Bab 16
Bab 16 Fear of losing you Nina
Aku menatap layar komputer dengan pikiran melayang. Tak ada satu pun berita yang masuk dalam kepalaku saat ini. Chart yang selama ini selalu berhasil mengalihkan pikiranku, kini tak terlihat menarik. Bahkan tak ada satu pun yang mampu menggerakkan hatiku. Aku merasa bukan diriku sendiri saat ini, terlebih lagi ketika melihat Mas Yudha.
Pria yang selama ini menjadi pengalih perhatian, justru menjadi alasanku untuk menghindar. Malam-malam yang selalu kuhabiskan bersamanya setiap kali Mas Yudha ada di rumah pun tak membuatku bergegas. Aku memperpanjang waktu, memberiku peluang untuk mempersiapkan diri. Menghindar sejauh yang kubisa. Namun, aku tahu itu tak mungkin.
"Aku tahu yang kamu lakukan," kata Mas Yudha membuatku menegakkan punggung. Ia menyandar di kusen pintu dengan tangan terlipat. Terlihat tampan seperti biasanya. Aku tak bisa berpaling darinya. "Kamu menghindariku. Sejak makan malam, kamu hanya memandangku beberapa kali, Yang!"
Aku mengusap kasar wajah, menghapus semua keresahan yang tergambar di sana, dan tersenyum lemah. Aku tahu saat ini, ada banyak hal yang harus kami berdua bicarakan. Namun, aku tak kuasa untuk memulainya. Menundanya pun tak membuat ide Mas Yudha menghilang, tapi aku tetap berharap ia tak memintaku untuk menyetujui hal itu.
"Aku enggak tahu bisa atau enggak ngelakuin itu, Mas," ucapku saat Mas Yudha menghampiriku. Aku melingkarkan lengan di pinggangnya dan mendongakan kepala. Pandangan kami bersirobok dan ada keteguhan di mata yang kini membuat perutku bergejolak.
"Mas beneran pengen lakuin itu?" tanyaku dengan suara serak menahan tangis. Saat dengan lembut tangannya mengusap wajahku, menunduk, dan mencium keningku. Rasa takut membuat perutku semakin bergejolak.
Tanpa menjawab pertanyaanku, Mas Yudha menarikku berdiri. Bersama, kami berjalan menuju kamar dan naik ke atas ranjang. Berbeda dengan kebiasaanku selama ini, aku memilih duduk di samping, bukan di atas pangkuannya.
"Sini, Yang!" perintah Mas Yudha menepuk pahanya.
Aku menggeleng tak yakin duduk di pangkuannya akan membuat kecemasanku berkurang. Namun, Mas Yudha yang tak suka ketika aku tak menuruti perintah, mengangkat tubuhku dan meletakkan di atas pangkuannya.
"Aku enggak mau berjarak denganmu!" ucapnya dengan menggeram.
Cemas, gugup, dan takut seolah mendominasi hatiku. Aku merasa malam ini akan menjadi malam yang panjang, bukan karena aku menghabiskan waktu dengan meneriakkan namanya. Namun, semua karena ide Mas Yudha untuk menambah bumbu dalam pernikahan kami berdua.
"Ada banyak hal yang harus kita bicarakan, Yang." Kalimat pembuka Mas Yudha membuat perutku semakin bergejolak. "Aku tahu ada banyak pertanyaan di kepalamu, tapi entah kenapa kamu memilih untuk menyimpannya. Enggak seperti biasanya." Tangannya kembali mengusap lembut wajahku. "Padahal aku berharap kita bakalan ngebahas itu."
"Kenapa?" tanyaku memutuskan untuk mananyakan. "Kenapa tiba-tiba pengen sesuatu yang ...." Aku melambaikan tangan tak bisa menemukan kata untuk menggambarkan apa yang ada di kepalaku. "Kenapa kamu bisa sesantai itu memintaku untuk menyerahkan tubuhku pada pria lain? Membelaiku seperti yang biasa kamu lakukan. Atau menciumku selembut dirimu. Aku enggak ngerti, Mas."
