Bab 10
Bab 10
Sunset
Arka
Aku tak percaya dengan keberuntungan yang kerap kudapatkan akhir-akhir ini. Setelah bertemu Nina bersama Reza dan kekasihnya. Kini, aku kembali bertemu dengannya. Sendiri. Terlihat menawan dan memesona. Membuat napasku tercekat. Meski aku bisa melihat sedih terpancar dari wajahnya. Terlebih lagi ketika aku bertanya tentang suaminya.
“Kenapa aku mau temenan sama kamu?” Nina mengangguk pasti tanpa ragu. “Mana ada orang nolak berteman sama perempuan cantik.”
“Berteman,” ucap Nina curiga. “Hanya berteman?” Nina menyipitkan mata, terlihat curiga. Ia menelengkan kepala dan mengusap-usap dagunya dengan pelan. “Aku kok agak sulit untuk memercayai itu, ya.” Senyum simpul di bibir Nina semakin membuat wajahnya terlihat bersinar.
Tanpa melepas pandangan darinya, aku memajukan badan. “Kecuali kamu mau kita lebih dari teman.”
Matanya kembali membelalak. Membuatku ingin menarik mendekat dan melumat bibir merahnya. Wajah dengan makeup simpel itu terlihat seksi dan menggoda.
“Kenapa? Kamu tahu aku punya suami, kan? Dilihat dari cerita Reza, kalian satu kampus … berarti umurmu tak jauh darinya. Tiga puluh satu?” tebaknya. “Dilihat dari semua sisi, kamu enggak punya satu alasan pun untuk berteman denganku, kan?”
“Tiga puluh,” koreksiku. Nina menunduk. Aku tahu ia berusaha menyembunyikan senyum di bibirnya. Bahkan untuk sesaat aku bisa melihat antusias yang tersembunyi di matanya. “Kenapa?”
Nina memajukan badan. Leher bajunya yang rendah membuatku bisa melihat belahan dadanya, dan ia terlihat tak menyadari itu.
“Kamu enggak malu duduk sama perempuan yang lebih tua?”
Aku menoleh ke kiri dan kanan. Berlagak mencari siapa yang ia maksud. “Mana ada perempuan tua, Nin?” Ia tak menjawab. “Beneran. Sebelah mana, kasih tahu!”
Nina cemberut dan menunjuk hidungnya. “Puas?!” tanyanya. “Aku lima tahun lebih tua darimu. Aku merasa perempuan tua kalau sama kamu.”
Tanpa malu, aku menirunya. Memajukan badan hingga hidung kami berdua tak terasa berjarak.
“Jujur, aku enggak bisa berhenti mikirin kamu. Aku pengen kenal kamu. Aku pengen tahu apa yang bikin matamu berbinar. Aku juga pengen tahu apa yang membuatmu terlihat sedih seperti beberapa saat lalu ketika kamu melihat langit. Aku pengen tahu apa yang bikin kamu bahagia. Aku pengen tahu semua hal tentangmu!”
Kilat cahaya di mata Nina, menandakan ketertarikannya. Namun, menghilang sebelum aku sempat menanyakannya.
“Kenapa?” tanya Nina pelan.
“Karena kamu,” ucapku membelai pipinya dengan ujung jari. “Adalah perempuan paling cantik yang pernah kulihat. Pertama kali ngelihat kamu malam itu, aku harus menahan diri untuk enggak tarik kamu ke sudut tergelap dan mencium bibir merahmu.”
Tarikan napas tajam dan gairah yang muncul di mata Nina membuatku semakin berani. Tak peduli meski saat ini ada banyak mata di sekitar kami berdua.
“Semenjak malam itu, aku enggak bisa berhenti ngebayangin semua hal yang bisa terjadi di antara kita berdua, Nin.”
“Tapi aku ….” Suara Nina mengecil. Namun, mata itu tak berpindah dariku. “Aku enggak sendiri, Ar. Kamu enggak bisa mengharap aku.” Nina berhenti seolah teringat sesuatu dan menggelengkan kepala.
“Itu alasan kenapa aku bilang mau temenin kamu.” Aku tak ingin melewatkan kesempatan. “Meski hanya menjadi temanmu. Berada di sampingmu. Mendengar cerita-ceritamu, itu cukup bagiku. Untuk saat ini,” tambahku ketika melihat bibir terbukanya.
Beberapa kali bertemu dengannya, aku tahu Nina selalu menggigit bibir bawah setiap kali terlihat gugup. Seperti saat ini. Aku terpaku melihat bibirnya ketika merasakan Nina menautkan jari kelingkingnya padaku.
