Bab 8

Bab 8
Lunchdate
Arka

Aku tak pernah merasa sebahagia saat ini ketika melihat Reza. Temanku itu duduk sendiri di kursi untuk empat orang di tengah resto yang terlihat penuh. Aku bisa saja keluar dan memilih tempat yang lain. Namun, dengan perut yang belum terisi sejak pagi, aku tak punya tenaga untuk mencari tempat lain.

“Yakin, enggak ganggu kamu sama Esti?” tanyaku menyebut partner Reza. Esti bukan kekasih Reza, karena aku tahu perempuan itu masih terikat pernikahan.

Reza menggeleng dan mengibaskan tangannya, meyakinkan saat ini aku tidak mengganggu rencana makan siangnya. “Esti bawa temannya hari ini, santai aja.”

“Oke, aku ke toilet dulu.”

Semenjak pagi, aku mengawasi beberapa mahasiswaku mengambil sampel tanah. Meski aku tak berkubang dengan lumpur dan tanah, tapi debu yang menempel di wajah membuatku gerah.

Aku bisa mengenali pemilik leher jenjang yang kini  membelakangiku. Meski hanya sekali melihatnya, tapi aku  tak akan pernah melupakannya. Seketika gerah, lelah, dan penatku menghilang. Langkahku semakin cepat dan saat kulihat mata membelalak Nina, hanya satu yang kuinginkan. Menariknya dan melumat bibir merahnya.

“Febi,” ucap Nina mengulurkan tangan yang kuterima dengan senang hati. Meski saat ini aku tak tahu kenapa menyembunyikan kenyataan tentang kami berdua yang saling mengenal.

Perempuan yang mengisi kepalaku sejak malam itu lebih banyak menunduk menatap ponselnya dengan senyum terkulum. Entah apa yang membuatnya menghindariku, tapi saat aku mendekatkan lutut ke arah kakinya. Nina semakin menyembunyikan senyumnya dan aku bersorak di dalam hati.

Selama dua hari aku disibukkan dengan urusan kampus. Melupakan semua, termasuk Nina, meski setiap saat aku bisa melihat senyumnya di pelupuk mataku. Aku membuka bibir berusaha untuk menarik perhatian Nina ketika Esti menyebut nama Yudha. Siapa Yudha?

“Sorry,” jawab Nina meletakkan ponsel tak jauh dari sikuku dengan posisi terbalik. “Besok dia balik.”

“Suami?” tanyaku. Nina menoleh dan mengangguk. Senyum gugup di wajahnya membuatku semakin ingin melumat bibirnya. Memuja tubuhnya. Mendengarnya meneriakkan namaku.

‘Bangun, Ar!’ bentakku dalam hati.

“Suami Febi itu kerja di offshore gitu. Jadi kalau pas ada di Surabaya, enggak bakalan bisa hubungin mereka berdua.” Semu merah di pipi Febi terlihat jelas. Bahkan ketika Esti meneruskan menceritakan tentang pria bernama Yudha tersebut, Nina terlihat semakin gugup. Beberapa kali menggeser tubuh dan menggerakkan kaki, hingga kedua lutut kami bertemu. Detik itu juga Nina terlihat tenang.

Aku tersenyum menanggapi apa pun yang Esti katakan tanpa mendengarkan dengan seksama. Bagiku, satu-satunya yang menarik adalah Nina. Perempuan yang mengedarkan pandangan ke segala penjuru, kecuali padaku. Perempuan yang terlihat tak yakin dengan dirinya sendiri saat ini.

Rileks.
Aku enggak bakalan ngomong sama siapa pun tentang kita.

Dari sudut mata kulihat Nina meraih ponsel dan membaca pesan yang kukirim. Namun, hingga beberapa saat, tak ada balasan yang masuk ke ponselku. Menandakan dia tak ingin membalas pesanku.

Sorry selama dua hari ngilang tanpa kabar.
Ada pekerjaan yang menyita semua waktuku,
sampai apartemen langsung tidur.
Jangan marah
Jangan cemberut

Nina
Kenapa?

Lihat kamu cemberut, bikin aku pengen nyium kamu!

Nina terbatuk dan tanganku otomatis meraih punggung dan menepuknya pelan. Menunduk tepat di samping wajahnya.

“Kamu enggak apa-apa?” Wajah memerah Nina membuatku merasa bersalah. “Nin ....”

“Enggak apa-apa,” jawab Nina menggeser tubuhnya. “Makasih,” ucapnya masih tanpa memandang wajahku.

Ketika pesanan makan siang kami datang, Nina terlihat tak berselera makan. Ia hanya memainkan makanannya dan sesekali memasukkannya ke mulut. Membuatku ingin menariknya dalam pangkuan. ‘Ya ampun Ar, otakmu ngeres!’

Aku tahu kamu enggak nyaman.
Kamu mau aku pulang?

