Bab 1
Bab 1
He's Mine!
Nina
Hari sudah berganti, dan aku masih menunggu di depan pintu kedatangan terminal dua Bandara Internasional Juanda. Menanti Mas Yudha, suamiku. Tiga puluh menit lalu, ia mengirim pesan berisi satu kata, touchdown. Mataku pun bersinar membaca dan bergegas keluar dari mobil, tempatku menunggu dengan jantung berdegup kencang. Namun, hingga saat ini Mas Yudha tak kunjung kelihatan.
Selama seminggu Mas Yudha ada di Kuala Lumpur, memotong dua puluh satu hari liburnya yang selalu dihabiskan bersamaku. Membuatku senewen, seperti saat ini. Kakiku tak bisa berhenti bergerak. Aku tak bisa berhenti menggigit bibir, mencegah erangan frustasi di ujung lidah. Mataku pun tak lepas dari pintu kedatangan di mana terlihat satu per satu wajah asing yang membuatku semakin tak sabar. Semakin lama menunggu, jantungku tak karuan, hingga sebentuk wajah dengan senyum lebar di bibir berjalan ke arahku.
Dengan senyum terkulum, aku memandang suamiku dari ujung kaki hingga kepala. Diusia empat puluh tahun, ia tak terlihat menua. Tidak ada sehelai uban pun di kepalanya. Mata teduhnya masih membuat kakiku melemah. Senyum yang selalu mengalihkan konsentrasiku, menjadi penghibur kala semua hal membuatku kewalahan. Sama sepertiku, Mas Yudha berkulit putih bersih. Walaupun pekerjaan terkadang menuntutnya ada di bawah sinar matahari, kulitnya tak terlihat menggelap. Tubuh tinggi tegapnya, membuatku tak bisa berpaling. Aku tahu tidak ada tumpukan lemak di balik kemeja biru yang dipakainya malam ini. Gugup yang terasa saat ini, membuatku tak sabar ingin segera memeluk dan mencium bibirnya.
Aku masih menatapnya dengan senyum terkulum ketika dari ujung mata kulihat seorang perempuan tak melepas pandangan dari suamiku. Menilainya. Melihat suamiku! Pria milikku! Senyum simpul di bibir perempuan itu membuatku ingin mendatanginya, mengoyak mata dan bibirnya. Berteriak di depannya hingga semua orang mendengarnya, He’s mine, back off!
“Sayang, kenapa?!” Suara Mas Yudha mengalihkan pandanganku. “Hey,” katanya lagi menangkup pipiku. Menarik perhatianku dari perempuan yang tak melepas pandangan dari Mas Yudha. Walaupun saat ini aku melingkarkan lengan di pinggang rampingnya. Darahku semakin mendidih.
Kualihkan pandangan dan menatap Mas Yudha dengan marah membara di dada. “She’s checking you out!” jawabku ketus. “Enggak ada perempuan yang boleh ngecek punyaku!” jawabku menarik pandangan Mas Yudha yang hendak menoleh ke arah perempuan itu.
“Sayang, kamu cemburu?!” tanya Mas Yudha terlihat geli.
“Iya, dong!” jawabku sambil menarik lengan Mas Yudha. “Ayo, pulang!” Membawanya menuju tempat parkir, menjauh dari perempuan berambut panjang yang kini tak terlihat kembali. Tidak ada yang boleh melihat suamiku dengan cara seperti itu. Hanya aku yang boleh melakukannya. Memikirkan hal itu membuat langkahku semakin cepat.
“Sayang, pelan.” Suara Mas Yudha tak membuat langkahku melambat. Bahkan saat ini aku hampir menariknya untuk mempercepat langkah.
“Sayang!” panggil Mas Yudha. Aku bisa mendengar nada geli di sana, dan aku tak peduli. “Sabar, aku enggak ke mana-mana, kok!”
Kubuka kunci mobil dan membuka dengan kasar pintu penumpang. Dengan tidak sabar menanti Mas Yudha membuka pintu mobil , memasukkan tas.
“Mas, cepetan!” rengekku membuat Mas Yudha tertawa. “Jangan ketawa!” hardikku yang sudah merasa tak nyaman.
