Bab 15
Bab 15 For youNina
Rintihanku tak membuat gerakan lidahnya berhenti. Saat ibu jarinya membelaiku pelan, aku kembali memohon. Namun, seperti yang sudah dilakukannya sejak entah berapa lama, Mas Yudha menarik lidah dan jarinya tepat ketika aku siap meledak.
"Nooo!" teriakku. "Mas, please. Aku pengen keluar. Aku butuh keluar," racauku.
"Itu hukuman yang pantas kamu dapatkan!" katanya kembali merangsangku. Jarinya menarik puncak dada membuatku merintih nikmat. Pedih yang membuatku membusungkan dada. Mendorong masuk puncak dadaku masuk ke mulut lapar Mas Yudha.
Saat jarinya kembali masuk ke inti tubuhku. Ibu jarinya kembali membelai dan menggodaku. Namun, ketika Mas Yudha menarik jarinya, aku menarik kepalanya mendekat, dan mencium bibirnya.
"Masukkan kembali, Mas!" perintahku.
"Not yet, Baby," jawab Mas Yudha sambil tersenyum dan aku kembali berteriak. "Sekali lagi, dan kali ini aku izinkan kamu untuk keluar."
"Bayangkan berapa banyak nikmat yang akan kuberikan padamu setiap kali kamu bertemu dengannya." Setiap kata yang diucapkannya, membuatku kembali mengulang kejadian semalam. Setiap detik yang kuhabiskan meneriakkan namanya kini kembali membuatku basah.
"Mas," ucapku pelan. "Tapi aku enggak butuh hukuman itu. Meski harus kuakui, kalau semalam is the best sex ever."
"Nah, kan?!" selanya. "Bayangkan kalau itu bisa kamu dapatkan setiap kali aku pulang."
"Dengan berselingkuh bersama Arka!"
Mas Yudha menahan kepalaku. Memaksaku memandang kedua bola matanya. "Kamu enggak berselingkuh, karena aku mengetahui apa yang kalian berdua lakukan di belakangku."
Helaan napas panjangku tak membuat Mas Yudha mundur. "Sayang, setelah meeting kemarin, ada sesuatu yang harus aku ceritakan." Perubahan suasana membuatku cemas, tapi bibirku tetap tertutup rapat. "Dari dua puluh satu hari libur, aku mungkin harus stay di kantor pusat kurang lebih seminggu."
"Apa!" teriakku. "Dan aku hanya bisa ketemu Mas dua minggu dan itu pun dikurangi perjalanan, yang bener aja, Mas," rutukku menekan dadanya dengan keningku. "Lama banget, sih."
Kekehan membuat dada Mas Yudha bergetar. "Itu kenapa aku pengen kita mencoba untuk membuka pernikahan ini, Sayang."
Aku masih menyurukkan kening ke dadanya, tak ingin menegakkan punggung. Semua karena aku tak ingin melihat wajah keras dan tekad bulat yang ada di matanya saat ini. Aku mengenalnya, Mas Yudha bukan seseorang yang berubah pikiran setiap kali ia menginginkan sesuatu.
Aku tahu keinginannya untuk membuka hubungan pernikahan bukan hanya sekedar ide saat dia mengatakannya. Di dalam hati, aku tahu Mas Yudha sudah memutuskan.
"Aku pengen kamu masih bisa seneng-seneng, meski aku enggak ada di sini temenin kamu."
Aku berdiri dan sekali lagi meraih jubah di lantai, mengikatnya erat. Aku butuh menenangkan dan mendinginkan kepala. Tanpa menutup pintu kamar mandi, aku membuka kran dan berdiri di bawah guyuran air. Membasuh kepalaku yang saat ini terasa panas dan siap meledak. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Bisakah aku melakukan itu. Membiarkan orang lain menyentuh tubuhku. Kepalaku penuh. Keraguan, ketakutan, gugup, dan semua rasa yang muncul sejak mendengar keinginan Mas Yudha. Tiba-tiba wajah Arka muncul, dan aku menahan erangan yang ada di ujung lidah. Kepalaku penuh saat merasakan tatapan matanya. Setiap kali Mas Yudha berada di ruangan yang sama, aku bisa merasakannya. Tengkukku meremang seakan merasakan kehadirannya. Seperti saat ini. Aku tak perlu membalik badan untuk merasakan kehadirannya. Saat lengannya menarik tubuhku mendekat, aku menyandar di dadanya.
"Selama sepuluh tahun kita bersama, aku enggak pernah protes dengan pekerjaanmu, kan?" Mas Yudha menjawabnya dengan gumaman. "Selama ini, pernahkah aku bilang kurang padamu."
