Bab 11


Bab 11
Sunset
Nina



Aku mengeratkan jas yang ada di pundakku. Bukan karena dingin. Namun, karena aku tak bisa berhenti menghidup aroma parfum yang tertinggal di sana. Seolah ada pelukan hangat di sekelilingku. Memberiku kenyamanan dan keamanan. Bahkan, mata yang kini membuatku tak bisa berpaling mengirim kembali gelenyar aneh.

“Ar, aku boleh tanya sesuatu, kan?” tanyaku penasaran. “Kamu ngerti situasi Esti dan Reza?” tanyaku lagi setelah mendapat anggukan Arka. “Kamu enggak keberatan?”

Ketika teman-teman Arka keluar beberapa menit lalu, ia bertahan di tempat. Hanya melambaikan tangan tanpa mengenalkanku pada mereka, dan aku berterima kasih padanya. Kami memesan makan malam dan berpindah ke tempat yang lebih nyaman. Berbeda dengan kebiasaanku yang lebih suka duduk berhadapan, Arka memilih tempat kosong di sampingku. Menyampirkan tangan di punggung sofa, menempatkan ujung jarinya tepat di atas pundak kananku.

“Reza dan Esti bukan anak remaja yang enggak ngerti mana yang baik dan buruk,” jawab Arka tenang. “Keduanya bisa mengambil keputusan sendiri. Aku enggak punya hak untuk ngehakimin keduanya.”

Aku berusaha untuk tidak tersentak saat merasakan ujung jari di pundakku. “Kamu enggak keberatan?” tanyaku berhati-hati. Aku, tak ubahnya seperti Esti saat ini. “Maksudku, Esti bersuami dan apa yang dia lak—”

“Pada dasarnya sama dengan apa yang kita lakukan saat ini.”

Arka menarik lutut kanan ke atas bantalan sofa, membuatnya berhadapan denganku. “Kenapa kedengarannya buruk, ya,” kataku menelan ketidaknyamanan yang kembali terasa.

“Enggak ada yang buruk, Nin. Kita berdua hanya ngobrol, kan?!”

Aku terkekeh mendengarnya. Menggeleng tak percaya. “Ayolah, kita bukan anak kecil lagi, kan, Ar.”

Belaian jarinya di pundak kini naik ke ceruk leherku. Membuatku ingin menyandar dan menikmati rasa yang muncul.

“Aku tertarik sama kamu. Dan aku enggak pernah menutupi itu darimu, Nin.”
Punggungku semakin melesak ke sandaran sofa, menikmati kebersamaanku dengannya. Tanpa menyadari arah pandangannya saat kusilangkan kaki kanan.

Belahan rok yang setinggi setengah paha membuat kaki jenjangku terlihat.
“Nin, kamu emang sengaja goda imanku, ya!” protes Arka menyampirkan jas yang beberapa saat lalu kulepas dari pundak.

“Sorry, aku enggak sengaja,” ucapku menahan diri untuk tidak tertawa melihat wajah tersiksanya. “Aku beneran enggak nyadar kalau bajuku ....” Aku terdiam saat tiba-tiba Arka menyelipkan rambut ke belakang telingaku.

Napasku masih belum sepenuhnya normal saat mendengarnya, “Aku tertarik sama kamu. Banget,” ucap Arka menekan kata banget. “Dan kamu udah tahu itu. Apakah ini sama seperti apa yang Reza dan Esti lakukan, aku enggak ngerti.” Arka menggeser tubuh, membuatnya semakin dekat. “Tapi aku ngerti kalau aku pengen ngabisin waktu sama kamu.”

Kejujuran Arka membuat pipiku menghangat. “Ya ampun, Ar. Diperhalus dikit kenapa?” tanyaku menutupi gugup yang muncul. Gejolak di perutku pun semakin membuatku cemas.

“Padahal aku belum ngomong semuanya.”

“Ngomong apa lagi?” tanyaku penasaran.

Arka sengaja membuatku penasaran, tanpa menyadari tubuhku mendekat ke arahnya. Begitu juga sebaliknya. “Kalau sejak pertama ngelihat kamu tadi, yang ada dipikiranku cuma satu. Nyium kamu sampai kita berdua kehabisan napas.”

“Ar,” kataku dengan suara pelan penuh damba. “Ak—” Dering ponsel membuat kami berdua terkejut. Gelembung yang beberapa saat lalu mengelilingiku dan Arka seketika pecah. Memutus koneksi yang membuatku tak bisa memalingkan wajah darinya. Terlebih lagi ketika melihat nama Mas Yudha muncul di layar ponselku.