Sepuluh tahun pernikahan, kami berdua sudah melewati banyak hal. Pertengkaran. Kesepian yang mewarnai setiap kali ia pergi bekerja. Tawa dan canda saat kami berdua bertemu. Sedih setiap kali kami mendapat pertanyaan kapan punya anak. Itu semua membuatku puas menjalani hari. Namun, aku tak pernah merasa membutuhkan bumbu untuk lebih mewarnai rumah tangga kami berdua.
"Kamu percaya sama aku?" Kutautkan alis mata mendengar pertanyaan tidak masuk akal Mas Yudha. "Yang, kamu percaya sama aku, kan?!"
"Ya, iyalah! Kenapa harus tanya, sih!" jawabku mendadak merasa harus melindungi diri.
Mas Yudha menangkup pipiku. Mencium keningku lama. Saat bibirnya turun ke pipi dan berakhir di bibir, aku tak bisa berpikir, kecuali membalas ciumannya. Pagutannya terasa lembut dan pelan, penuh dengan emosi yang membuatku tak bisa berpikir.
"Satu-satunya yang kuinginkan dalam hidup ini adalah, melihatmu bahagia. Bisa merasakan semuanya. Mendapatkan semua yang kamu inginkan."
Pernahkah kamu merasa berada di tepian? Seakan gerakan sedikit saja, bisa membawamu masuk dalam jurang. Satu-satunya penyelamat adalah sepasang tangan yang mengenggammu erat. Saat ini, itulah yang kurasakan ketika mendengar suara lembut Mas Yudha. Namun, di dalam hati aku ragu, apakah itu cukup untuk menahanku.
"Mas," ucapku mengeratkan pelukanku. "Aku bahagia. Aku mendapatkan semua yang kuinginkan saat ini. Selama sepuluh tahun kita menikah, aku enggak pernah merasa kurang. Kamu mencukupi semua yang kubutuhkan." Aku tahu ia bisa merasakan kecemasanku.
Lengan kokoh Mas Yudha mengerat, memeluk pinggangku. "Setiap kali aku pergi ninggalin kamu di bandara, ada perasaan bersalah yang bersarang di hati." Aku menggeleng tanpa mengendurkan lilitan tanganku. "Meninggalkanmu sendiri selama bermingu-minggu dan itu terjadi sejak kita menikah, terkadang membuatku merasa gagal menjadi suami."
"Mas," rengekku. "Kamu enggak gagal!" kataku meyakinkannya. Aku ingin meyakinkannya, tapi suaranya menghentikanku.
"Aku merasa menyia-nyiakanmu." Tangan Mas Yudha menyusup ke balik baju dan mengusap pungunggungku. "Membiarkanmu menghadapi semuanya sendiri, dan aku berada ratusan kilometer darimu. Aku sayang kamu, Feb. Hanya kamu. Tapi terkadang aku merasa enggak cukup bagimu."
Sekian menit, tak ada satu pun di antara kami berdua yang bergerak. Tangan yang beberapa saat lalu mengusap pelan punggungku pun kini melingkar di pinggangku. Tak ada kata yang meluncur dari bibir kami berdua.
Rasa bersalah yang tak pernah kuketahuai membuat kecemasanku bertambah besar. Aku tak pernah mengetahui ia merasa gagal menjadi suami. Selama ini, aku lah yang merasa gagal menjadi istri. Tidak adanya anak melengkapi kehidupan kami berdua, menjadi kekurangan terbesarku.
Mas Yudha bukan suami yang menolak untuk mengatakan tentang perasaannya. Bahkan, kami berdua selalu terbuka untuk segala hal. Tidak ada yang tak kuketahui tentangnya, begitu juga sebaliknya. Namun, ia tak pernah mengatakan tentang rasa bersalahnya.
