Bab 3


B

ab 3
Shock to  the heart
Nina


Setelah tiga hari mengurung diri di rumah, akhirnya malam ini kami berdua memutuskan untuk keluar. Menikmati malam di tempat kami berdua sering melepas penat. Menikmati waktu berdua di antara banyak orang. Mengganti suara di telinga dengan musik yang menghentak sebelum kembali mengisinya dengan erangan kami berdua.

Mas Yudha membawaku ke lantai dua. Area VIP tempat kami menikmati suasana setiap kali ingin menghabiskan malam di sini. Sofa panjang untuk beberapa orang yang malam ini hanya untuk kami berdua terlupakan untuk sesaat. Mas Yudha berdiri di belakangku, memeluk erat pinggangku. Mengikuti irama yang menghentak tanpa melepas lilitannya. Sesekali ia mencium puncak kepala sebelum turun ke ceruk leherku.

“Jangan bikin aku enggak kuat, Mas,” desahku. “Setidaknya untuk beberapa jam.” Mas Yudha tertawa sebelum kembali membawaku menikmati musik.

Aku membalik badan dan  melingkarkan lengan di lehernya. Mendekatkan diri dan menggosok pelan bagian bawah tubuhnya yang terasa mengeras. “Nakal!” kata Mas Yudha menyentil keningku. “Pulang aja, deh,” rajuknya mengubur wajah di leherku. Ciuman dan gigitan kecil yang saat ini membuatku menggelinjang tak memundurkan langkah. “Kita bisa diusir dari sini, Yang,” kata Mas Yudha menarik kepalaku dan menciumku singkat.

Sambil tertawa aku kembali membalik badan dan menyandar di tubuhnya. Memandang sekeliling. Mengamati wajah-wajah dengan tawa di wajah mereka. Bercanda dan berteriak bersama, menikmati malam.

“Sayang, ada temenku.” Mas Yudha menunjuk lantai bawah sedikit tersembunyi dari pandanganku. “Ikut bentar, yuk. Aku kenalin.”

Aku tak pernah menyukai berkenalan dengan orang baru. Terlebih lagi perempuan, karena dari pengalaman selama ini, aku selalu berakhir cemburu. Meskipun cemburu itu membawa kenikmatan bagiku dan Mas Yudha. Aku tak bisa menolak ketika genggaman tangannya membawa langkah kami berdua ke bawah. Tubuh yang saling berdempetan  membuatku mencengkeram lengan Mas Yudha, tak ingin terlepas darinya.

“Hai,” sapa Mas Yudha pada beberapa orang yang belum pernah kutemui. Aku mengedarkan pandangan mencoba menggali ingatan, tapi tak satu pun wajah membuatku teringat. “Kenalin, nyonya.” Suara Mas Yudha menyentakkan lamunanku.

Aku bukan orang yang mudah mengingat wajah dan nama. Terlebih lagi di suasana temaram dengan minim pencahayaan seperti saat ini. Dengan sambil lalu aku menerima uluran tangan mereka dan menyebutkan nama. Walaupun aku tahu, tak lama kemudian, ingatan tentang nama mereka akan segera terhapus dari memoriku.

Beberapa lama aku duduk di sana dan sesekali tersenyum menanggapi candaan Mas Yudha dan temannya. Lengannya tak lepas dari pinggangku, membuatku dengan manja menyandar di tubuhnya. Bahkan seperti koala, aku melingkarkan lengan di pinggang Mas Yudha. Sesekali ia mencium puncak kepalaku sebelum kembali memusatkan perhatian pada temannya.

Aku mencoba mengikuti pembicaraan mereka. Pandanganku terpaku pada Mas Yudha yang terlihat berbeda setiap kali membicarakan pekerjaan. Binar di mata yang terlihat jelas menandakan sesuatu itu menarik baginya, dan aku menikmati memperhatikan suamiku. Hingga tiba-tiba aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku. Kucoba mengedarkan pandangan tapi perasaan itu hilang secepat ketika datang. Rasa cemburu pun memenuhi hatiku saat ini. Membuatku mengeratkan pelukan, dan Mas Yudha menyadari perubahanku.
Jarinya menarik daguku hingga pandangan kami berdua bertemu. “Mau balik sekarang?” tanyanya.

Aku melirik jam di tangan, “Sejam lagi. Mas udah selesai ngobrolnya?”
“Mau balik ke atas?” tanya Mas Yudha yang mengenalku. Ia tahu aku tak bisa ngobrol terlalu lama dengan orang yang belum kukenal. Ia pun tahu saat ini ada kabut gairah di mataku. Mas Yudha menunduk dan menciumku lama, di depan semua orang. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya selama ini. Aku masih belum sepenuhnya pulih dari keterkejutanku ketika Mas Yudha membawaku ke atas. Melewati puluhan tubuh yang bergoyang mengikuti musik.