“Ya Mas,” jawabku. “Di mana?” Cemas yang kini membuatku tak bisa berhenti menggerakkan kaki membuat Arka melirikku.

Di kamar, Yang. Kamu di mana?”

Gerakan kakiku semakin kencang hingga Arka meletakkan tangan di atas lututku dan seketika cemasku menghilang.

“Jangan marah, tapi aku keluar malam ini.” Tidak ada suara di ujung sambungan, membuat takutku membesar. “Mas ....”

Sendiri?” Aku terdiam takut ingin menjawab. “Sayang!”

Suara tegas Mas Yudha membuatku mengerut. Aku mengatakan sebentar tanpa suara pada Arka dan menjauh darinya. Memusatkan perhatian pada pria di ujung sambungan yang menungguku dengan sabar.

“Ingat rooftop bar yang pernah Arka kirim tautannya?” Mas Yudha bergumam. “Aku ke sana malam ini. Sendiri, pada awalnya.”

Sekarang?” tanyanya. “Sebelum kamu memutuskan untuk menjawabnya. Bayangin hukuman yang akan kamu dapatkan jika ternyata jawabanmu tidak memuaskanku.”

“Mas,” rengekku. “Jangan bikin aku ....”

Sayang, sama siapa malam ini?” Mas Yudha memiliki suara lembut, yang bisa membelaiku hanya dengan bisikannya. Namun, ada sesuatu di balik kelembutan suaranya. Ada kekerasan dan kebulatan tekad terdengar di setiap janji yang diucapkannya.

Arka,” tebak Mas Yudha membuatku menggigit bibir dan membalik badan. Pandanganku bersirobok dengan Arka yang menatapku dengan kerling jahil di matanya.

“Aku enggak janjian. Ternyata dia ada acara di sini, dan sekarang aku ngobrol sama Arka. Jangan marah,” pintaku. Meski di dalam hati aku berharap akan datang hukuman yang membuatku semakin bersemangat menantinya pulang.

“Aku kangen, makanya cepetan pulang!” pintaku tak peduli meski suaraku saat ini terdengar seperti anak ABG yang meminta uang pada orang tuanya.

Enggak sabar dapet hukuman?” tanya Mas Yudha.

“Enggak sabar pengen makan kamu, puas?!” jawabku mengikuti permainannya.

“Aku butuh kamu. Benar-benar butuh kamu!” kataku menitik beratkan kata butuh. “Mas enggak ngerti sebesar apa aku butuh kamu, terlebih lagi malam ini.”

Mas Yudha tertawa menanggapiku dan suaranya semakin membuatku merindukannya. “Ya udah terusin ngobrolnya. Aku pengen kamu cerita ke aku nanti.”

“Nanti malam?” tanyaku tak sabar.

Sepertinya aku pengen tidur cepat, dan besok sepertinya aku bakalan sulit untuk dihubungi, Yang. Aku harus gantiin bos untuk rapat.”

Aku tak pernah tahu persis deskripsi pekerjaan Mas Yudha. Terkadang dia harus tinggal di anjungan lepas pantai, tapi—seperti saat ini—ia harus berada di Jakarta untuk rapat. Setiap kali aku berusaha untuk menanyakan hal itu, bibir dan jarinya selalu membuatku teralihkan.  

“Yang bener aja, Mas!” protesku.

“Aku bakalan ganti semua waktu yang hilang, janji! Bayangin semua yang bakalan aku lakukan padamu selama sisa liburku.” Aku menarik napas. “Bayangin yang bisa kita lakukan di breakfast nook seperti waktu itu. Atau di halaman samping.”

Aku bukan perempuan yang bisa dengan mudah untuk merayu dengan nada sensual. Aku bahkan masih malu setiap kali mengatakan kata orgasme di depan Mas Yudha. Namun, mendengarnya mengatakan dengan semua yang akan dilakukan, membuatku harus mengapit paha.

“Jahat!” jawabku. “Atau aku nyusul ke Jakarta?!"

Jangan!” Penolakan yang membuatku terhenyak. “Maksudku. Percuma juga kamu nyusul, karena bakalan aku tinggal meeting,” terang Mas Yudha. “Gini aja deh, kamu aku izinkan untuk ngabisin waktu sama Arka. Aku ngerti beberapa hari ini kamu cuma di rumah. Keluar hanya untuk ketemu Esti kemarin, kan.”

“Yakin?” tanyaku meyakinkan Mas Yudha, tapi di dasar hati, aku tahu bukan suamiku yang butuh diyakinkan. “Cemburu?”

