Prolog
Prolog
Musik yang memekakkan telinga menyambut langkahku ketika memasuki kelab yang berada di tengah kota Surabaya malam ini. Tempat yang selalu kudatangi bersama Mas Yudha setiap kali kami berdua butuh melepas penat. Namun, malam ini, tidak ada Mas Yudha di sampingku. Selain karena suamiku itu sudah kembali ke tengah laut, aku juga membutuhkan waktu sendiri untuk mengurai isi kepalaku.
Anggukan dan sapaan penjaga pintu yang kukenal membuat langkahku semakin ringan. Bahkan perempuan bernama Ria yang saat ini berdiri di balik bar pun melambaikan tangan menyapa dengan seringai lebar di bibirnya.
“Yang biasa, Feb?” tanya Ria yang kujawab dengan acungan jempol sebelum duduk di bar stool.
“Sendiri? Suamimu ke mana?”
“Biasa, tugas,” jawabku singkat tak ingin membuka kesempatan pada Ria untuk membalasnya. Aku tidak mencari teman untuk bercerita malam ini, karena bukan itu alasanku kemari.
Berbeda dengan perempuan pada umumnya yang memiliki teman curhat, aku memilih untuk tidak bercerita kepada siapa pun, kecuali Mas Yudha. Bukan karena aku tak memiliki teman selama ini. Esti—sahabat sejak kuliah—selalu siap setiap saat jika aku menginginkannya. Namun, aku bukan tipe perempuan yang nyaman untuk membagi masalah kepada siapa pun. Aku pun memilih untuk memikirkan masalahku sendiri, seperti malam ini.
Duduk menatap minuman yang tak akan pernah kusentuh. Mendengarkan musik yang membuat telingaku mendengung. Mendengar teriakan, tawa, canda, dan percakapan yang berlangsung di sekitarku. Merasakan suasana yang jauh berbeda dengan rumahku. Itu semua membuat otakku bisa berpikir dengan jernih. Aroma keringat bercampur dengan parfum menguar. Membuatku bisa lebih konsentrasi memikirkan pilihan yang harus kuambil.
Entah berapa lama aku duduk di sini. Bahkan Ria yang terlihat semakin sibuk, sesekali mengecek keadaan, tak membuatku beranjak. Aku masih sibuk dengan pikiranku. Memikirkan penawaran Mas Yudha yang terasa tidak masuk akal. Membayangkan apa yang akan terjadi jika aku memutuskan untuk mengiyakan permintaannya.
Namun, tiba-tiba napasku tercekat ketika seseorang mendorong ponselnya tepat di samping gelasku. Sebaris kata kubaca di sana.
Hai
Jujur, saat ini aku takut untuk mengangkat pandangan dan melihat siapa yang ada di sampingku. Dari sudut mata, aku bisa melihat pria itu, tapi tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Kuputusakan untuk memberanikan diri, meraih ponsel, dan mengetik balasan di bawahnya. Hai, dan kudorong kembali ponsel ke arah pria asing di sebelahku.
Tak lama kemudian.
Sendiri? Boleh kenalan?
Sebaris kata itu ada di bawah balasanku.
Aku tak melepas pandangan dari ponsel yang kembali di dorong ke arahku. Setelah berpikir beberapa saat, aku kembali membalas hanya dengan satu kata.
Boleh.
Aku belum pulih dari keterkejutanku ketika suara lembut itu memasuki ruang denganku.
“Hai!” kata pria itu sedikit berteriak. “Arkatama. Arka”
Aku terdiam memandang tangan yang terulur padaku. Rambut halus di lengan kokoh pria itu menjadi hal pertama yang kulihat. Untuk sesaat aku ragu untuk menerimanya. Selain karena malas memulai percakapan, aku tidak sedang mencari teman untuk ngobrol. Aku hanya ingin sendiri dan berkubang dengan masalahku. Namun, ketika ingatan beberapa jam lalu kembali memenuhi kepala. Kuputuskan untuk melakukan sesuatu yang tak pernah kulakukan selama ini.
“Hai,” sahutku menerima uluran tanganku. “Febiana,” tambahku.
“Hai, Febiana, senang berkenalan denganmu.”
“Hai, Arka,” ucapku singkat menatap wajahnya.
Senyum dengan bibir tertutup yang menghiasi wajahnya membuatku terdiam. Ada sesuatu dari sorot matanya yang membuatku merasa tenang. Aneh.
Berbeda dengan Mas Yudha yang selalu berpenampilan rapi dan bersih, facial hair yang terpotong rapi menghiasi wajah Arka. Mengaburkan lesung di pipi kanannya yang terlihat menggemaskan. Rambutnya terlihat tebal di bagian atas dengan samping dicukur rapi membuat Arka seperti kebanyakan anak mudah jaman sekarang.
“Nina sendirian?”