Kembali berdua, jauh dari keramaian, dan aku memilih duduk di atas pangkuan Mas Yudha. Menyembunyikan wajah di ceruk lehernya. Mencium aroma tubuhnya. Mencium rahangnya ketika merasakan tangannya membelai pahaku. Rok diatas lutut yang menjadi  pilihanku malam ini menawarkan kemudahan baginya untuk membelaiku.

“Kamu udah basah,” bisik Mas Yudha. “Cemburu lagi?” tanyanya. Tarikan napasku tajam ketika dua jarinya memasukiku menjawab pertanyaannya. “Aku punyamu. Hanya kamu! Jangan pernah lupa itu!” geramnya tanpa menoleh ke arahku.

“Mas,” erangku yang semakin  melesakkan kepala ke lehernya. “Kamu.” Aku tak bisa berkata-kata ketika Mas Yudha menambah satu jarinya memasuki tubuhku.

“Kamu harus tahu, yang cemburu bukan hanya kamu, Yang.” Aku memundurkan kepala dan melihat wajah geram Mas yudha. “Karena mereka enggak bisa berhenti ngelirik kamu sepanjang waktu. Aku tahu arah pandang mereka, dan aku cemburu!” kata Mas Yudha di depan bibirku.

“Jangan bergerak!” perintah Mas Yudha saat tanganku hendak menarik kepalanya. “Eyes on me, aku pengen lihat matamu saat gelombang puas itu menyapu. Membuatmu melayang tinggi. Aku berharap saat ini orang lain bisa melihat wajah cantikmu saat jariku memuaskanmu. Mengklaim tubuhmu.”

Suara Mas Yudha semakin membuatku terangsang. “Milikku! Ini hanya milikku,” katanya menekan lebih dalam.

“Punyamu, Mas. Hanya punya kamu,” kataku sebelum menahan teriakan ketika jari Mas Yudha membawaku melayang tinggi. Menjemput nikmat yang membuatku tercekat.

Entah berapa lama badanku bergetar menikmati rasa itu hingga aku merasakan Mas Yudha menarik jari dan membawanya mendekat. Menghirup dalam jari dan memasukkan ke dalam mulutnya. “Kenikmatan yang enggak bisa tergantikan,” ucapnya membuatku kembali basah.

“Pulang,” kataku lemas. “Sekarang!”

***

Jam di dinding menunjukkan angka sepuluh ketika aku keluar kamar. Menyiapkan sarapan dan menatanya di breakfast nook yang berada di samping jendela menghadap ke halaman depan. Potongan buah, french toast dan juga kopi tertata rapi ketika aku merasakan lingkaran tangan Mas Yudha.

“Pagi, Sayang,” katanya dengan suara serak sebelum memutar tubuhku.

Memagut bibirku hingga terasa membengkak sebelum melepasnya. “Sarapan terbaik,” ucapnya sambil mengusap lembut bibirku. “Aku laper! Semalam ada yang ngabisin tenagaku sampai pagi,” sindirnya sebelum memasukan potongan buah ke dalam mulutnya.

“Kok aku?!” protesku. Meski saat ini aku tak menyembunyikan senyum di bibir. “Aku kan enggak ngapa-ngapain, sih, Mas.”

Mas Yudha memutar mata dan  menunjuk wajahku dengan garpu di tangan.

“Siapa yang keliling rumah cuma pakai tank top kecil pendek, enggak pake bra?! Siapa yang pamer pantat, cuma pake panty keliling rumah? Siapa?!”

Kumajukan wajah dan menggigit buah di ujung garpunya. “Salah sendiri siapa suruh cuma pakai boxer doang,” jawabku tak mau tahu. “Lagian percuma aku pakai baju lengkap, enggak lama juga kamu buka, kan, Mas. Ini namanya efisiensi waktu!”

Selama Mas Yudha libur, kami berdua seolah saling menggoda. Menggunakan baju yang memprovokasi. Melempar candaan berbau seks. Bahkan saling merangsang dengan belaian dan sentuhan yang terkesan tidak sengaja. Meski  kami berdua mengetahui itu semua disengaja.

“Sayang,” panggil Mas Yudha yang kujawab dengan deheman sambil menatap pergerakan pasar pagi itu. “Kamu masih inget temenku yang pakai baju putih kemarin?” Kuangkat kepala dari tablet dan mencoba untuk mengingat siapa yang dimaksud.