Nina
Jangan!

Makan, Nin! Atau mau aku suapin?

Satu kata yang membuatku bernapas lega. Terlebih lagi ketika melihat Nina meraih sendok dan kembali meneruskan makan siang. Sesekali ia menjawab pertanyaan Reza yang bertanya tentang suami dan pekerjaannya. Pembicaraan yang tak ingin kudengar, dan itulah yang kulakukan. Menulikan telinga setiap kali mendengar Nina menyebut nama suaminya.

Sejak pertama kali melihat Nina, aku tahu dia terikat pernikahan. Siapa pun bisa melihat dari dua cincin di jari manisnya. Namun, entah kenapa, kenyataan Nina milik seseorang tak membuatku ingin mundur. Bahkan ada keinginan yang semakin menggebu-gebu untuk menjadikan milikku juga.

‘Gendeng kowe, Ar!’[1]

“Arka ini dosen.” Suara Reza menarikku dari lamunan. Aku bisa merasakan lirikan Nina yang kembali menunduk meraih gelas minumnya.

“Aku pernah sekali masuk ke kelas Arka.” Reza meneruskan ceritanya. “Sebagian besar isinya, cewek, Yang,” kata Reza pada Esti yang tak melepas tangannya dari sahabatku.

Esti memandangku sebelum kembali pada Reza. “Kamu kalau lihat cewek-cewek di kelas Arka, pasti geleng-geleng kepala. Mereka all out banget. Semua karena pengen banget narik perhatian Bapak Arkatama Saputra, nih.”

“Za!” kataku memberinya peringatan.

“Dosen idola banget, kamu, Ar.” Esti  menggodaku dan membuatku melirik Nina yang kini menatapku. Ada sesuatu dari caranya melihatku. Ada kilatan marah yang segera menghilang sebelum aku sempat membacanya.

“Kalau Febi?” tanyaku sambil menoleh ke arah Nina yang tampak tak siap mendapatkan pertanyaan. “Kerja atau ….”

Esti menggeser kursi dan membuat kami semua memandangnya keheranan.

“Sorry, aku baru keingat,” ucap Esti. “Kapan hari kamu, kan, bilang kalau tertarik untuk trading, kan, Yang,” ucap Esti pada Reza yang semenjak dulu tak bisa melihat peluang untuk mencari uang terlewat begitu saja. Meski saat ini ia memiliki pekerjaan yang mapan di salah satu kantor konsultan arsitektur. Satu hal yang kukagumi dari Reza, dia tak pernah berhenti mencari peluang untuk mendapatkan uang, seperti diriku.

“Emang kenapa?” tanya Reza yang melirikku. Pasalnya beberapa minggu lalu, kami berdua sempat membahas tentang mencoba peruntungan di perdagangan mata uang asing. Namun, hingga saat ini, semua itu masih berupa wacana. Kami berdua terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga ide itu pun terlupakan.

Esti menunjuk Febi dengan seringai lebar. “Febiana ini trader, dan kamu bisa belajar sama dia. Iya, kan, Feb?” tanya Esti membuat mata Nina membelalak. Dari reaksi yang ditunjukkannya, aku merasa Nina tak pernah merasa nyaman menjadi pusat perhatian. Seperti saat ini.

“Aku?” tanya Nina memandang Esti dan Reza—kecuali padaku—bergantian dengan mata membulat. “Aku enggak … aku enggak pinter ngajari gitu, kan, Ti.” Wajah memohon Esti terlihat membuat Nina semakin bingung. Ia memandangku seolah berkata tolong sebelum kembali mengalihkan pandangannya.

“Gimana kalau gini,” kataku. Menarik pandanganku dari Nina dan melihat Reza. “Kita tanya Febi kalau emang udah mantap untuk ke sana, Za.”

 “Kalian berdua?!” tanya Febi. “Yang pengen belajar kamu sama Reza?” Aku mengangguk.

Aku bisa merasakan pandangan Reza, tapi aku tak ingin memberinya jawaban.

“Iya,” kataku. “Tapi nanti, karena sekarang aku lagi benar-benar repot sama anak-anak.”

Febi mengangguk-angguk. “Aku enggak pinter ngajari, tapi kalau ada yang mau ditanya, dengan senang hati aku jawab.”

It’s a date!” teriak Esti terlihat bersemangat. Aku dan Nina saling pandang dengan bingung. “Kalau kalian berdua mau tanya sesuatu, kita bisa ketemu berempat begini. Iya, kan, Yang?”

Reza yang tak bisa berhenti menyentuh Esti kini membuatku ingin menendangnya. “Ide bagus,” jawab Reza. “Kita bisa ketemu di tempatmu, kan, Ar.”

“Atau kita bisa ketemu sambil makan.” Jawaban Nina membuatku bertanya-tanya. “Asal enggak waktu Mas Yudha libur, I’m available dua puluh empat jam.”

