Bab 13


Bab 13 Is it you?Nina



Berbeda denganku yang kaget dan tak tahu harus berbuat apa ketika mendengar open marriage dari Mas Yudha. Arka yang duduk tepat di sebelahku, tanpa jarak memisahkan kami berdua, tampak tenang. Seolah apa yang baru saja kukatakan adalah sesuatu yang biasa ia dengar. Meskipun tidak mengatakan apa pun, tapi aku bisa merasakan pandangannya terpaku padaku.

Aku masih menatap gelapnya langit. Terjebak di warna yang menawarkan perlindungan bagiku malam ini. Keheningan yang ada di antara kami berdua.

"Kayaknya aku udah gila," kataku dengan helaan napas panjang.

Tatapanku masih terpaku di jendela saat mendengar Arka beringsut. Ia menaikkan lutut ke atas sofa, hingga menghadap ke arahku.

"Jangan dijawab!" kataku saat Arka membuka bibirnya. "Aku ngerti kalau udah gila," kataku menegaskan.

"Gimana enggak gila, kita ketemu berapa hari yang lalu. Ketemu lagi enggak sengaja waktu Esti makan siang sama Reza. Enggak sengaja lagi malam ini. Dan aku udah bawa kamu ke apartemen yang suamiku sendiri enggak tahu kalau masih jadi milikku. Edan, kan?"

Arka yang masih menghadapku tanpa mengatakan sepatah kata pun, membuatku semakin ingin menumpahkan isi kepalaku.

"Dan kamu tahu hal yang paling gila." Dia menggeleng, seolah aku membutuhkan jawaban. "Saat mikir tentang open marriage—ide gila suamiku—kamu muncul di depanku. Dengan lesung pipi yang bikin aku enggak bisa berpaling."

Lesung pipi Arka kembali menghilangkan konsentrasiku. "Jangan ketawa, Ar," pintaku. "Aku beneran udah gila. Suami yang ujug-ujug kepikir untuk mencoba open marriage. Kamu yang semakin sering muncul di pikiran dan depanku. Aku enggak ngerti harus gimana? Dia enggak maksa aku untuk menyetujui ide open marriage itu, tapi dari caranya saat mengatkannya. Aku ngerti kalau dia pengen melakukan itu. Aku harus gim ...."

Semua yang sudah ada di ujung lidahku tertelan kembali. Isi kepalaku mendadak kosong, pergi entah kemana seiring tangan Arka menangkup kedua tanganku.

"Nin, pelan-pelan," pinta Arka menuntunku untuk menarik dan mengembuskan napas perlahan.

"Itu masalahnya!" kataku setelah beberapa saat terdiam. "Semua membuatku enggak bisa pelan-pelan. Malam itu, aku benar-benar butuh berpikir. Dengerin musik yang menghentak selalu bisa bikin aku berpikir jernih, sampai kamu muncul!"

Sambil memundurkan kepala tanpa melepas genggamannya, Arka mengerutkan kening. "Aku salah apa, coba?"

"Karena kamu muncul tepat saat aku mikir keinginan Mas Yudha. Seolah semesta kasih aku jawaban berupa dirimu. Enggak mungkin, kan!"

"Tunggu!" kata Arka mengangkat tangan. "Sebenarnya masalahmu di mananya, sih, Nin?"

Aku menarik tangan dan meraih cangkir teh yang terlupakan. Tidak ada panas yang tersisa, tapi aku membutuhkan untuk mengalihkan pikiran dari tangan Arka yang membuat pikiranku kacau.

"Kok pakai tanya, sih, Ar," kataku lemas. Kuhempaskan tubuh ke sofa dan menegang saat ada belaian halus yang terasa di ceruk leherku.

"Masalahmu itu karena permintaan suami atau karena pertemuan kita? Karena sampai kapan pun, aku enggak akan pernah menyesali apa yang terjadi malam itu."

"Enggak ada yang terjadi!" kataku membuat Arka tertawa. "Aku enggak bilang kalau menyesali pertemuan itu, hanya saja semua terasa cepat dan di luar kendaliku." Aku bukan perempuan yang gila kontrol. Namun, saat semua terasa di luar kendali, aku merasa kehilangan arah.

Malam pertemuanku dan Arka menjadi tonggak dimulainya kekacauan dalam hidupku. Mas Yudha yang bertanya tentang keputusanku. Perkenalan dengan Arka yang membuatku berpikir untuk menyetujui permintaan Mas Yudha. Kebetulan yang mengisi pertemuan tak terduga kami. Semua hal membuatku merasa tidak seperti diriku sendiri.

"Nin ...." Arka kembali menangkup tanganku. "Aku boleh tanya sesuatu." Aku mengangguk karena tak tahu apa yang bisa kulakukan selain menyetujuinya.

