Bab 2

Bab 2
Heart to Heart
Nina


Bekerja untuk diri sendiri membuatku leluasa dalam mengatur jam kerja. Seperti saat ini. Ketika matahari sudah di atas kepala, aku masih bergelung bersama Mas Yudha di atas ranjang. Dalam keadaan telanjang. Meski beberapa kali perutnya berbunyi, tapi lengannya tak kunjung lepas dari pinggangku. Bahkan saat ini, jarinya kembali membuat sulur abstrak di pinggang hingga turun ke belakang, membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak mendesah nikmat.

“Mas,” ucapku dengan suara tertahan. “Kamu harus makan. Kita harus makan dulu,” koreksiku, karena saat ini perutku terasa kosong. “Kamu harus recharge tenaga, kan,” godaku.

Jari yang masih tak berhenti menggodaku kini semakin berani.  Melenakanku. Membuatku lupa dengan perut kosongku, dan Mas Yudha pun mengetahui itu. Ia memutar tubuhku dan kini berada tepat di bawah kungkungannya.

“Aku mau kamu, tapi.” Mas Yudha terdiam dengan bibir cemberut ketika mendengar suara perutku. “Tapi sepertinya harus di-pending, aku enggak mau istriku lemas karena belum makan. Dan kamu butuh banyak tenaga untuk apa yang ada di kepalaku saat ini.”

Kuabaikan suara perutku dan melingkarkan lengan di leher Mas Yudha dan melumat bibirnya. “Aku enggak tahu apa yang ada di kepalamu saat ini, Mas. Tapi satu hal yang kutahu, aku enggak bakalan nolak.” Kucium bibir Mas Yudha sekali lagi. “Makan, yuk,” ajakku.

Aku masih telentang di atas ranjang, menopang tubuh dengan siku ketika Mas Yudha menarik tubuhnya. Entah sudah berapa ratus kali aku sudah melihat tubuhnya. Namun, napasku selalu tercekat setiap kali Mas Yudha di depanku tanpa sehelai benang di tubuhnya.

“Katanya mau makan,” katanya melirikku yang masih enggan mengalihkan pandangan dari tubuhnya.

“Aku bingung,” ucapku. “Enakkan makan nasi atau makan kamu, ya, Mas?”

Mas Yudha tertawa dan melempar kemeja biru miliknya. “Makan nasi dulu, abis itu … aku mau makan kamu.”

Aku bukan perempuan suci saat pertama kali berkenalan dengan Mas Yudha. Entah sudah berapa kali mendengar kekasihku mengatakan itu sebelumnya. Namun, hanya Mas yudha yang membuat pipiku merona mendengar hal itu. Hingga saat ini.

“Aku masak makanan kesukaanmu,” kataku menunduk mencoba menutup kemeja yang kehilangan kancing, seperti punyaku. “Ini kenapa kancingnya banyak yang hilang, sih!” protesku saat hanya menemukan tiga kancing terbawah yang masih menempel.

“Siapa tadi yang cemburu sampai enggak sabar nunggu sampai rumah?” ejek Mas Yudha dari ambang pintu. “Siapa yang narik kemeja sampai kancing berhamburan di mobil?”

“Kamu, lah!” jawabku mencium bibirnya sekilas sebelum melewatinya dan berjalan menuju dapur yang menjadi satu dengan ruang tengah.

Meninggalkan Mas Yudha yang tertawa puas mendapati rasa cemburuku yang menggebu-gebu.

“Jangan protes!” teriakku ketika mendengar tawa yang tak kunjung reda.

“Siapa yang protes, sih, Yang,” jawabnya. “Aku enggak komplain, kok. Aku suka kalau kamu cemburu.” Seperti pengantin baru yang tak bisa melepaskan tangannya. Kini Mas Yudha kembali melingkarkan tangan di pinggangku dan turun ke pantat saat aku menunduk di depan lemari es.

Tamparan di bagian belakang tubuh membuatku terdiam. Rasa pedih yang berubah menjadi nikmat membuatku lupa apa yang harus kukerjakan.

“Kok diem,” bisik Mas Yudha yang menunduk di belakangku. “Bukannya mau siapin makan siang untuk suamimu!”

