Bab 6
Bab 6
Lady in red
Arka
Aku memasuki tempat yang tak pernah sepi dan mengedarkan pandangan mencari Reza. Sahabatku sejak SMA itu memintaku datang karena melihat Sasa—kekasihku saat ini—bersama lelaki lain. Aku tahu Sasa bermain api di belakangku, tapi hingga sat ini, kata putus tak pernah meluncur dari bibirku. Membuat Reza uring-uringan melihat sikapku.
Semenjak mengenal cinta, pantang bagiku untuk memutus hubungan. Aku selalu menanti hingga mereka merasa jengah dan meminta putus dariku.
Meski bagi sebagian orang menganggapku pengecut, tapi bagiku itu tindakan yang benar. Walaupun pikiran licikku selalu bermain dengan membuat mereka jengah dan memilih untuk meninggalkanku. Seperti saat ini yang kulakukan pada Sasa. Meski aku mengetahui perselingkuhannya sejak tiga bulan lalu, bibirku masih diam tak berucap kata putus.
Sasa yang belum tahu dengan informasi yang kusimpan tentangnya merasa di atas angin. Aku sengaja melakukan itu, karena saat ini, aku sedang sibuk dengan pekerjaan. Memikirkan tentang Sasa hanya membuat konsentrasiku buyar. Mahasiswaku jauh lebih berharga dari pada Sasa yang terbukti tak bisa menjaga komitmen.
Setelah hampir lima belas menit, akhirnya aku melihatnya. Sibuk membalas ciuman pria asing yang belum pernah kulihat. Dengan langkah pasti dan pelan, aku mendekati keduanya. Menanti hingga Sasa menyadari kehadiranku. “Mas … kamu.” Aku tak menunggu Sasa menyelesaikan ucapannya. Kuputar tumit dan menuju pintu keluar sambil menghitung dalam hati.
Lima
Empat
Tiga
Du. “Mas, dengerin aku dulu,” kata Sasa menarik tanganku. “Kamu sibuk dengan pekerjaan dan duniamu. Aku seperti enggak ada artinya di depanmu.” Sasa mencoba memasang wajah melas, yang terlihat gagal. Namun, aku menghargai usahanya. Aku masih diam memberinya waktu untuk menjelaskan.
“Aku mau putus.” Yes! Teriakku dalam hati.
“Oke,” jawabku sebelum berbelok menuju bar.
Sasa kembali menarik tanganku. “Oke? Gitu aja?” tanyanya. “Enggak ada marah atau mungkin rayuan biar aku enggak minta putus atau apa, gitu.”
“Buat apa? Kamu sendiri yang bilang kalau aku sibuk dan bikin kamu merasa enggak ada artinya, kan.” Aku berusaha untuk mempertahankan wajah, meski saat ini yang kuinginkan adalah tertawa terbahak-bahak melihat wajah pias Sasa. “Udah, ya. Thank you untuk enam bulan kebersamaan kita. Kamu bisa balik ke … siapapun itu yang kamu hisap bibirnya tadi.”
Kali ini aku tak bisa menyembunyikan tawa, dan sialnya Sasa melihat itu. “Arka bajingan!” teriaknya mengundang lirikan beberapa orang.
Kukedikkan kepala ke arah Ria yang mengangguk dan duduk di bar stol dan kembali mengedarkan pandangan. Saat mataku berhenti di perempuan yang berjalan mendekatiku, napasku seketika berhenti. Bibir merahnya adalah hal pertama yang kulihat ketika perempuan berkemeja putih itu duduk. Aku mengenal Ria semenjak sering datang ke tempat ini setahun lalu. Melihat interaksi mereka, aku bisa melihat keduanya saling mengenal. Membuatku berpikir kenapa tak pernah melihatnya di sini selama ini.
Selain bibir merah yang membuatku tak bisa berpaling, kesendiriannya membuatku bertanya-tanya. Minum yang kupesan pun tak terasa menarik semenjak aku melihatnya. Rambut panjang yang diikat di puncak kepala membuatku bisa melihat leher jenjangnya. Bahkan saat ini otak kotorku pun bisa membayangkan apa yang bisa bibirku lakukan di sana. Kulit putih bersihnya pun membuatku ingin meninggalkan jejak merah di sana.
Arka goblok! Rutukku ketika pikiranku tak henti-hentinya membayangkan apa yang bisa kulakukan pada perempuan itu. Lebih dari satu jam aku duduk di sampingnya, tapi tak sekalipun dia mengangkat kepala. Seolah ada sesuatu yang berat menggantung di sana.
Seperti otang bodoh, aku membuka program notes di ponsel dan mengetikkan satu kata, Hai. Dengan jantung berdetak kencang, aku mendorong ponsel ke arahnya. Aku hampir bersorak ketika jari lentik itu meraih ponsel dan mengetik balasan. Namun, bukan itu yang membuat napasku tercekat. Derai tawa di bibirnya ketika mendengar ajakan makan malamku lah yang membuat otakku seketika kosong.
