Bab 5

Bab 5
Thinking of you
Nina


Hal pertama yang kulakukan setelah mengantar Mas Yudha ke bandara adalah membuka laman pencarian dan mencari segala hal tentang open marriage. Satu per satu informasi yang muncul kubaca hingga kepala terasa pening. Hingga semua siniar yang bisa kudapatkan menjadi pengisi hari-hariku. Bahkan tak jarang aku tertidur sambil mendengarkan cerita mereka yang sudah melakukan hal tersebut.

Banyak hal kupelajari selama lebih dari seminggu mencari tahu tentang tipe hubungan seperti itu. Aku tak tahu apakah siap untuk melakukannya. Mendua tak pernah kulakukkan selama ini, meski itu hanya sebatas hubungan fisik. Semua karena aku tak pernah melakukannya tanpa hati.

Mas Yudha
Udah di rumah?

Pesannya masuk tak lama setelah aku mematikan mesin mobil. Aku dan Mas Yudha memiliki kebiasaan semenjak menikah, kami akan saling memberi kabar setiap pergi keluar rumah. Begitu juga ketika sampai di tempat atau kembali pulang. Beberapa teman dulu pernah mengatakan itu sikap posesif, tapi bagiku, itu adalah sikap perhatiannya bagiku.

Sudah, Mas.
Kamu pasti suka aku abis beli apa tadi

Mas Yudha
Foto, sekarang!
seminggu itu masih lama.

Aku tertawa membaca pesannya. Pasalnya, hari kerja Mas Yudha masih seminggu lagi sebelum waktunya kembali pulang. Tiga minggu kami terpisah, dan tak sehari pun berlalu tanpa aku memikirkannya. Membayangkan apa yang akan kami lakukan nanti. Namun, saat ini, pikiranku terisi dengan jawaban apa yang akan kuberi padanya nanti.

Menyingkirkan masalah di kepala, aku masuk rumah, dan segera membersihkan badan sebelum membongkar kantong belanja yang sengaja kubeli untuk Mas Yudha.

Malam ini, aku sengaja memulas wajah dengan tampilan yang berbeda. Berkat tutorial sexy makeup yang membuatku terpaku di layar tablet selama lebih dari satu jam. Aku tersenyum puas ketika mendapati wajahku terlihat berbeda.

Berdiri di depan kaca setinggi badan, aku mengambil pose yang aku yakin bisa membuatnya menggeram. Setelah beberapa kali take hingga akhirnya mendapat hasil yang kuinginkan, aku pun berganti dengan baju yang lainnya. Hingga keempat pakaian yang kubeli khusus untuk Mas Yudha selesai kucoba dan foto.

Tepat pukul delapan malam, aku mengirim pesan pada Mas Yudha yang terpisah ratusan kilometer dariku. Empat foto dengan berbagai posisi yang mengundang membuatku harus menahan pekikan ketika ponselku bergetar.

“Kamu seneng banget bikin suami adem panas, Yang!” protes Mas Yudha. Tanpa ada sapaan halo atau apa kabar, suamiku melayangkan protes.

“Hai, Sayang. Apa kabar? Hari ini pergi ke mana aja?” sindirku ketika wajah cemberut pria yang kini tampak tersiksa memenuhi layar ponselku.

“Enggak pake tanya kabar! Nasibnya gimana ini?” tanya Mas Yudha memperlihatkan kondisi tubuhnya. Aku yang masih tengkurap di atas ranjang dengan tanktop berpotongan rendah semakin membuat Mas Yudha mengerang tersiksa. “Jangan bergerak! Aku mau kamu diam di tempat, dan biarkan aku menikmatinya dari jauh.”

Mendengar perintah Mas Yudha aku semakin menggodanya hingga putingku terlihat mencuat.

“Kamu sengaja!” kata Mas Yudha. Seperti yang sering kami lakukan saat rindu menyelimuti, kami berdua mencari pelepasan sambil memandang wajah masing-masing di layar ponsel.

Malam itu, aku dan Mas Yudha mengakhiri telepon tanpa ada pertanyaan tentang permintaan, dan aku bersyukur. Saat ini, aku tak yakin memiliki jawaban, ketika ia kembali bertanya. Semua hal terasa meragukan bagiku. Hal asing yang membuatku takut untuk mengeksplor di sana. Seperti tanah asing, membuatku bertanya-tanya apa yang akan kudapatkan di sana.

Berbeda dengan Mas Yudha yang sepertinya sudah  mencari tahu tentang hal tersebut. Aku memulai semuanya dari nol, dengan pikiran bercabang. Membuatku tak bisa mendapatkan hasil yang obyektif, karena saat ini takut mendominasi hati dan pikiranku.