It’s a date then,” kataku. Nina kembali gugup mendengar, aku bisa merasakannya. Hingga kami berempat berjalan beriringan menuju area parkir, aku masih bisa merasakan ketidaktenangan Nina.

Esti yang sibuk menjawab bisikan Reza terlihat tak memedulikan Nina sama sekali.

“Mau aku anter pulang?” tanyaku menggunakan kesempatan. “Atau bawa kendaraan sendiri?”

Nina menggeleng, “Tadi dijemput Esti,” jawabnya sambil menghela napas melihat Esti yang masih sibuk dengan Reza. “Tapi aku enggak yakin dia inget kalau harus anterin aku pulang.”

“Za!” panggilku membuat keduanya terkejut. “Kamu bawa mobil? Atau mau balik sama aku.”

Esti segera menghampiri Febi. Menarik tangan dan menggenggamnya erat. “Kamu marah enggak kalau pulang sendiri. Kebetulan Reza enggak harus balik kantor siang ini, jadi kami mau—”

“Aku yang anterin Febi pulang,” selaku membuat Esti bertepuk tangan. “Kalian bisa tinggal sekarang.”

Aku tak tahu harus marah dengan keduanya atau berterima kasih. Secepat kilat keduanya menuju mobil Esti dan meninggalkan Febi bersamaku. Tanpa menoleh ke belakang sama sekali.

“Aku heran kok bisa betah temenan sama Esti. Dia berubah.” Nina menatap bagian belakang mobil Esti. “Aku enggak ngerti sebanyak apa kamu tahu cerita Esti, tapi dulu dia enggak seegois saat ini.”

Sorry to say, aku lebih pengen tahu cerita kamu ketimbang Esti.” Nina menatapku dan kembali mengalihkan pandangan. “Ayo, aku anter pulang!” Keraguan Nina tampak jelas di wajahnya. “Aku enggak bakalan gigit, Nin! Setidaknya enggak sekarang,” ucapku menunduk, hingga kini bibirku sejajar dengan telinganya.

Seketika Nina tak terlihat gugup. Wajahnya tersipu mendengar bisikanku. “Tapi kalau kamu  mau—”

“Pulang,” kata Nina cepat. “Mobil kamu sebelah mana?” Langkahku terhenti mendengar pertanyaan Nina. “Kenapa? Aku pesan taxi aja kalau gitu.”

Kutahan tangan Nina. “Masalahnya adalah, aku pakai motor hari ini.”

Nina melihat di mana tanganku berada sebelum naik tepat ke kedua bola mataku.

“Terus masalahnya di mana?” Kugaruk kepala yang tidak teras gatal sebelum menunjuk motor sport berwarna hitam tak jauh dari sana. Nina mengangguk paham sebelum tersenyum. “Aku belum pernah dibonceng pakai motor setinggi itu.”

Tak ingin Nina berubah pikiran, kutarik lengannya hingga tepat di samping motorku. Untung hari ini aku membawa helm cadangan karena ada satu mahasiswaku yang tertinggal temannya. Sambil menahan diri untuk tidak menyeringai lebar, kupasang helm pada Nina yang tak melepas pandangan dariku.

“Berat?” tanyaku setelah memastikan helm terpasang dengan benar.

“Aku kira bakalan berat banget, tapi ….” Nina memiringkan kepala ke kiri dan kanan. “Enggak terlalu berat ternyata.”

Kulepas jaket dan meminta Nina memakainya, dan menaiki motor dengan senyum lebar.

“Yuk!” Kuulurkan tangan membantu Nina naik. Kaki pendeknya membuat Nina sedikit kesulitan, mengingat motorku tinggi. Namun, melihatnya tak menolak uluran tanganku, aku bisa bernapas lega.

“Ar, aku ….” Sebelum Nina menyelesaikan kalimatnya, kutarik tangannya hingga dadanya menempel di punggungku.

“Eh,” ucapnya gugup.

“Jangan pernah lepasin!” pintaku melingkarkan tangannya di perutku. “Janji, Nin! Jangan lepasin!”

Aku tak pernah membayangkan akan membonceng Nina siang ini. Ia tak terlihat keberatan, meski panas dan debu menjadi bagian perjalanan pulangnya. Sepanjang jalan, Nina tak melepas lilitan tangannya. Bahkan sesekali aku merasakan lilitan itu mengerat ketika aku sengaja memiringkan motor saat berbelok.

[1] Gila kamu, Ar

Sesuai janji, Mas Arka masih nongol selama masa PO, ya, guys.
Bakalan ada 62 bab, 448 halaman. Ini buku paling tebal yang pernah aku bikin.
Ada beberapa adegan dewasa yang ... bikin aku deg-degan nulisnya.
🤣🤣🤣

Anyway ... udah ikut PO?
Thank you
😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top