“Kecuali kamu mau kita makan malam di tempat lain,” ucapku setelah Febiana—yang entah kenapa kupanggil Nina—menghentikan tawanya. “Aku yakin banyak kafe yang buka dua puluh empat jam.”
Nina melihat jam di pergelangan tangan kanannya, terlihat ragu. Aku bisa melihatnya menggigit bibir, gugup. Otakku kembali berulah, saat ini membayangkan menangkup wajahnya. Mengusap lembut pipi sebelum melumat bibir merahnya.
“Arka!” panggil Nina membuatku menyeringai malu. “Ngelamunin apa, sih?” tanyanya membuatku semakin gemas dibuatnya.
Nina tidak memiliki wajah cantik seperti model papan atas. Tapi ada sesuatu dari senyumnya yang membuat siapa pun tak bisa memalingkan wajah. “Ngelamunin kamu,” jawabku enteng. “Gimana? Nasi goreng atau kafe dua puluh empat jam?”
“Sorry, aku enggak nyaman untuk pergi sama orang yang baru kukenal.” Sejak pertama kali, aku sudah melihat cincin di jari manisnya. Namun, otak bodohku kembali menguasai bibir dan menggoda perempuan bersuami.
“Nasi goreng di dekat parkiran kalau gitu.” Sebelum Nina bisa menolak, aku berdiri dan mengedikkan kepala ke arah pintu. “Yuk,” ajakku.
Entah berapa lama Nina terdiam menatap pintu dan wajahku bergantian. Ia kembali menggigit bibir. keraguan terlihat jelas di wajahnya, tapi aku tak memberinya kesempatan untuk mundur. “Nih,” ucapku mengulurkan ponsel dan dompet ke arahnya.
“Lah, buat apa?” tanya Nina bingung.
Meski saat ini aku pun bingung dengan kelakukanku sendiri. Namun, aku tak ingin Nina mengetahui itu. “Jaminan kalau aku enggak bakalan ngapa-ngapain kamu. Aku beneran cuma pengen makan malam sama kamu.”
Waktu terasa berjalan pelan ketika Nina tak kunjung menerima dompet dan ponselku. Entah kebodohan apalagi yang akan kulakukan jika Nina tak segera menerima jaminanku. “Ayo, lah. Please,” mohonku. “Kamu tega lihat aku kelaparan gini.”
Nina yang tak terlihat yakin dengan aktingku menatapku dengan curiga. “Awas kalau aneh-aneh, ya, Ar,” kata Nina meraih ponsel dan dompetku. Memasukkannya ke dalam tas dan berpaling menatap Ria yang entah sejak kapan melihat interaksi kami berdua.
Aku tak tahu apa yang Nina katakan, tapi ketika Ria menatapku dan mengangguk, tiba-tiba aku bisa bernapas lega. “Kenapa?” tanyaku pada Nina yang kini berdiri di sampingku. “Ngecek aku ke Ria?”
Nina mengangguk dan berusaha berbisik di telingaku, “Ria bilang kamu bukan penjahat kelamin, jadi aman.”
“Ria, setan!” teriakku yang membuat Ria terpingkal pingkal. “Sebelum kamu berubah pikiran, yuk,” ajakku berjalan menuju pintu keluar.
Musik seketika menghilang ketika pintu di belakang kami tertutup rapat. Membuatku kembali bisa berpikir. “Aku enggak ngerti orang yang suka dengerin musik seperti itu,” kataku menunjuk arah yang ingin kutuju. Nina yang berjalan di sampingku dengan jarak aman seketika berhenti. “Kenapa?”
“Kamu aneh,” ucapnya. “Kamu bilang enggak ngerti sama orang yang suka dengerin musik seperti itu, tapi kamu sendiri ngapain ke sana?”
Kutolehkan kepala dan mengedikkan pundak sebelum memutuskan untuk menceritakan tentang Sasa. Diluar dugaanku, Nina tertawa terbahak-bahak. Membuat matanya menyipit. “Kamu bisa-bisanya tahan sama perempuan yang jelas-jelas selingkuh dari kamu.”
“Aku kan enggak mau nyakitin perasaan, sih, Nin,” jawabku membela diri. “Itu kenapa aku biarin sampai dia jengah dan minta putus.”
“Licik,” kata Nina membuatku terkejut. “Kenapa? enggak ada yang pernah bilang kamu licik?” tanyanya ketika aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Aku kembali melangkah, dan Nina mengikutiku di belakang. “Banyak teman yang bilang aku pengecut atau bucin, atau apalah.”
Penjual nasi goreng yang terlihat ramai membuat ekpresi lega terlihat jelas di wajah Nina. Aku pun tertawa mendapati napas leganya. “Kamu takut kalau aku bohong tapi tetap mutusin untuk ngikuti langkahku. Kamu benar-benar sulit untuk dimengerti, Nin.”
Nina mendorong pundakku, tapi aku enggak meniggalkan kehangatan telapak tangannya. Bahkan senyum yang tersungging di bibirnya semakin membuatku tak ingin malam ini berakhir. “Kamu mau makan juga? Atau sepiring berdua, biar romantis?” Aku tahu semua rayuanku garing dan tak bermutu, tapi aku tak peduli. Semua akan kulakukan untuk menghabiskan waktu lebih lama bersama lady in red yang kini terlihat menunduk malu.