"Sayang," katanya sambil mengusap bagian depan tubuhku. "Aku akan semakin sibuk. Aku enggak pengen kamu ngabisin waktu dengan kerjaan, novel, atau Esti. Aku pengen kamu punya teman yang lainnya. Seseorang yang bisa mengisi waktumu saat aku enggak di sini."
Aku masih menolak untuk membalik badan. Bahkan tubuhku semakin condong ke arahnya. "Tapi kita bisa melakukannya tanpa harus memasukkan seseorang dalam pernikahan kita, kan?"
"It's only sex, Feb." Mas Yudha tak tahu sebesar apa pengaruh keinginannya terhadapku. "Aku pengen kamu bisa mendapatkan kenikmatan darinya. Dan aku akan menghitung hari sampai tiba waktunya untuk menghukummu."
Bayangan wajah Arka dan jawabannya malam itu kembali memenuhi kepalaku. "Mas, aku enggak yakin bisa melakukan itu."
Mas Yudha mematikan air, membawaku keluar dari bilik air, dan membungkusku dengan handuk tebal. Dengan patuh aku mengikutinya hingga duduk di depan meja riasku.
"Aku enggak yakin bisa melakukan itu. Mas tahu kalau aku enggak pernah melakukan hubungan tanpa ada perasaan. Dan kamu pengen aku berhubungan badan dengannya tanpa melibatkan hati?"
Dia putar tubuhku hingga menghadap kaca ketika tangannya dengan lihai memijat pundakku. "Gimana kalau aku izinkan kamu untuk melakukan lebih dari itu." Pandanganku bersirobok dengannya. Pemahaman di matanya tak bisa kuabaikan. "Aku pergi ketemu Andre dulu, dan nanti malam, kita ngomongin semua pilihan yang kita punya. Gimana?"
Sisa hari itu aku habiskan meringkuk di kursi malas bersama salah satu novel yang belum sempat kubaca. Tanpa benar-benar membaca buku yang ada di tanganku. Semua karena aku tak bisa menghentikan otakku berpikir tentang keinginan Mas Yudha.
Arkatama
Are you alright?
Nope
Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk menjawab pesannya. Selain merasa senang karena ada yang bertanya keadaanku. Membaca pesan Arka membuat senyumku terkembang. Seolah ia bisa membaca suasana hati, meski aku tak membalas pesan terakhirnya beberapa hari lalu.
"Hey." Suara lembut Arka terdengar di ujung sambungan. Seketika aku merasa rindu bertemu dengannya. Mendengar cerita-ceritanya. Memandang senyumnya. "Aku kangen."
Erangan tak bisa kutahan mendengarnya. "Ar, kamu tahu kalau enggak boleh ngomong gitu sama aku, kan?"
"Siapa yang enggak bolehin?" jawabnya. "Rasa kangenku untuk kamu kan urusanku, kenapa enggak boleh?!"
Buku di pangkuanku semakin terlupakan. Tubuhku seolah mengenali suara Arka, karena saat ini aku semakin melesak dalam sofa membayangkan berada dalam pelukannya.
"Aku enggak bisa berhenti mikirin kamu."
"Maksud kamu?"
Suara ramai yang terdengar di bagian belakang membuatku bertanya di mana dia berada.
"Sorry, lagi di kampus," ucapnya menjawab rasa penasaranku. "Maksudku, aku enggak bisa berhenti mikirin masalah rumah tanggamu."
Untuk beberapa saat, aku tergoda untuk mengatakan perkembangan terbaru dari masalahku. Namun, aku merasa harus menahan diri sebelum membuka semuanya padanya. Saat ini, yang kuinginkan hanya mendengar suaranya.
"Ngapain aja dari kemarin? Sorry, aku enggak balas pesanmu. Ada suami di rumah."
Aku mendengar seseorang menyapanya dan Arka menjawabnya dengan tak kalah ramah. "Kamu ramah banget sama mahasiswamu, ya."
"Enggak ada salahnya jadi orang ramah, kan, Nin. Senyum itu bisa bikin kita awet muda." Arka menjawabku. "Untuk ngejawab pertanyaanmu, akhir-akhir ini aku harus ngebelah diri. Kerjaan di kampus bikin aku pulang malem dan masalah keluarga yang ngeganggu pikiran. Dua hal yang bikin aku sibuk, jadi sedikit bisa mengurangi rasa kangenku." Aku bisa merasakan lelah yang muncul di suaranya. "Aku pengen. Aku butuh ketemu kamu."
Aku kembali mengerang mendengar rindu yang terdengar jelas di setiap kata-katanya. "Ar, kamu kenapa?" tanyaku tiba-tiba kuatir.
Malam itu, ketika kami berdua berpisah, tidak ada perjanjian tentang rasa tertarik yang ada di antara kami berdua. Tidak ada kesepakatan tentang rasa rindu yang muncul. Namun, ketika mendengarnya membutuhkanku, ada sesuatu yang kembali tumbuh di hatiku.
