Bab 12


Bab12 Laws of AttractionArka



Aku tak bisa menjauhkan tanganku darinya. Setelah merasakan lembut kulitnya, yang kuinginkan hanya menyentuh dan membelainya. Terlebih lagi ketika melihat reaksi tubuhnya saat aku menyentuh kulit pundak telanjangnya. Tubuh Nina tersentak, tapi hanya sekali. Saat aku kembali menyentuhnya, ia mencondongkan tubuhnya padaku. Membuat jantungku berderap kencang.

Saat mendengar Nina mengakui rasa tertariknya, aku ingin berdiri dan berteriak, Yes! Walaupun, itu tidak akan mengubah situasi dan kondisi yang ada di antara kami berdua. Namun, melihat pancaran matanya, aku merasa mampu melewati apa pun hanya untuk bersamanya. Bahkan aku berubah jadi pria penuh dengan kata puitis, sesuatu yang tak pernah ada dalam rencana hidupku selama ini.

"Kamu ngejengkelin ternyata," ucap Nina setelah terjebak dengan semua argumennya. "Maksudku kan enggak gitu!" protesnya yang semakin membuat wajahnya terlihat menggemaskan.

Nina memiliki wajah bulat, dengan tulang pipi tinggi. Bibir penuh yang selalu menarik pandanganku. Meski wajahnya terkesan ketus, tapi senyumnya bisa mencerahkan hari. Setidaknya itulah yang kulihat. Tidak kepura-puraan di tiap senyum yang diberikannya padaku. Aku pun bisa merasakan ketertarikannya, sejak pertama kali berkenalan dengannya.

"Terus maksudnya gimana?" tanyaku berusaha menahan geli melihat bibir cemberutnya.

Nina memukul paha—yang membuatku kaget setengah mati—meski tidak terasa menyakitkan. "Maksudku, meski perasaan itu ada, bukan berarti harus dikatakan, kan?!"

"Kenapa, enggak?" tanyaku membuat Nina kembali cemberut.

Pahaku kembali menjadi sasaran Nina, tapi saat ini ia tak bergegas menarik tangannya setelah memukulku.

"Karena rasanya jadi nyata," ucapnya pelan, seolah ia tak ingin aku mendengarnya. "Sejak malam itu, aku merasa aneh. Karena merasakan sesuatu yang enggak seharusnya ada."

Kutarik jari telunjuk dan menyatukannya denganku. Seperti yang Nina lakukan padaku beberapa saat lalu. "Pernah dengar law of attraction, kan, Ar?"

"Kamu merasa kalau kamu semakin sering memikirkan rasa tertarik kita berdua, akan menjadi kenyataan. Begitu, kah?" Nina mengedikkan pundaknya. "Nin, rasa itu ada semenjak pertama kali aku melihatmu duduk di depan Ria. Rasa itu semakin kuat ketika aku melihat senyummu."

Nina terlihat terkejut. Namun, aku juga melihat bahagia di sana. "Rasanya ... aneh," ucapnya. "Karena tertarik sama orang yang baru pertama kali kita temui. Terasa enggak masuk akal."

Seperti yang Nina lakukan padaku tadi, kini aku melarikan jari di telapak tangannya. Aku bisa mendengar tarikan napasnya, tapi memutuskan untuk meneruskan apa yang kulakukan saat ini.

"Enggak harus masuk akal, Nin," kataku. Jariku berhenti membelai. Kugenggam tangannya, menyelipkannya di sela-sela jariku. "Pas!" kataku. "Jarimu terasa pas di sini."

Perempuan yang masih terlihat ragu dan cemas kini tak melepas penyatuan jari di atas pahaku.

"Menakutkan," kata Nina. "Rasa tertarik ini terasa menakutkan." Sekelabat sedih melintas di matanya, seperti yang kulihat malam itu

Aku merasa ada sesuatu yang tidak Nina katakan padaku. Meskipun aku bisa merasakan ketakutan yang dirasakannya.