Hari berganti, dan saat ini aku menolak untuk memikirkan keinginan Mas Yudha. Ada pekerjaan yang memerlukan konsentrasi dan hanya bisa kulakukan jika pikiran tentang permintaan itu kusimpan di dasar hati terlebih dahulu. Namun, semesta seolah tidak membiarkan perasaanku tenang hari ini.

“Feb, nganggur, enggak?” Suara Esti memenuhi ruang dengar saat kugeser tanda hijau di layar ponselku. “Aku ke rumahmu, ya. Urgent!” Mulutku terbuka untuk berkata jangan, tapi Esti memutuskan sambungan begitu saja.

“Ini anak maunya apa, sih!” rutukku pada ponsel di tangan yang kembali menghitam. “Aku aja punya masalah yang enggak bisa aku ceritain, kok!”

Aku dan Esti berteman semenjak kuliah, tapi aku tak pernah menceritakan tentang kehidupan rumah tanggaku padanya. Bahkan tidak pada keluargaku. Perihal anak yang tak kunjung hadir pun tak pernah jadi bahan ceritaku pada siapa pun. Tangisku ketika setiap kali datang bulan setelah terlambat, kutelan sendiri. Bahkan di depan Mas Yudha pun aku selalu tersenyum, meski hatiku menangis.

Terlebih lagi ketika dokter memberitahukan tentang kondisi tubuhku dan Mas Yudha yang normal tak memiliki masalah. Aku menangis dalam hati, mempertanyakan kenapa hingga saat ini tak kunjung hamil. Namun, aku tak pernah  mengatakan hal itu pada siapa pun.

Bagiku, masalah bukan untuk dibagi kepada siapa pun. Aku hanya membagi senyum dan kebahagiaan kepada semua orang, terlebih lagi pada Mas Yudha. Aku tak ingin suamiku pergi bekerja dengan beban pikiran tentangku.

“Ya, Sayang,” sapanya setiap kali aku menghubunginya. “Enggak ke mana-mana hari ini?”

“Esti mau ke rumah. Paling cerita tentang suaminya selingkuh.” Ini bukan kali pertama Esti menceritakan tentang perselingkuhan suaminya padaku. Aku yang tak berani memberinya berbagai macam saran, hanya diam dan menawarkan telinga yang siap untuk mendengarkan semua keluh kesahnya.

“Mas, kamu pernah berpikir untuk selingkuh?”

“Enggak, dong!” jawab Mas Yudha cepat. Terlalu cepat. Sebelum aku sempat bertanya lebih banyak, bel di pintu berbunyi. Dari kamera yang terpasang di pagar, aku bisa melihat mobil Esti di sana.

“Ada Esti, aku tutup dulu ya, Mas. Love you,” ucapku menanti Mas Yudha membalas ucapan sayangku sebelum mengakhiri telepon. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan sebelum keluar menyambut Esti.

Aku mengira akan melihat matanya yang memerah dan membengkak. Namun, apa yang kulihat saat ini, jauh dari bayangan di kepalaku.

“Kamu kenapa?” tanyaku penasaran.

Tubuh tinggi langsing Esti melewatiku yang berdiri di teras tanpa sapa. Satu-satunya sahabat yang kusayang meski terkadang menjengkelkan kini menjarah isi lemari es tanpa segan.

“Kamu enggak masak?” tanya Esti.

“Delivery aja, lah,” jawabku dari sofa depan televisi tak memedulikan Esti. “Lagi males masak.”

“Aku punya pacar,” kata Esti yang tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya di sampingku.

Aku terdiam tanpa tahu apa yang harus aku ucapkan. Seperti diriku, Esti belum memiliki anak di usia pernikahan separuh dariku. Wajah perempuan yang kini terlihat lebih bersinar membuatku semakin bingung.

“Sik sik … aku  bingung,” ucapku.

“Aku punya pacar. Bagian mana yang kamu enggak ngerti, sih, Feb!” kata Esti mulai membuka bungkus ice cream di tangannya. “Brondong dan bener-bener bikin aku enggak bisa berhenti mikirin dia.”

Aku masih diam. Esti selingkuh. Perempuan yang selama hampir tiga tahun sering mengeluh tentang suaminya yang kedapatan berselingkuh, kini  melakukan hal yang sama.

“Biasanya suamimu yang selingkuh, sekarang kamu.”

Esti mengibaskan rambut panjangnya sambil melirikku dan memutar mata. “Dia sih tetap selingkuh. Kali ini sama salah satu orang yang audit kantornya.”