"Kenapa suamimu pengan mencoba open marriage? Pernikahan kalian baik-baik aja? Kalau enggak keberatan aku tanya," tambanya. Aku terdiam, karena aku bingung jawaban apa yang bisa kuberikan padanya.

Beberapa kali pertemuan kami, aku bisa menilai Arka adalah pendengar yang baik. Ia tak pernah menyela setiap kali aku berbicara. Matanya hanya tertuju padaku dengan konsentrasi penuh. Seakan-akan apa yang kuucapkan penting baginya, bukan hanya sekedar cuitan sambil lalu. Seperti saat ini.

Dengan satu kaki di atas sofa, tubuhnya menyandar dengan tangan terulur. Ujung jarinya yang tepat berada di pundakku, sesekali membelaiku halus. Memberiku ketenangan. Matanya lembut terpaku padaku. Tidak ada penghakiman atau jijik di matanya ketika aku menceritakan tentang wacana open marriage yang beberapa kali Mas Yudha tanyakan. Bahkan ketika sesekali aku mengatakan tentang rasa tertarik yang ada di antara kami berdua, aku bisa melihat senyum simpul di bibirnya.

"Jadi, rumah tangga kalian baik-baik saja, meski lebih sering terpisah. Sex life kalian hebat," kata Arka setelah aku menceritakan tentang kehidupanku. "Tapi kenapa suamimu pengen mencoba gaya hidup itu?"

Aku menggeleng lemah, karena aku tak tahu kenapa tiba-tiba Mas Yudha memiliki ide itu di kepalanya.

"Dia pengen seks kami berdua jadi lebih berwarna," kataku tanpa malu membicarakan tentang seks dengannya. Pria yang belum terlalu lama kukenal. "Dia pengen ada variasi dalam hidup. Aneh, kan."

Arka menantiku melanjutkan cerita. "Akal sehatku enggak bisa membayangkan pasangan yang selama ini hanya untukku, kini harus membaginya dengan orang lain." Kutatap lekat tanganku yang ada dalam genggaman Arka. "Aku sadar saat ini, apa yang kulakukan denganmu ini salah, tap—"

"Nin," sela Arka. "Kamu tahu enggak kalau beberapa dari mereka yang memilik gaya hidup seperti itu terkadang bukan hanya sekedar membagi pasangan?" Kepalaku tersentak. Melihat wajah Arka yang terlihat datar tanpa emosi dengan kehati-hatian, seketika hatiku cemas.

"Maksudmu? Jangan bikin aku takut, Ar!" kataku mencengkeram lengannya. "Aku enggak ngerti kenapa Mas Yudha menginginkan itu semua. Jangan bikin aku tambah bingung, dong!"

Semenjak malam itu, ada perasaan mengenal yang membuatku nyaman bersamanya. Membuka diri dan menceritakan sesuatu yang selama ini hanya kusimpan di hati, seperti keberadaan apartemen milikku. Aku bahkan tidak menceritakan tentang keinginan Mas Yudha pada Esti. Padahal sahabatku itu menjadi tempat berbagi ceritaku selama ini. Namun, aku memilih Arka. Pria yang menjadi salah satu isu yang memenuhi kepalaku.

"Variasi, dan aku ngerti itu," jawab Arka. "Meski aku belum pernah menikah, tapi aku bisa memahami keinginan itu." Kukedikkan pundak tak mengerti dengan logika Arka dan juga pria yang memilih gaya hidup tersebut. "Gaya hidup seperti itu memang bukan untuk semua orang. Bagi mereka, lebih baik melakukan dengan sepengetahuan pasangan daripada selingkuh."

Aku mendengus. "Bukannya itu hanya alasan untuk selingkuh?"

"Enggak juga, Nin," sanggah Arka. "Maksudku begini," katanya dengan pelan seolah menenangkanku. "Suamimu pengen kasih semua kenikmatan yang bisa kamu dapatkan, tapi enggak mau kalau itu terjadi di belakangnya. Jadi dia ngizinin kamu untuk melakukannya dengan sepengetahuannya. Bahkan," jelasnya ketika melihatku membuka bibir. "Bahkan terkadang ada suami yang meminta berada di sana ketika istrinya melakukan itu sama lelaki lain."

Aku menggeleng kuat. "Kayaknya aku enggak bisa jadi menikmati gaya hidup seperti itu," putusku. "Melakukannya dengan orang lain itu sudah membuatku enggak nyaman. Apa lagi membiarkannya melihat aku dan ...." Aku menutup wajah dengan kedua tangan.

Semakin lama aku memikirkan keinginan Mas Yudha, kepalaku terasa hampir meledak. Selain aku harus merelakan perempuan lain memuja tubuhnya. Aku harus merelakan pria lain melakukan itu untuknya.

"Cuma fisik, Nin."