“Untuk saat ini,” ucapnya.
“Untuk saat ini.”
Seolah paham dengan isi kepalaku, Nina mengangguk. Matanya masih menawan pandanganku. Jari kelingkingku masih terbelit dengannya. Semua hal membuat kami berdua semakin dekat.
“Jangan marah,” ucapku. “Tapi aku benar-benar pengen nyium kamu.”
Nina tersenyum dan menggeleng sebelum menegakkan punggung. Ia berpaling menjauhi, tapi semu merah di pipinya masih sempat kulihat.
“Aku enggak bisa,” jawab Nina.
“Karena kamu punya suami. Aku ngerti.” Kakiku enggan bergerak. Keduanya masih memerangkap Nina, meski saat ini perempuan cantik itu menolak untuk memandangku.
Hingga ia membuatku terhenyak dengan jawabannya. “Karena aku enggak yakin bisa berhenti nantinya.”
Sebaris kata itu membuatku tekejut. Namun, dilihat dari ekspresi wajahnya, aku bisa melihat begitu juga dengannya. “Kenapa kamu kelihatan kaget gitu, Nin?”
“Karena jujur … aku emang kaget.”
Nina tak melepaskan jari kelingkingku. Kami berdua menunduk menatap jari mungilnya. Kulit putihnya terlihat kontras denganku. Punggung tanganku terlihat menghitam, karena aku malas memakai sarung tangan setiap kali memilih menggunakan motor. Nina terlihat lebih tertarik memandang tanganku, gerakan halus ibu jarinya membuatku harus menahan erangan. Namun, sepertinya Nina bisa mendengar itu.
“Aku paling malas kenalan sama orang baru,” ucapnya tiba-tiba. “Karena aku selalu bingung apa yang harus aku katakan. Selama ini, setiap kali bertemu dengan teman Mas Yudha, aku lebih banyak senyum dan enggak bicara apa-apa.”
Aku tak tahu ke mana arah yang Nina tuju saat ini, tapi aku tak keberatan. Aku rela duduk diam berjam-jam hanya untuk mendengarkan suara halusnya. Ada kelembutan yang terasa membelai setiap kali aku mendengar suara Nina. Sejak malam itu, aku tak bisa melupakannya.
“Sama kamu,” kata Nina menarikku dari lamunan. “Terasa berbeda.”
“Berbeda gimana?” tanyaku. Kapalanya masih menunduk, bahkan ketika kuputar tangan menghadap ke atas, Nina masih setia memandangnya. Aku ingin merasakan tangannya berada dalam genggamanku. Namun, seperti pertemuan-pertemuan kami berdua selama ini, Nina selalu membuatku terkejut.
Napasku berhenti sesaat ketika Nina melarikan jari telunjuknya ke permukaan telapak tanganku. Dengan gerakan tak beraturan, jarinya yang halus bertemu dengan permukaan kasar tanganku. Seolah tenggelam dalam pikirannya, Nina terlihat jauh.
“Kamu bikin aku tertarik,” jawabnya setelah mengangkat pandangan. Menatap kedua mataku. Memenjaraku dengan senyum di bibirnya. Membuat napasku terhenti. “Itu kenapa aku bilang takut enggak bisa berhenti.”
Kuangkat tangan kanan dan menangkup pipinya. Kamu berdua terlihat seperti sepasang kekasih yang saling merindu saat ini. Dengan mata yang saling beradu. Senyum tersungging di bibir. Bahkan kedekatan kami berdua pun menunjukkan hal itu.
“Aku enggak akan nyium kamu, Nin,” janjiku. “Hingga kamu yang memintaku.”
Nina memundurkan badan ketika mendengar teriakan seseorang memanggil namaku. “Mau aku kenalin sama teman-temanku?” Gelengan kuat kepalanya membuatku terkekeh. “Tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Aku bilang sama mereka dulu.”
Aku masih enggan beranjak, meski Nina mengangguk menjawabnya.
“Udah sana!” perintahnya. “Aku tunggu di sini.”
Tangannya masih menelungkup di atasku, tidak ada yang bergerak. Kutekuk jari dan menangkup jemari Nina.
“Tunggu aku,” kataku pelan. Anggukan kepalanya memberiku kekuatan untuk pergi meninggalkannya.
Seperti yang bisa kuduga, semua orang tertawa dan menggodaku. Bahkan mereka mengira aku akan menghabiskan malam itu bersama Nina. Kupasang wajah datar dan berusaha untuk tidak memperlihatkan apa pun pada mereka semua. Yang terjadi antara aku dan Nina, adalah hal baru. Bukan untuk dibagi, karena saat ini, aku pun tak tahu apa yang terjadi.