"Aku takut," akuku dengan jujur beberapa saat kemudian. "Aku takut kalau melakukan ide itu, akan menghancurkan apa yang selama sepuluh tahun kita bangun bersama." Tarikan napas Mas Yudha terasa jelas di telingaku. "Aku takut jika keberadaan orang asing itu akan mengganti posisiku di hatimu, begitu juga sebaliknya. Aku takut kalau kita berubah. Aku takut kamu akan berhenti mencintaiku. Aku takut kehilangan arah. Semua hal membuatku takut, Mas."
Saat Mas Yudha mengendurkan pelukannya, aku merasa kehilangan. Walaupun ketika kening kami berdua bertemu, aku tetap merasa ada jarak yang terbentang. "Sama kamu, aku merasa bahagia. Sama kamu aku menikmati hidup. Enggak bisakah kamu melihat itu, Mas?"
"Meski harus nunggu berminggu-minggu untuk ketemu?" Aku mengangguk pasti. "Meski kini kesibukanku bertambah dan memotong jatah liburku?" Aku kembali mengangguk tanpa ragu. "Tapi, aku yang enggak mau kamu menunggu, Yang. Aku enggak mau kamu ngabisin waktu menungguku hanya di depan komputer dan membaca novel-novelmu. Aku pengen kamu menikmati hidup!"
Kuberanikan diri menatap wajahnya. "Kalau kita memiliki anak, apakah kamu masih merasa bersalah, Mas?" tanyaku menahan dadanya ketika wajahnya berubah marah. "Aku ngerti ... Mas selalu bilang itu bukan masalah. Tapi, mau enggak mau, aku jadi berpikir." Aku masih menahan dadanya, ketika Mas Yudha membuka bibirnya. "Aku enggak bisa kasih kamu anak. Dan itu membuatku selalu merasa bersalah. Aku tahu ada kerinduan itu di dirimu."
Aku menahan air mata yang mengancam membasahi pipi. Setiap kali membicarakan tentang anak, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Seperti membuka luka yang tak kunjung mengering.
"Aku memintamu untuk mempertimbangkan hal itu bukan karena kita tidak memiliki anak. Juga bukan karena aku merasa kurang!" ucapnya tegas. "Semua karena aku ingin membahagiakanmu. Mungkin ini semua tidak masuk akal bagimu, tapi lihat dari sisiku. Rasa bersalahku padamu, itu enggak main-main."
Kuembuskan napas panjang, mengalah. "Aku enggak tahu apakah bisa melakukannya. Membayangkan tubuhku disentuh orang lain, terasa mengerikan. Membayangkan ada perempuan lain menyentuhmu, itu membuatku murka."
Mas Yudha terkekeh. Aku tahu saat ini dia mengingat setiap kali cemburu mengaburkan akal sehatku, karena aku berubah menjadi sosok yang berbeda.
"Aku suka kamu cemburu," godanya menarik pundakku. "Aku suka kamu yang berubah liar dan terasa lebih hidup."
"Liar katamu?" ucapku merasa malu karena rasa cemburu mengubahku.
"Salah satu alasan kenapa aku ingin kamu mempertimbangkan itu. Bayangkan tentang hukuman yang akan kuberikan. Atau kebuasan dan keganasanmu ketika kita bertemu. Aku pengen itu, Yang." Mata berbinar Mas Yudha membuatku semakin cemas. "Aku mau kamu menghabiskan waktu dengan pria itu, dan melampiaskan rasa cemburumu padaku."
Bertemu dan menghabiskan waktu dengan lelaki lain, membuatku takut. Terlebih lagi berhubungan badan dengan lelaki selain Mas Yudha. Itu akan menghancurkan semua yang kupegang teguh selama ini.
"Aku enggak mau mengkhianatimu, Mas. Itu sama saja aku selingkuh."
"Kamu enggak melakukan itu, Yang!" katanya tegas. "Aku yang memintamu, kamu enggak selingkuh. Terlalu berlebihan kah kalau aku ingin kamu menikmati hidup, saat aku enggak di sini bersamamu."