"Aku tahu enggak seharusnya hubungin saat ada suamimu," ucap Arka disusul dengan helaan napas panjang. "Tapi aku kangen. Dan untuk pertama kali dalam hidup, aku ngerti rasanya kangen yang bikin enggak bisa konsentrasi kerja."
Aku terbahak-bahak mendapati Arka berulah seperti anak remaja. "Ar, kamu tahu kalau bisa cerita, kan," ucapku.
"Yes! Itu berarti kita bisa ketemu, dong." Nada riang Arka menular padaku. Senyumku pun terkembang membayangkan bertemu dengannya. "Aku beneran kangen, dan sampai sekarang kamu enggak balas rasa kangenku."
Keberanian untuk menjawab kerinduan Arka yang tak kumiliki terasa menyiksa. Setelah semua yang Mas Yudha katakan beberapa saat lalu memberiku gambaran jika aku berani melakukannya. Namun, hingga saat ini ada kecemasan dan keraguan yang membuatku tak berani melangkah.
"Aku enggak berani," ucapku.
"Bilang iya kalau kamu kangen!"
"Iya," jawabku cepat.
"Bilang iya kalau kamu mau kita ketemu lagi!"
"Iya," jawabku kembali. "Kamu sadar kalau keduanya itu bukan pertanyaan, kan, Ar?!" Arka tertawa menyadari aku mengetahui kelicikannya.
"Itu pernyataan bukan pertanyaan, Arka!" Tawanya semakin kencang membuat simpul di perutku mengendur. Mengurangi kekuatiranku yang semakin besar semenjak kepergian Mas Yudha. Namun, ketakutanku semakin besar saat bayangan menghabiskan waktu bersama Arka memenuhi kepala. Semua karena ada keinginan untuk berkata iya pada ide Mas Yudha.
Beberapa menit kami bicara hingga ia harus kembali bekerja dan aku memutuskan untuk menyiapkan makan malam. Aku membutuhkan kesibukan untuk mengalihkan pikiranku saat ini. Semua terasa semakin menekanku, menuntut jawaban yang belum siap kuberikan. Aku bahkan ragu apakah aku akan siap untuk memberikan ketika tiba waktunya nanti.
Semua siap ketika aku mendengar suara mobil Mas Yudha berhenti tepat di depan pintu. Tak lama kemudian aku mendengar suaranya yang terdengar riang.
"Ya ampun, aku langsung laper, Yang," katanya memelukku dari belakang. Menyurukkan hidung ke ceruk leher dan menghadiahiku dengan ciuman-ciuman kecil merangsangku. "Aku bersih-bersih dulu, baru kita makan."
Aku menunggunya sambil meneruskan bacaanku yang tertunda karena telepon Arka. Pikiranku melayang, kembali mengulang detik yang kuhabiskan bersamanya. Mengingat caranya memandang yang membuatku harus menahan diri. Merasakan sentuhan lembutnya yang membuat kulitku meremang.
"Makan, yuk." Suara Mas Yudha dari ambang pintu kamar membuatku tersadar. Buku di atas pangkuanku pun terlupakan karena pikiranku sibuk mengulang kenangan bersama Arka. "Yang, kenapa wajahmu kelihatan berbeda? Mikirin apa sampai merah gitu pipinya?"
Kutepuk pipi dan berusaha mengaburkan rona merah yang membuat Mas Yudha bertanya-tanya. Mendekatinya dan melingkarkan lengan di pingganganya.
"Mikirin suamiku yang seneng banget makan aku!" jawabku menariknya mendekat, dan seketika aku bisa merasakan tubuhnya yang keras. "Nah, kan," ucapku menunduk memandang bagian tubuhnya yang menekan perutku. "Makan dulu!"
Pelukannya mengerat sesat sebelum kami berdua saling mengendurkan tangan. "I love you, Yang," ucapnya tiba-tiba.
"Mas tahu kalau aku sayang kamu, kan?" Anggukan Mas Yudha membuatku kembali menariknya. "Mas tahu kalau aku rela lakuin apa aja, asal itu membuatmu bahagia, kan?"
Mas Yudha menahan tengkukku. Membuatku tak bisa bergerak. "Dan aku rela lakuin apa aja untukmu, Yang," ucapnya sebelum menciumku lembut, lama, dan dalam. Kami berdua berdiri di tengah ruangan, dengan tanganku melilit erat di pinggangnya. Aku merasa jantungku hampir meledak menerima cintanya yang begitu besar.
Mendekati close PO, guys ... thank you yang udah ikutan PO.
Seperti yang pernah aku bilang, TBM ini cerita yang paling bikin deg-degan waktu nulisnya.
Moga-moga endingnya cukup memuaskan teman-teman semua.
Thank you
Love, ya!
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top