"Itu enggak membuat semuanya jadi lebih mudah diterima akal sehatku, Ar!" kataku dongkol. "Lagian, gimana kamu bisa tahu itu semua, sih?" Kedikan pundak tak menjawab pertanyaanku, tapi sepertinya hanya itu yang diberikannya.

"Kamu mau?" Arka terkejut. "Maksudku, kalau kamu jadi suami, kamu mau istrimu mendapat kepuasan dari laki-laki lain?"

Arka tak menarik tangan kiri yang masih membelai pundakku. Tangan kanannya pun masih menganggamku. Satu hal yang kupelajari dari pertemuan-pertemuanku dan Arka, ia selalu memberi sentuhan-sentuhan padaku. Belaian di pundak atau ceruk leherku dan genggaman tangannya. Anehnya, itu semua tidak membuatku ingin menarik tubuh dan menjauh darinya.

"Ar," panggilku ketika tak kunjung mendengar jawabannya.

"Jujur, aku enggak ngerti," jawabnya. "Aku bukan orang suci, Nin. Aku menikmati seks, seperti kamu." Aku mengangguk mengerti. "Tapi kayaknya aku belum siap kalau harus ngelepas istriku untuk mendapat kepuasan bersama lelaki lain. Karena aku itu egois. Hanya aku yang boleh menyentuh istriku atau kekasihku. Aku enggak berbagi."

Aku tak memalingkan wajah ketika Arka mengatakan dengan mata mengirimkan gelenyar ke seluruh tubuhku. "Aku enggak bisa ngebayangin ada lelaki lain yang membelai tubuhnya." Suaranya pelan membuatku menahan napas. "Mencium bibir tebalnya." Aku mengigit bibir bawah, gugup. "Memeluk, dan masuk ke tubuhnya. Tubuhnya hanya milikku, Nin. Milikku!"

Setiap kata yang diucapkannya seakan tertuju untukku. "Ar," kataku. "Kalau kamu jadi partner si istri ... gimana?"

Arka tak lekas menjawab pertanyaanku. Keningnya mengernyit seolah menemukan kata yang tepat untuk diucapkan. Aku tak bisa membaca wajahnya, meski selama ini Arka terkesan terbuka. Walaupun tidak terlihat dingin atau menjauh, tapi aku merasa ada sesuatu di balik wajah tampannya.

"Aku boleh jujur, kan?"

"Please, aku lebih senang kalau kamu jujur." Saat ini, hubungan pertemananku dan Arka—jika apa yang terjadi antara kami berdua bisa disebut pertemanan—menjadi penyelamatku. Mendengarnya mengatakan pendapat dengan jujur membuatku semakin mengaguminya. Aku bisa gila jika tak berhenti memikirkan tentang ide Mas Yudha.

Arka kembali mendekat, meski saat ini tidak ada jarak antara kami berdua. "Selama ini aku selalu menjauh dari perempuan yang sudah memiliki pasangan. Berbeda dengan Reza yang kuakui memiliki kesukaan dan fantasi dengan perempuan bersuami. Aku punya alasan tersendiri untuk tidak mendekati mereka yang masih memiliki ikatan."

"Tapi ... denganku?"

"Itu dia," kata Arka. "Kamu terasa beda. Sejak malam itu, aku tak peduli, meski cincin di jari kananmu terlihat jelas." Kami berdua terdiam.

"Kalau kamu tanya, aku mau enggak jadi partner perempuan yang sudah bersuami." Seketika aku merasa udara di antara kami berdua berbeda. Tatapan mata Arka pun terasa membelai kulitku. "Aku mau, Nin. Asalkan perempuan itu kamu."

Semua orang selalu bilang aku cerewet. Selalu memiliki jawaban untuk setiap pertanyaan. Tak pernah kehabisan topik pembicaraan. Namun, saat ini, aku kehilangan kemampuan untuk membuka bibir. Semua kata yang ada di ujung lidah, menghilang. Pertanyaan yang menumpuk di kepalaku pun, tak tersisa. Kebingungan yang selama beberapa saat lalu membuatku tak bisa berpikir jernih, kini terhapus sudah.

Aku tak tahu apa yang membuatku tersenyum saat ini. Kenyataan tentang rasa tertarik Arka, atau jawaban dari keinginan Mas Yudha. Sungguh, malam ini aku merasa berubah menjadi gila.

"Kayaknya aku beneran gila, deh," ucapku.

"Aku temenin gila kalau gitu. Mending gila berdua ketimbang sendiri, kan," ucap Arka yang tidak masuk akal, tapi terasa pas untuk situasiku saat ini.

Hayooo ... saiapa yang bisa nolak kalau menggila sama Mas Arka.
Ya ampun, Maaaaas.
Whahahah

Masih update, ya, guys 
Happy reading

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top