Mas Yudha menyelipkan rambut di belakang telingaku. Membelai pipiku dengan jarinya. "Aku boleh tanya sesuatu, kan?" Aku mengangguk patuh. "Yang membuatmu keberatan adalah membayangkan aku melakukan sama perempuan lain. Atau kamu takut menikmati waktumu bersama lelaki lain?"
Aku menunduk menghindari mata Mas Yudha, bukan karena takut dia bisa melihat sesuatu. Namun, aku takut mengecewakan dengan jawaban yang tidak sesuai dengan harapannya.
"Semuanya," jawabku jujur setelah terdiam beberapa saat. "Mas tahu aku cemburu, ngelihat perempuan ngecek kamu aja, aku udah gila. Apalagi tahu kalau kamu ngabisin waktu sama orang lain. Aku bisa gila, Mas!"
"Aku juga," ucap Mas Yudha yang terasa kontradiksi dengan keinginannya.
"Aku juga takut kalau menikmati waktuku dengan laki-laki itu," ucapku mengingat waktu yang kuhabiskan bersama Arka. "Aku merasa kalau kita seperti sengaja menghancurkan rumah tangga kita."
Mas Yudha menahan belakang kepalaku. "Kita enggak menghancurkan rumah tangga kita. Aku percaya padamu, dan yakin kamu enggak akan berpaling dariku. Begitu juga sebaliknya. Karena you and me, together, till the end."
Seketika bayang kehilangan Mas Yudha membuat tubuhku melemas. Tak ingin berkubang dengan bayangan, aku mencium bibirnya keras. Melesakkan lidah ke dalam mulutnya. Aku tak ingin menghabiskan waktu dengan berbicara dan berandai-andai, karena itu membuat suasana hatiku kacau. Saat ini, yang kuinginkan adalah menyentuhnya. Membelai kulitnya. Menghujaninya dengan ciuman. Aku ingin dia memenuhi tubuhku. Membuatku membusungkan dada saat Mas Yudha mengulumku. Aku ingin meneriakkan namanya ketika gelombang kepuasan menerpaku bertubi-tubi.
"Sentuh aku, Mas," pintaku dengan napas terengah. "Aku pengen bisa merasakanmu." Gerakan tanganku tak beraturan, tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin merasakannya. Pria yang saat ini membuatku merasa takut kehilangan.
Aku menjerit ketika Mas Yudha menarik salah satu kakiku ke atas saat tubuhnya menghujamku. Memenuhiku. Mengaburkan pikiranku ketika mendengar napas kasarnya tepat di ceruk leherku.
"Jangan lepaskan aku!" pintaku. "Jangan pernah berhenti mencintaiku."
"Enggak!" jawab Mas Yudha mengeraskan gerakan pinggulnya. "Aku enggak akan melepaskanmu. Aku enggak akan berhenti mencintaimu." Aku menjerit saat jarinya dengan lihai membelai inti tubuhku. "Kamu milikku, selamanya!" geramnya disusul dengan hentakan keras membuatku tak bisa bernapas.
"Milikku!" ucapnya tepat di depan bibirku.
Gelombang nikmat membuatku menjerit memanggil namanya berkali-kali. Peluh membasahi tubuh, tapi tak ada satu pun yang bergerak melepaskan diri.
"Kamu luar biasa, Yang," ucapnya. "Thank you." Aku mengeratkan tanganku dan menyurukkan wajah ke dadanya. Menghirup aroma sisa parfum dan keringatnya. "Aku mencintaimu, Yang."
"Aku juga mencintaimu, Mas. Hanya kamu!" kataku dengan sepenuh hati diikuti dengan rasa takut yang membuatku ingin menangis.
Yuhuuuuu ... ini bab terakhir yang aku publish.
Aku bakalan sesekali publish tapi nanti, setelah buku cetak ready.
Terima kasih sudah temenin ArkaNina.
Sampai ketemu di cerita yang lain, ya
Love, ya!
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top