"Apa yang kamu takutkan, Nin?" Ia tak menjawab pertanyaanku. Bahkan kini semakin menunduk melihat penyatuan jari kami berdua.

"Semuanya." Nina mengangkat wajah dan menatapku. Pandangan matanya menusukku. "Rasa tertarik dan konsekuensinya nanti, serta permintaan Mas Yudha. Semua hal berkecamuk di kepala, dan malam kita bertemu adalah pertama kali aku membiarkan otakku untuk benar-benar memikirkannya."

Kubiarkan Nina berbicara, walaupun aku tak tahu apa yang ia maksud.

"Gimana bisa ia bertanya tentang sesuatu yang enggak masuk akal. Aku mencintainya, dan ia tahu aku akan melakukan apa pun untuknya, tapi ... aku enggak bisa melihat diriku sendiri melakukan apa yang dimintanya." Nina terdiam. "Dan kamu," katanya. "Kamu datang mengacaukan pikiranku!"

"Nin ...."

"Kamu bisa ngajak kenalan perempuan mana pun, dan aku yakin mereka dengan senang hati menerimanya. Tapi malam itu, kamu memilihku untuk berkenalan. Aku masih enggak percaya dengan apa yang kamu lihat. Aku jauh dari kata menarik. Umurku lebih tua darimu. Kenapa aku, sih, Ar?"

Tak ingin menyerah, aku menangkup pipi Nina dengan tanganku yang terbebas. "Aku boleh cium kamu?" tanyaku lancang. "Aku benar-benar pengen bisa cium kamu."

Nina menggelang, tapi tak menarik wajahnya dari tenganku. "Aku enggak berani, Ar," jawabnya. "Tapi, aku menerima tawaranmu. Kalau enggak keberatan, aku pengen cerita sesuatu sama kamu. Tapi enggak di sini."

Malam itu, Nina membawaku ke salah satu apartemen yang terletak di timur kota Surabaya. Tanpa ragu, aku mengikutinya berdiri dan keluar dari rooftop bar yang akan selalu menjadi tempat kenangan bagiku. Setelah waktu yang kuhabiskan di tempat ini bersama Nina, aku tak akan bisa berada di sini tanpanya.

"Kamu selalu bawa keycard ke mana-mana?" tanyaku ketika aku menghentikan mobil tepat di samping mobilnya di area parkir yang terlihat sepi. "Atau kamu sering tidur di sini?"

Nina menekan tombol lift dan melirikku. "Suamiku enggak tahu kalau apartemen ini masih aku pertahankan." Aku mengikuti langkahnya memasuki lift, tanpa banyak kata ketika Nina menekan angka lima belas. "Aku tinggal disini sebelum menikah dengannya, dan enggak sampai hati untuk ngelepasnya. Jadi, sesekali aku masih ke sini saat dia enggak di Surabaya."

"Tempat untuk menyendiri?" tanyaku.

"Mungkin. Bisa jadi," ucapnya bersamaan dengan denting halus lift.

"Yuk," ajaknya.

Apartemen satu kamar yang terasa nyaman itu didominasi dengan warna cokelat. Kaca setinggi langit-langit memperlihatkan suasana malam dengan ribuan lampu berpendar. Sofa yang diletakkan menghadap kaca dipenuhi dengan bantal kursi berbagai warna. Tidak banyak yang bisa kulihat, kecuali rak buku menempel dinding penuh dengan novel.

"Itu semua udah dibaca?" tanyaku menunjuk puluhan atau mungkin ratusan judul yang terlihat terawat. Mulutku menganga ketika melihat anggukan Nina.

"Kalau itu?" tunjukku pada tumpukan di depan rak.

"That is my to be read, yang enggak tahu kapan akan berkurang. Karena kayaknya lebih banyak bertambah."

Nina mengatakan tentang kecanduannya pada baca. Namun, aku tak menyangka akan mendapati novel sebanyak ini.