“Gimana mau siapin makan kalau suamiku usil dan enggak bisa ngelepas tangan dari tubuhku,” ucapku tanpa malu menggosok bagian belakang tubuhku dan bertemu dengan dirinya yang sudah mengeras. “Ini juga nakal, kenapa udah keras aja, coba.” Tawa Mas Yudha membuatku melupakan tujanku membuka lemari es.

Kami berdua benar-benar tak mengenal waktu istirahat. Karena sebelum aku sempat menarik napas, Mas Yudha membalik tubuhku. “Salah sendiri enggak pakai celana!” geramnya sebelum melumat bibirku. Mencecap bibir yang masih membengkak karena ciumannya. “Gimana aku bisa diam aja kalau ini,” katanya mengusap pantatku. “Ini ada di depan mata. Menggodaku. Menarikku untuk mendekat.”

“Mas,” desahku saat dia mengangkat tubuhku hingga duduk di atas meja dapur luas berlapis marmer. “Aku mau ….” Aku tak bisa menyelesaikan protes ketika Mas Yudha menunduk tepat di depan kewanitaanku. Menyapu lidahnya dengan pelan, seolah tak ada apa pun yang memburunya. Menggodaku dengan jarinya. Membuatku melayang dan melupakan rasa lapar. Terganti dengan rasa lapar yang berbeda. Rasa yang hanya bisa terpenuhi oleh Mas Yudha.

Teriakanku bersamaan dengan geraman panjang Mas Yudha ketika ia kembali memenuhi diriku. Kami berdua seperti tak mengenal waktu, karena kembali bergumul meski perut dalam keadaan kosong. Napas pendek kami berdua beriringan mengisi kesunyian. Senyum di bibir  menghiasi wajahku dan dia masih enggan menarik dirinya.

“Kamu benar-benar bikin aku enggak bisa jalan kalau gini terus, Mas,” ucapku setelah berhasil menemukan suaraku kembali.

“That’s the point, Yang.” Kami berdua kembali mengerang ketika ia memundurkan badan. “Sekarang, aku bantu kamu siapin masakan,” katanya dengan tenang.

Aku masih  terengah-engah. Telentang di atas counter top yang terasa dingin di kulitku, membutuhkan waktu beberapa saat untuk menguasai diri.

“Mas, bantu aku,” pintaku mengulurkan tangan. “Keluarin kotak yang berwarna biru!” perintahku sebelum turun dan merasakan kakiku seperti jelly, tak bertenaga.

***

Berbeda dengan rumah pada umumnya yang memiliki pintu masuk tepat di depan. Pintu utama rumah kami menghadap ke samping, berhadapan dengan tembok tinggi  yang dipenuhi dengan tanaman flexi atau climbing dollar. Tanaman rambat berdaun kecil yang membuat tembok terlihat lebih cantik. Pohon Flamboyan berbunga merah yang berada tepat di ujung carport menaungi halaman depan dan samping yang tersembunyi.

Dipenuhi dengan banyak tanaman anggrek, halaman samping menjadi tempat favoritku menghabiskan waktu. Seperti saat ini, bergelung dalam pelukan Mas Yudha setelah mengisi perut. Di bawah naungan dahan Flamboyan membuat udara menjadi sejuk. Tempat terbuka yang terlindung dari mata tetangga membuatku tak pernah ragu berada di sini, meski hanya menggunakan baju terbuka seperti saat ini.

“Pak Yanto masih kamu suruh bersih-bersih halaman, kan, Yang?” tanya Mas Yudha yang semenjak kepindahan kami berdua ke sini lima tahun lalu, meminta salah satu satpam komplek menjadi tukang kebun di waktu liburnya.

“Masih,” jawabku malas. Mataku berat menikmati belaian lembut Mas Yudha. “Mana kuat aku motong rumput di halaman segede itu, Mas.”

Berbeda dengan halaman samping yang menjadi tanggung jawabku. Sisa halaman yang dipenuhi dengan rumput hijau terpotong rapi membutuhkan kesabaran dan kekuatan untuk merapikan. Aku tak akan sanggup melakukannya. Meski hanya ada beberapa pohon besar di halaman, tapi aku tak memiliki kekuatan untuk membersihkannya.

“Yang,” kata Mas Yudha. “Kamu beneran enggak mau balik kerja kantoran?” tanyanya dengan nada serius membuatku terkejut.

Mendengar pertanyaan itu, aku menegakkan punggung dan berpindah ke atas pangkuannya. Mas Yudha yang hanya menggunakan boxer hampir membuatku lupa dengan pertanyaan di kepalaku.