“Berdua aja, ya. Jadi ada kenangan yang bisa kamu ulang-ulang di kepala cantikmu itu.” Rayuanku semakin tak bermutu tapi aku tak peduli. “Duduk sana aja.” Tunjukku pada kursi plastik yang beberapa saat lalu terisi.
Kutinggalkan Nina dan memesan nasi goreng spesial seperti kebiasaanku selama ini. Setiap kali menghabiskan waktu bersama Reza, kami berdua terkadang menghabiskan waktu di sini. Merokok sambil makan nasi goreng sebelum memutuskan untuk pulang.
“Pacar, Ar?” tanya Pak Mamat yang selalu mengingat pesananku. “Ayu,” tambahnya lagi.
“Bukan Pakdhe,” jawabku yang selalu memanggilnya Pakdhe. “Baru kenalan tadi,” ucapku terhenti. Napasku tercekat melihatnya mengurai rambut panjangnya. Rambut panjangnya terlihat lembut, membuatku ingin membenamkan wajah di sana. Merasakan lembutnya helaian rambutnya. Menghidup wanginya. Ya Tuhan, isi kepalaku!
“Lha kok gelem mbok ajak andok sego goreng?”[1]
Pertanyaan Pakdhe menyentakku dari bayangan Nina yang membuatku terdiam. “Jenenge ae Arka[2], Pakdhe,” jawabku yang membuat Pak Mamat menggeleng keheranan. “Tapi aku juga heran kenapa dia mau, ya, Pakdhe.” Kutepuk pelan pundak pria yang sudah berjualan di sana sejak sepuluh tahun lalu sebelum berjalan menghampiri Nina.
Aku menarik kursi terdekat dan duduk tepat di depannya. Nina yang terlihat salah tingkah memilih untuk menundukkan kepala dan tak lama kemudian, ia mengulurkan ponsel dan dompetku. “Dari pada lupa, nih.”
Ponsel kembali kuulurkan padanya, “Aku bisa tahu nomor telepon kamu, dong.”
Wajah Nina terlihat lucu. Matanya membelalak. “Kamu pengen tahu nomor teleponku?” tanyanya tak percaya. “Buat apa?” tanyanya setelah kuanggukan kepala.
“Biar bisa janjian makan malam lagi, Nin.” Matanya semakin membulat. “Itu mata bisa lepas lho, Nin,” ucapku. “Masukan nomor kamu.” Aku menarik tangannya dan meletakkan ponselku. “Cepetan!”
Nina terlihat ragu tapi tetap mengetikkan sebaris nomor sebelum mengembalikan ponselku. Setelah menyimpannya dengan nama Nina, aku menghubungi nomornya. “Simpan nomorku, Nin,” ucapku bersamaan dengan istri Pak Mamat mengantarkan sepiring nasi goreng dengan banyak irisan sayur. “Matur nuwun[3], Budhe.”
Aku bisa merasakan tatapan tak percaya Nina, tapi kuputuskan untuk diam dan mengulurkan sendok padanya. Kami berdua makan dalam diam, hingga nasi di piring habis tak tersisa. Meski Nina hanya makan beberapa suap. “Makasih udah nemenin makan malan, Nin,” ucapku setelah mengembalikan piring dan membayar Pak Mamat.
“Sama-sama,” jawab Nina. Kami berdua berdiri dan kembali berjalan. “Aku … ini mobilku.” Tunjuk Nina ke arah city car berwarn silver yang untungnya berada tepat di depanku. “Makasih udah nemenin, Ar.”
Sama sepertiku, Nina terlihat ragu. Entah ragu karena berpisah denganku, atau ragu dengan keputusannya menemani makan malam. “Nin, aku boleh ikutin kamu.” Nina menggeleng dengan cepat. “Enggak sampai depan rumah, cukup sampai depan gang atau komplek. Aku hanya ingin mastiin kamu sampai di rumah dengan selamat.”
Seperti ketika aku mengajaknya makan malam, Nina menggigit bibir bawahnya. Gugup yang terlihat jelas di wajahnya membuat kepalaku kembali penuh dengan bayangan mencium bibirnya. “Kamu bisa telepon dan memintaku berhenti ikutin kalau kamu ragu.”
Nina masih diam tak mengatakan apapun, hingga beberapa detik kemudian aku mendengar, “Oke,” jawabnya membuatku berteriak.
“Sorry,” ucapku meminta maaf.
Malam itu berakhir tak seperti yang kubayangkan. Meski aku berbuat bodoh dengan merayu istri orang, tapi entah kenapa, aku tak peduli. Wajah Nina membuat semua pertimbangan masuk akalku melayang entah kemana. Aku bahkan tak sabar untuk menghubunginya di keesokan hari.
[1] Lha kok mau kamu ajak makan nasi goreng
[2] Namanya juga Arka
[3] Terima kasih
Ada yang kangen Mas Arka?
Nyooooh ... tak kasih Mas Arka
Happy reading guys
Love, ya!
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top