“Sepertinya ingat,” jawabku teringat pria bertubuh tinggi dengan kacamata. “Itu temenmu yang Mas bilang beberapa kali bilang ngelirik aku itu? Kenapa emang?”

Mas Yudha mengangguk dengan wajah  masam. “Masih inget perempuan yang dia peluk dan cium kemarin?” Aku mengangguk sambil lalu sebelum kembali memandang tablet dan meraih teh hangatku.

“Itu bukan istrinya, tapi partnernya.” Aku menyebur teh hangat yang beberapa detik lalu meluncur di tenggorokanku. Hidungku memanas merasakan air yang kembali keluar lewat hidung. Batukku pun tak kunjung mereda hingga Mas Yudha menepuk pelan punggungku.

“Maksud Mas apa?” tanyaku setelah berhasil meredakan batuk.

“Selingkuhannya maksud, Mas?”

Mas Yudha menggeleng saat kembali duduk di depanku. “Bukan, Yang,” ucapnya. “Namanya Andre. Kamu pasti lupa itu, kan.” Aku hanya mengedikkan pundak. “Nah, Andre sama istrinya itu punya hubungan yang terbuka. Open marriage gitulah”

Cangkir minumku berhenti di udara untuk beberapa saat. Kuletakkan kembali dan memandang Mas Yudha dengan pertanyaan di kepala. “Mereka punya Open marriage.” Aku masih terdiam tak percaya dan tak tahu apa yang harus kuucapkan. “Jadi Andre sama istrinya itu punya partner gitu. Ya, bukan selingkuh, sih. Karena masing-masing tahu.”

“Partner? seks partner gitu?” tanyaku. Ada sesuatu dari wajah Mas Yudha yang tak bisa kumengerti. “”Pacaran gitu?”


“Cuma untuk seks, Yang. Enggak melibatkan perasaan. Enggak pakai hati.” Aku tak bisa mengerti dengan apa yang Mas Yudha ceritakan. Bagiku, seks itu sakral dan hanya dilakukan dengan orang yang kita cintai. Selama ini, sebelum menikah dengannya pun, aku tak pernah melakukan dengan orang asing.

Berbeda dengan teman-temanku yang terkadang melakukannya hanya untuk memenuhi kebutuhan.

“Itu semacam untuk mengeksplor seks sama orang lain, variasi, lah.”

Hilang sudah keinginanku untuk mengecek perdagangan. Aku bersyukur belum mengambil langkah apa pun karena saat ini pikiranku mendadak kosong.

“Tunggu,” ucapku mengulurkan tanga. “Jadi maksud Mas, Andre itu tidur sama perempuan kemarin itu atas sepengetahuan istrinya?” Mas Yudha mengangguk.

“Dan istrinya melakukan hal yang sama?” Anggukan kembali membuat mataku membelalak. “Dan keduanya tetap berumah tangga seperti biasanya?”

Mas Yudha mendorong cangkir teh yang kuabaikan setelah mendengar ceritanya. “Sama sarapan!” perintahnya. “Menurut Andre, rumah tangga mereka jadi makin harmonis. Dia bilang seks mereka jadi lebih hot ketimbang sebelum sepakat untuk membuka hubungan mereka. Dia juga bilang kalau jadi makin cinta sama istrinya.”

“Gimana jadi makin cinta kalau pasangan kita tidur sama orang lain?” tanyaku tak mengerti dengan jalan pikiran mereka yang bisa melakukan itu. “Aku enggak ngerti.”

Kutelan teh yang sudah mendingin. Mencoba untuk mengerti apa yang Mas Yudha ceritakan. Aku tak bisa mengerti bagaimana bercinta dengan orang lain akan membawa kebahagiaan dalam rumah tangga. Bagaimana bisa berhubungan dengan orang lain membuat cinta di antara pasangan jadi lebih kuat.

Aku tak bisa membayangkan berada di posisi sang istri, karena mendapati perempuan lain melirik Mas Yudha membuat marah naik ke ubun-ubun. Entah apa yang terjadi jika mengetahui Mas Yudha melakukannya dengan orang lain.

“Menurutmu … kita perlu, enggak?”

Aku usahakan untuk update setiap hari sama nunggu tanggal open PO. Tapi untuk teman-teman yang enggak sabar nunggu versi cetak, bisa dolan ke KK. Di sana udah tamat.
Nah ... udah tahu, apa yang Mas Yudha mau, 'kan.

Jangan cari Mas Arka dulu, karena kita masih masuk sesi kenalan sama Mas Yudha

Happy reading guys
Love, ya!
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top