“Tunggu!” teriakku sambil berdiri di depannya. “Suamimu selingkuh dan sekarang kamu juga?!” tanyaku tak habis pikir. “Kalau kamu tahu sakitnya diselingkuhin, ngapain selingkuh sih, Ti. Kenapa enggak cerai aja?!” kataku. Selama ini, aku tak pernah memberinya saran untuk bercerai, meski ia menangis menceritakan tentang suaminya.

“Cerai? Enak aja,” ucap Esti ringan. Tak terlihat ada beban atau sakit hati di wajahnya. Berbeda dengan Esti yang selama ini kukenal. “Aku ngerti, kamu pasti bingung.” Esti menarik tanganku dan kembali duduk di sebelahnya.

“Aku selalu nangisin nasib dan bertanya kenapa dia selingkuh. Padahal selama ini enggak ada masalah di antara kami berdua. Aku selalu cerita sama kamu kehidupan seks kami baik-baik aja. Enggak ada masalah yang membuatnya harus mencari di luar sana. Tapi ....”  Esti diam dan mengedikkan pundaknya.

“Kamu baik-baik aja?” tanyaku ragu harus bahagia atau bersedih mendengar ceritanya. “Aku enggak ngerti harus gimana ngadepin kamu.”

Esti tertawa. Tawa lepas yang lama tak pernah kulihat di wajahnya. Ia terlihat bahagia dan aku semakin bingung melihatnya.

“Aku bahagia, Feb,” ucapnya. “Untuk pertama kalinya, selama aku menikah, aku merasa bahagia.”

Hari itu berlalu dengan Esti menceritakan tentang kekasihnya yang berusia beberapa tahun lebih muda dibanding mereka berdua. Bahkan Esti tak segan-segan menceritakan tentang apa yang dilakukan pria itu padanya.

“Kamu kalau mutusin mau cari pacar, aku saranin, cari yang lebih muda. Yang punya pekerjaan mapan, jadi kamu enggak jadi sugar mommy.”

Tanganku melayang ke arah lengannya. “Heh! Aku punya suami yang bisa menuhi semua kebutuhanku, Ti. Kebutuhan luar dalamku terpenuhi!” kataku meyakinkan Esti tentang kondisi rumah tanggaku. Tanpa menceritakan tentang keinginan Mas Yudha yang mengganjal hatiku sampai saat ini.

***

Malam ini, aku duduk di halaman samping, menatap jajaran Anggrek Bulan yang mekar. Aku tak bisa berhenti memikirkan tentang pilihan Esti mengejar kebahagiaannya. Pikiranku pun berlari ke segala penjuru. Ajakan Mas Yudha yang masih mendominasi isi pikiran pun semakin membuatku pusing.

Tepat pukul delapan malam, kuputuskan mengetikkan pesan. Meminta izin pada Mas Yudha untuk pergi ke satu-satunya tempat yang terlintas di otakku. Tempat yang beberapa kali berhasil membuatku berpikir jernih selama ini.

Mas Yudha
Yakin?

Aku butuh berpikir.
Aku ngerti Mas menahan diri untuk enggak
terus-terusan tanya selama ini.

Mas Yudha
Aku enggak akan memaksamu melakukan sesuatu
yang enggak kamu inginkan, Yang.
Jika ide itu membuatmu enggak nyaman, lupakan.

Bukan enggak nyaman.

Mas Yudha
Lalu apa yang jadi beban pikiranmu.

Karena aku benar-benar memikirkan hal itu.
Itulah yang bikin aku enggak nyaman.

Mas Yudha
Gini aja deh. Kamu boleh pergi malam ini.
Jangan mikirin tentang pertanyaanku.
Aku pengen kamu pergi, do your thing.
Hati-hati! Telepon aku besok pagi.

Kemeja putih berdada rendah, dipadu dengan celana jeans yang memeluk erat kaki jenjang menjadi pilihanku malam ini. Makeup tipis seperti kebiasaanku selama ini menghias wajahku. Namun, malam ini aku merasa berani dan menambahkan warna yang membuat tulang pipiku semakin menonjol. Lipstik merah menyala melengkapi penampilan dan aku siap pergi untuk menjernihkan pikiran.

Sebelum keluar, aku mengirim foto menunggu persetujuan Mas Yudha. Setelah mendapat balasan, okey, aku menuju satu-satunya tempat yang membuatku berpikir dengan dentuman musiknya.

Yang nunggu Mas Arka ... Insya Allah besok dia muncul.
Sekarang kenalan dulu sama satu-satunya sahabat Febiana

Happy reading guys
Love, ya!
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top