"Ini belum seberapa. Di rumah ada perpustakaan yang isinya penuh dengan bukuku. Meski ada buku suamiku di sana, tapi novelku lah yang mendominasi." Gelengan kepalaku mengundang tawanya.

"Jangan salah!" ucapnya bersemangat. "Dari sini." Nina menunjuk rak bukunya. "Aku belajar tentang banyak hal."

"Termasuk seks?" godaku yang membuat pipinya terlihat bersemu merah. "Dilihat dari merahnya pipimu saat ini, aku bisa menebak jawabanmu. Kamu belajar seks dari sini." Nina mengulum senyumnya. "Aku jadi penasaran, sebenarnya apa aja yang sudah kamu pelajari dari sana."

Ia meraih tangga lipat yang disimpan rapi di antara rak dan sofa. Meraih novel tebal yang dipenuhi dengan sticky notes berwarna-warni.

"Di sini, aku belajar tentang mencintai orang yang salah," kata Nina menunjukkan sampul depan sebelum mengembalikan ke tempatnya.

"Aku belajar tentang BDSM di sini." Mataku membelalak tak percaya. Perempuan yang terlihat lembut—meski kadang ketus—memiliki kegemaran seks berbeda.

"Wow," reaksiku. "Aku enggak ngerti kalau kamu suka yang begitu itu, Nin."

Nina menggeleng dan mengembalikan ke dalam rak. "Sebagai catatan, aku juga enggak suka yang seperti ini."

Aku mendekat dan berdiri tepat di kaki tangga. Membuatku harus mendongak karena saat ini Nina lebih tinggi dariku.

"Emang tentang apa?" tanyaku penasaran.

"Tentang perempuan enggak mau memilih di antara keempat saudara yang mencintainya." Aku menunjuk angka empat di jariku, dan Nina mengangguk dengan seringai lebar di wajahnya. "Buat si tokoh, kalau bisa semua, kenapa harus memilih."

Selama ini, novel romance yang aku tahu hanya seputar percintaan. Tanpa ada adegan seks seperti yang Nina ceritakan.

"Tunggu tunggu ... aku beneran butuh pencerahan ini. Semua ini," ucapku menunjukkan rak bukunya. "Ada sex scene, gitu?" Nina mengangguk. Ia mengulum senyum, berusaha menyembunyikan semu merah di pipinya.

"Dan kamu baca semua itu?" Nina kembali mengangguk, bersamaan denganku yang semakin mengenal sosok Febiana. Perempuan yang bagiku lebih terasa pas di panggil Nina.

Nina menunjukkan beberapa novel kesukaannya sebelum turun dan meninggalkanku ke dapur kecil yang terletak tak jauh dari pintu.

"Kopi atau teh, Ar?!" teriaknya.

"Air putih aja yang enggak bikin repot, Nin," jawabku sambil menunduk berusaha membaca satu per satu judul yang berada di deretan terbawah.

"Ini kenapa covernya cowok-cowok bertato begini semua." Kekehan Nina membuatku semakin bersemangat melihat koleksinya. "Kamu suka cowok bertato?"

Ia kembali dengan dua gelas yang masih mengepulkan asap panas. "Bukan masalah macho, tapi aku suka ngelihat tato. Yang bagus, ya. Bukan sembarang wajah atau bentuk mawar yang enggak ada arti di balik itu."

"Kenapa?"

Nina duduk di sofa, mendongak menatapku yang masih berdiri. Ketika ia membuka bibir, seketika fantasiku melihatnya berlutut di depanku terlihat jelas. Aku bisa melihat bibir merahnya menghisap dan mengulumku. Membuatku menggeram memanggil namanya.

"Ar!" Bentakan Nina menyadarkanku. "Kamu ngilang ke mana, sih?"

"Sorry," kataku menyadari kebodohan. "Tadi kenapa suka tato?"