“Ini udah beberapa kali Mas tanya begitu. Kenapa?” tanyaku. Keningku mengernyit mengingat ini bukan kali pertama Mas Yudha bertanya akan hal itu.

“Aku enggak mau kamu bosen, Yang,” katanya sambil mengusap paha telanjangku.

“Mas,” kataku sambil menumpu di dada bidangnya. “Aku udah hampir delapan tahun, enggak kerja kantoran. Selama itu aku juga enggak nganggur, aku menyukai pekerjaanku sekarang. Aku bisa ngatur kapan mau kerja. Aku bisa berhenti saat merasa sudah cukup. Aku bisa ngerjakannya di mana saja. Iya, kan?” Mas Yudha terdiam. Matanya terlihat menyimpan banyak hal yang tidak bisa kutebak.

Di tahun ketiga pernikahan kami berdua, aku memutuskan untuk berhenti bekerja di kantor konsultan pajak tempatku bekerja semenjak lulus kuliah. Meski beberapa orang menyayangkan hal itu, tapi aku tak menyesalinya. Hingga saat ini, melihat sesuatu yang sulit untuk kujelaskan di wajah Mas Yudha.

“Jawab jujur, Mas,” pintaku. “Mas pengen aku kerja lagi karena kondisi keungan kita?” tanyaku penasaran. Aku tak pernah tahu kami berdua memiliki masalah keungan. Hingga saat ini—aku yang mengatur keungan rumah tangga—tak melihat ada masalah di sana. “Mas pengen aku bantu-bantu keuangan rumah?”

Mas Yudha menggeleng. Dia mengangkat tubuhnya meski saat ini aku menolak turun dari atas perutnya. Dia bersandar dan menarik tubuhku mendekat.

“Kita enggak ada masalah keuangan, Sayang,” jawabnya membuatku bernapas lega. “Aku enggak mau kamu bosan karena lebih banyak di rumah. Di depan komputer atau semua bacaanmu itu.”

Mendengar kekuatiran yang tak beralasan tersebut, hatiku meleleh. Membuatku semakin mencintainya. “Atau Mas kuatir karena kita enggak punya an—”

“Hey, kita sudah melewati masa itu!” selanya. “Hingga detik ini, aku enggak pernah menyesali keputusanku untuk menikahimu.” Tidak adanya anak di antara kami berdua sempat membuatku merasa rendah diri di depan semua keluarga. Termasuk keluargaku. Namun, seiring berjalannya waktu, Mas Yudha membuatku merasa legowo meski Tuhan tidak menakdirkan anak di kehidupan kami berdua.

“Aku bahagia meski hanya berdua denganmu hingga garis akhir. You and me, together, till the end. Ingat itu?” tanya Mas Yudha mengingatkan akan sumpah kami berdua sebelum memutuskan untuk menikah.

“Mas tahu aku mutusin untuk berhenti kerja karena pengen selalu sama kamu setiap kali kamu ada di sini, kan?” Mas Yudha mengangguk paham.

“Aku enggak mau ninggalin kamu untuk kerja.” Selama dua tahun setelah menikah, aku selalu merasa tersiksa berangkat ke kantor setiap kali Mas Yudha ada di rumah. Pikiranku tertinggal di rumah, membuatku tak bisa konsentrasi dengan pekerjaan. Terlebih lagi ketika aku tak kunjung hamil, saat itulah keputusan untuk resign seolah menjadi pilihan yang tepat.

“Lagian, kerjaanku selama ini baik-baik aja.” Semenjak dulu, aku tertarik untuk menggeluti dunia perdagangan mata uang atau saham. Aku mempelajarinya, tapi belum memiliki keberanian untuk memulai. Hingga memutuskan untuk berhenti bekerja aku memberanikan diri untuk terjun ke dunia trading. Dunia yang menawarkan keleluasaan waktu bagiku.

Mas Yudha menarikku mendekat, menyapu bibirku dengan ciuman lembutnya. Menghapus kekuatiran yang muncul di kepalaku. Menggantinya dengan erangan dan rintihan ketika jarinya membuatku tak bisa bernapas dengan benar.

Lanjuuuuuut
Happy reading guys
Yang udah penasaran, enggak sabar nunggu publish, bisa lanjut ke Karyakarsa. Di sana udah tamat mat mat.

Thanks
Love, ya!
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top