sekolah. Suaranya? Tidak terlalu bagus, tapi cara bermain bass dan gitar sudah tidak diragukan lagi. Dan yang terakhir, ada Ganda. Namanya cukup aneh ya? Ganda masuk ke ekskul Taekwondo, itu yang menjadi alasan kenapa ia memiliki tubuh lebih tinggi dan besar dari temannya yang lain.

Mereka memang satu kelas dari kelas 10. Tapi bukan berarti, apa yang mereka sukai, lalu teman mereka menyukai yang lain, kemudian mengikutinya. Tidak. Bagi mereka, mencari jati diri dan disiplin utuk diri sendiri itu sangat penting. Dan dimulai saat mereka menginjak remaja. Enam belas tahun adalah usia yang cukup matang untuk mencari jati diri dan mulai belajar dewasa untuk masa depannya nanti.

Kembali pada Afkar dan Misbah.

"Ini bukan buku gue."

"Kan gue udah bilang, Afkar, itu bukan buku lo. Itu buku Ganda. Buku lo dipinjem."

Nyaris bernapas lega, Afkar malah membulatkan matanya. "Sama siapa?"

"Raka. Dia kan tangan panjang juga, kalo lo lupa gue ingetin nih." Misbah menunjuk Raka yang duduk di depannya dengan dagu. Raka sedang memakai aerphone, sudah pasti tidak dengar. Sedangkan Ganda pergi ke toilet.

Afkar mendegus. Lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Menatap kepala Raka yang sedang mengangguk-angguk mengikuti alunan musik. Ia kemudian menyentil telinga temannya itu dengan kesal. Sang empu berbalik dan mengusap telinganya.

"Apasih, Kar?!"

"Tangan panjang, dosa!"

Karena Raka adalah orang yang peka, laki-laki itu langsung menipiskan bibir. Lalu menyatukan kedua tangannya di depan dada. "Oh, sori, gue pinjem. Thanks!" Kemudian berbalik untuk menyalin tugas yang akan dikumpulkan sebentar lagi.

Dan Afkar hanya bisa menggeleng pelan. Huft, sudah biasa, pikirnya.

•••

Kalian pilih siapa? Afkar, Misbah, raka atau Ganda?

Aku jujur milih Misbah, kalo Afkar anakku soalnya, Ganda belum nongol wujudnya di part ini, kalo Raka entar aku susah moveon dari masa lalu *plak* diserbu readers

Oke, next?

Jakarta, 19 april 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top