Nina terlihat bingung. "Aku tadi bilang kalau bikin tato itu bukan hanya sekedar biar kelihatan keren, kan. Kalau tato ada artinya, itu jauh lebih berarti dan pasti bagus. Karena kalau orang sudah komit menorehkan tinta di tubuhnya, pasti sudah di pikir masak-masak. Karena enggak bakalan bisa dihapus lagi."

Aku mengangguk mengerti. "Kamu punya tato?" tanyaku yang segera Nina jawab dengan gelengan kepala. "Enggak pengen?"

"Enggak! Karena aku takut sama jarum!" jawabnya dengan wajah ngeri. "Kalau kamu?"

"Rahasia. Kamu bisa tahu aku punya tato atau enggak saat kita berdua sama-sama buka baju." Wajah ngeri Nina semakin terlihat. "Bener, kan? Kamu ngecek tubuhku, aku ngecek tubuhmu."

"Iku lak karepmu, Mas," katanya tak terdengar marah. Jejak geli yang terdengar membuatku berpikir kalau Nina tak menampik tentang bayangan itu di kepalanya.

"Ya emang karepku, lah!" jawabku tanpa menyembunyikan keinginan yang ada di kepala sejak pertemuan pertamaku dengannya.

Aku duduk tepat di sampingnya. Tanpa jarak. Membuatku bisa menghidu aroma citrus yang lembut menguar dari tubuhnya. Kami berdua terdiam memandang langit Surabaya yang tak terlihat ada kerlip bintang di sana.

"Setiap kali kamu melintas di pikiran, aku selalu berpikir. Apa kurangnya suamiku sampai-sampai aku tertarik sama orang lain. Pria asing yang baru kutemui tiga kali. Pria asing yang berumur lebih muda. Pria asing yang—"

"Juga merasa tertarik sama kamu," selaku saat Nina terlihat seperti kehilangan kata-kata. "Seburuk itukah rasa tertarikmu untukku?" tanyaku lembut. Dari sudut mata, aku bisa melihat gelengan kepalanya. "Terus kenapa?"

Nina membuatku bingung ketika ia diam tak mengatakan apa pun. Bahkan napas panjangnya pun tak membuatku mengerti dengan isi kepalanya.

"Tertarik padamu bukan sesuatu yang buruk. Tapi, ketika semua hal justru mendorongku ke arahmu lah yang membuatku merasa buruk."

Kuberanikan diri menarik tangan Nina. Menangkupnya dengan kedua tangan. Mengusap lembut punggung tangan yang terasa kecil dalam genggamanku.

"Aku enggak ngerti maksud kamu. Tapi, kalau dirasa bisa ngebantu beban pikiran dengan cerita ... kamu tahu aku bersedia dengerin," kataku. "Enggak mungkin seburuk itu, kan."

"Buruk ... mungkin juga enggak," ucapnya. "Tergantung lihat dari sisi mana dulu, sih." Aku semakin bingung mendengar jawabannya. Nina terasa enggan untuk bercerita. Namun, dari setiap kata yang diucapkannya, aku merasa ia butuh mengeluarkan sesak yang mengganjal di dadanya.

"Apa yang kamu tahu tentang open marriage?"

Jujur, aku tak menyangka akan mendengar itu. Dari semua masalah yang bisa Nina katakan, aku tak mengharapkan dia bertanya tentang sebuah keterbukaan dalam hubungan pernikahan. Namun, pertanyaan Nina membuatku bisa menduga apa yang membuatnya ragu untuk bercerita.

Bahkan, dengan lancang, antusias muncul di hatiku saat ini. Otak kotorku pun bekerja dengan cepat, mengumpulkan informasi dan fantasi liar pun tak bisa kukendalikan.


Ini namanya promo silang. ceritanya apa, gambarnya apa. hehehhe
Anyway ... teman-teman yang sudah baca semua cerita pasti tahu kalau beberapa tokoh yang kubuat itu punya kecanduan dengan baca novel. Sepertiku, dalam sehari selalu ada baca novel. Rasanya kek ada yang kurang gitu. whahahah

Thank you yang sudah ikutan PO ya...
Love yo so so so much

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top