“Selamat buat kalian berdua. Tapi sorry, aku lebih pengen ngobrol sama perempuan cantik ketimbang dengerin cerita-cerita enggak jelas kalian semua.” Sorakan semakin kencang keluar dari bibir setiap orang. Namun, itu tak membuat langkahku surut. Perempuan cantik yang kembali memandang langit dengan sendu, membuatku mempercepat langkah.
“Kangen,” ucapku asal.
“Kangen banget.” Nina menjawab tanpa mengalihkan pandangannya. “Sorry, maksudku … anu. Itu Mas Yudha, bukan kamu.”
Gerakan tangannya tidak beraturan. Pipinya bersemu merah dan ia kembali menggigit bibirnya.
“Nin … tenang. Aku enggak masalah kamu kangen suamimu ataupun aku,” ucapku. Gerakan tangannya terhenti. Keningnya mengernyit menatapku dengan eskpresi yang sulit untuk kumengerti.
Nina menyugar rambut panjangnya. Membuatnya semakin terlihat menarik, meski ia tak menyadari hal itu.
“Sorry. Aku kangen suamiku, dan sepertinya aku udah jadi gila.”
“Gila kangen sama suami kamu atau gila karena kangen suami kamu, tapi malam ini di sini sama aku.”
“Semuanya,” jawabnya. Embusan napas kasarnya menarik perhatianku. “Malam itu, waktu kita ketemu,” ucapnya menegaskan. “Aku benar-benar ke sana untuk berpikir.”
Aku menariknya hingga mengadap ke arahku. Kembali memenjarakannya dengan kedua kaki di sampingnya. Meski untuk beberapa saat Nina memilih untuk menatap ke segala penjuru, tapi ketika mata itu kembali terpaku padaku. Napas lega tak bisa kutahan.
“Kamu punya cara yang aneh untuk berpikir.” Nina mengangguk dan tertawa.
“Aku bisa lebih berpikir kalau telingaku kesumbat musik kencang gitu. Semakin pelik masalah, aku semakin ingin berada di tempat yang bising. Bukan untuk melupakan, tapi untuk berpikir.”
Angin malam yang terasa semakin dingin membuat kulit Nina meremang, aku bisa melihat itu. Lengan telanjangnya mengundangku untuk menariknya masuk dalam pelukan dan menyalurkan hangat padanya. Namun, aku memilih melepas jas dan menyampirkan ke tubuhnya.
“Makasih,” ucapnya menarik erat jas ke sekeliling tubuhnya. Seketika aku iri dengan sepotong kain yang lebih beruntung dariku.
“Nin, aku ngerti kamu belum mengenalku,” ucapku. Meski aku merasa sudah mengenalnya lama. “Aku pengen kamu tahu kalau, I’m here for you. Seperti tawaranku pertama kali kita ketemu. Kapan pun kamu butuh untuk cerita, I’m here.”
Nina menelengkan kepala, seolah menilai dan menimbang apa yang akan diucapkannya. Menahan siku di atas meja dan menopang pipinya.
“Ini mungkin kedengaran aneh, tapi … saat pertama kali ngelihat kamu. Ada perasaaan kenal yang enggak masuk akal.”
“Ini juga akan terdengar menakutkan, tapi aku juga merasa mengenalmu.”
Tidak ada tawa di bibirku dan Nina. Kami berdua terdiam. Aku tak bisa melepas pandangan dari wajah Nina. Keningnya mengernyit semakin dalam tanpa memalingkan wajah dariku. Matanya menyapu setiap sisi wajahku.
“Kamu menarik, Ar. Siapa pun akan beruntung menjadi temanmu. Aku tahu, setiap perempuan yang melihatmu, enggak akan bisa berpaling.”
“Termasuk kamu?” tanyaku.
“Aku enggak buta, Ar,” jawabnya. “Ya, iyalah!” Nina terlihat menahan senyum. “Tapi aku tetap enggak bisa mengerti kenapa aku merasa mengenalmu.”
Aku kembali mendekatkan kepala. “Anggap aja jodoh, Nin!”
Mungkin aku sudah gila. Setiap kali bertemu atau berdekatan dengannya, aku mendapat rasa yang tak pernah kurasakan selama ini. Nyaman, seolah pulang ke dalam pelukan yang membuatku enggan untuk beranjak. Seperti itulah Nina buatku.
Berdua lebih murah 😁😁😁
Yang sudah ikutan PO, makasih yaaaa
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top