Nina? Pertanyaan Arka membuyarkan lamunanku. Aku hanya menjawab dengan anggukan, karena aku tak memercayai diriku sendiri saat ini. Tidak ada yang pernah memanggilku Nina. Mendengar nama Nina dari bibir Arka, tak ayal membuatku merasa berbeda. Terlebih lagi ketika senyum Arka membuat jantungku berdetak kencang. Terlalu kencang.
“Aku temenin, boleh?” Kukedikkan pundak karena aku sungguh tak peduli dia tetap duduk di sampingku atau menjauh dariku.
Sekian menit kami hanya duduk berdampingan, tanpa ada kata. Pandangan kami pun lurus ke depan seperti dua orang asing kebetulan berada di tempat yang sama.
“Kamu sadar enggak kalau selama sejam terakhir aku berusaha untuk menarik perhatian kamu.”
“Hah?!” kataku menoleh ke arahnya. “Maksudnya?!”
Arka mendekatkan kepala, ketika musik tiba-tiba terdengar semakin kencang. “Aku pengen kenalan, tapi kamu kayaknya lagi banyak pikiran banget.”
“Gimana, Yang? Kamu udah ambil keputusan?!” Pertanyaan Mas Yudha kembali melintas di pikiranku. Membuatku bertahan di tempat. Memandang Arka yang tak lelah tersenyum padaku.
“Sorry, aku memang suka ke sini kalau lagi butuh mikir,” kataku berusaha mengusir bayangan suamiku.
Aku bisa melihat mata Arka membulat, tapi hanya untuk sesaat. Detik berikutnya, Arka kembali menurunkan kepala. “Kalau butuh temen cerita, I’m all ears.”
“Hah?!” kataku terlalu banyak menggunakan kata Hah. “Kenapa? Kita baru kenalan, kan?!” tanyaku keheranan. Meski di dalam hati—entah kenapa—aku mendapat perasaan aman bersama Arka. Perasaan yang belum pernah kudapatkan selama ini, kecuali bersama Mas Yudha. Arka memiliki bad boy vibes yang kuat. Dengan penampilan sempurna, meski hanya kemeja putih yang ditekuk hingga siku dan celana jeans berwarna biru, Arka terlihat sempurna.
Arka kembali menunduk, dan aku terdiam di tempat, karena setiap kali ia melakukan itu, hidungku dengan lancang menarik napas panjang. Menghirup aroma parfum yang membuatku ingin berlama-lama di sana.
“Kamu percaya sama takdir, enggak?” Kuanggukkan kepala pelan. “Aku merasa kita berdua memang ditakdirkan untuk bertemu malam ini.”
Aku percaya takdir. Terlebih lagi ketika memikirkan tentang pertanyaan Mas Yudha, dan Arka muncul di depanku. Dengan senyum yang membuatku terpana. Sikap manis yang membuatku merasa aman, meski ini pertama kali aku melihatnya. Kehadirannya seolah menjadi jawaban dari kebingunganku malam ini. Aku tak tahu itu takdir atau hanya pembenaran.
Suara musik yang mengisi ruang dengarku saat ini tak terasa memekakkan telinga. Suasana ramai perlahan menghilang ketika dengan nekad aku berbisik di telinganya, “Udah berapa perempuan yang berhasil kamu dapatkan dengan kalimat takdir itu?”
Arka memundurkan kepala dan terbahak-bahak menanggapiku. Tanpa kusadari, kucondongkan tubuh ke arahnya, begitu juga dengan Arka.
“Mau cari tempat yang lebih sepi, enggak?” katanya tanpa melepas pandangan dariku. Membuatku harus menahan diri untuk tidak menepuk pipi yang menghangat karena perhatiannya.
Pandanganku bersirobok dengannya, dan seketika semua kebingunganku menjadi jelas. Pilihan yang ada di kepalaku pun menghilang satu per satu. Wajah Arka memenuhi pandangan dan dalam hati aku berkata, ‘apakah Arka jawaban dari pertanyaanku?’
“Ke mana?” tanyaku penasaran meski saat ini jantungku berdetak kencang. Selama ini, aku tak pernah dengan sadar menerima ajakan pria lain. Namun, saat ini aku berpikir menerima ajakan Arka.
Arka menoleh ke kiri dan kanan, seolah mencari seseorang. “Aku pengen cari nasi goreng. Tadi belum sempat makan malam.”
Untuk pertama kalinya setelah Mas Yudha mengatakan tentang keinginannya, aku bisa tertawa lepas. Di saat pikiranku penuh dengan berbagai pengandaian apa yang akan terjadi, Arka justru membuat perutku kaku karena tertawa.
Pemanasan dulu, yaaaak
Ketemu sama dua orang yang ... menarik dilihat dari semua sisi
🤣🤣🤣
Buckle up guys ....
Love, ya!
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top