Ya iyalah!” jawabnya. “Udah ngobrol sana!” perintahnya jelas. “Ingat, I love you. Hanya kamu!”

“Love you, Mas,” jawabku sambil duduk di tempat semula. Menghadap Arka yang mengulum senyum dan menggodaku dengan mengucap love you too, tanpa suara.

“Halah, gombal!” ucapku pada Arka yang tertawa mendapati wajah cemberutku.

“Makan dulu, yuk,” ajak Arka menunjuk beberapa menu yang mereka pesan beberapa saat lalu. Melihat satu per satu dengan tampilan yang menggoda, air liurku terbit.

“Laper?” tanya Arka ketika aku meraih chicken wings dengan taburan wijen di atasnya.

“Banget. Setelah seharian masak, ngebayangin bisa ketemu suami. Eh, di-pending.” Pedas dan manis yang memenuhi indera perasa membuatku tak memperhatikan Arka yang menatapku. “Kenapa? Enggak pernah liat perempuan makan?”

Arka menggeleng. “Jarang lihat perempuan cantik makan sebenarnya.”

Aku harus mengakui menu yang Arka pilih. Bukan makanan berat yang membuatku mengantuk, tapi cukup mengenyangkan. Bahkan minuman yang dipesannya pun tidak ada yang mengandung alkohol. Membuatku kagum dengan ketelitian dan pengamatannya.

Sisa malam itu berjalan seperti yaang kuduga. Arka teman mengobrol yang menyenangkan. Kami berdua menikmati kebersamaan, bercerita apa pun, termasuk pekerjaannya sebagai dosen di salah satu kampus terkenal di Surabaya.

Aku bercerita tentang pekerjaanku dan kecanduanku pada novel, yang membuatnya tertarik. Terlihat dari gesture tubuhnya saat ini.

“Tunggu!” katanya menyela ceritaku. “Apa enaknya membaca? Kalau  memang ceritanya seperti itu, kenapa enggak nonton film porno aja?”

Wajah bingung Arka membuat tawaku meledak. “Bener, kan, Nin,” katanya.

“Kamu enggak perlu ngebayangin. Enggak perlu baca. Tinggal nonton dan nikmati.”

“Imajinasinya beda, Ar,” jawabku. “Kalau baca, aku bisa ngebayangin seperti yang kumau. Meskipun penulis sudah kasih garis besar si tokoh. Seperti warna rambut, kulit, dan matanya. Atau setinggi apa tubuhnya. Setegap apa punggungnya. Sebidang apa dadanya. Itu semua bisa beda, dan,” kataku saat melihat Arka membuka bibirnya. “Mood-nya beda.”

“Bikin kamu terangsang, enggak, sih?” Aku tersipu malu mendengar pertanyaannya. “Kita berdua sudah dewasa, ngomongin seks bukan sesuatu yang aneh, kan?”

“Enggak aneh kalau dilakukan oleh dua orang yang sudah lama saling mengenal,” jawabku. “Atau dua orang yang memiliki jenis kelamin yang sama,” terangku lagi. “Yang pasti enggak dilakukan oleh dua orang yang beberapa saat lalu sepakat dengan rasa tertarik yang ada di hati. Ngerti enggak, sih?!”

Arka mengangkat tangan, kembali menekuk lutut, dan menghadapku. “Jadi, kita berdua,” katanya menunjuk kami berdua bergantian. “Saling tertarik. Benar?”

“Ya ampun!” erangku melihat wajah Arka yang terlihat bersinar. “Emang  harus diperjelas gitu?”

Aku kembali merasakan gerakan halus di ceruk leher, dan kali ini tubuhku tidak tersentak atau pun menjauh. Seakan memiliki pikiran sendiri, tubuhku semakin condong ke arah jari yang tak berhenti membelai.

“Aku enggak malu akuin kalau tertarik sama kamu.” Aku tersihir dengan suara Arka saat ini.

“Aku bukan malu untuk ngakuin, Ar,” kataku. “Tapi kita sadar kalau aku enggak sendiri, kan? Ada banyak yang aku harus pikirkan sebelum dengan lantang mengakui kalau aku tertarik sama kamu!”

“Nah, itu barusan bilang,” Arka membuatku tertawa menyadari kebodohanku.

Teman-teman masih bisa baca ArkaNina sampai closed PO nanti tanggal 9 Oktober. Setelah itu, kita terusin Mas Ninu. 😁😁

Jangan lupa ikutan PO, yaaaa

Happy reading guys
Love, ya!
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top