Mas Yudha membuka pintu dan melirikku dengan penuh arti. Sebelum ia sempat membuka mulut, aku melewati konsol tengah dan berpindah ke atas pangkuannya. Menciumnya dengan keras tanpa jeda.
“Dia ngecek kamu!” geramku sebelum kembali mencium bibir penuhnya. “Dia ngelihat milikku!” kataku lagi. “Enggak ada yang boleh nikmati tubuh kamu, kecuali aku!” Bibir Mas Yudha menyambutku. Membalas lumatan bibirku dengan tak kalah menggebu. Ciumannya terasa kasar, tapi itu membuatku semakin tak bisa menahan diri. Rambut rapinya pun menjadi sasaran amukku.
“Sayang, aku punya kamu. Cuma punya kamu!” kata Mas Yudha membalas ciumanku, tangannya kini tak hanya berhenti di tengkukku.
“Buka, Mas,” pintaku saat Mas Yudha meraih kancing kemejaku. “Aku mau kamu, sekarang!” Cemburu membuatku tak sabar. Hanya satu yang kuinginkan saat ini,
“Sayang,” ucap Mas Yudha terdengar serak.
“Aku mau kamu sekarang, Mas!” Mas Yudha menarik lepas kemeja hingga beberapa kancing melayang entah ke mana. “Yang,” kata Mas Yudha tak kalah terengah-engah sepertiku.
“Aku udah basah, masukkan!” perintahku tak sabar sambil membuka ikat pinggang Mas Yudha.
“Mas,” renggekku ketika ia berlama-lama di dadaku. “Aku mau sekarang!” Aku merengek dengan suara serak menahan gairah yang membuatku tak bisa diam. Aku bisa merasakan cengkeraman di pinggangku, dan besok pasti membekas di sana. Aku tidak peduli, meski Mas Yudha meninggalkan tanda di sana. Aku membutuhkannya. Merasakannya memenuhiku.
“Yang, gimana kalau ada—”
“Enggak mau tahu! Aku mau kamu sekarang!” kataku tanpa peduli. Aku tahu parkir bandara sudah mulai sepi, dan saat ini aku tidak memerlukan waktu lama. Begitu juga dengan Mas Yudha.
Aku mendesah panjang ketika merasakan Mas Yudha memenuhiku. Untuk sesaat, pikiranku kosong hingga merasakannya bergerak. Cengekeram tangannya membantuku naik dan turun, membuat napasku semakin memburu.
“Mas,” ucapku merasakan kenikmatan yang selama lebih dari dua puluh satu hari hanya bisa kubayangkan. Meski tidak banyak ruang gerak, Mas Yudha bisa menunduk dan mengulum puncak dada, dan membuatku harus menahan diri untuk tidak meneriakkan namanya.
“Barengan, Yang,” ucapnya dengan geraman.
Tubuh kami bergerak seirama. Peluh bercucuran. Napas kasarnya membuatku semakin melayang. Terlebih lagi ketika ibu jari dan telunjuknya mencubit dan menarik puncak dadaku. Pedih dan diikuti rasa nikmat menghentakku. Membuatku tidak membutuhkan waktu lama. Kami berdua mendapatkan pelepasan setelah menahan lebih dari tiga minggu terpisah. Aku membuka bibir tanpa suara ketika gelombang itu menghanyutkanku. Mas Yudha membungkam bibirku dengan ciumannya, mencegahku berteriak. Mengigit bibirku tanpa peduli meski akan meninggalkan luka di sana.
Aku butuh menghapus rasa cemburu yang memenuhi hati sejak melihat perempuan itu mengeceknya. Menghapus semua kemarahan karena ketertarikan perempuan itu pada suamiku. Aku ingin orang lain tahu, dia milikku! Hanya milikku!
“Kamu kalau cemburu,“ kata Mas Yudha terkekeh disela napas pendeknya sambil menggeleng. “Orang lain kalau cemburu itu marah-marah. Banting barang atau apa gitu. Kalau kamu,” kata Mas Yudha sambil menyalakan mesin mobil. “Kamu kalau cemburu malah terangsang.”
Kulirik Mas Yudha tanpa malu. “Tapi suka, kan?!” tanyaku meraih tisu untuk membersihkan sisa-sisa percintaan singkat kami berdua. Aku tidak menyesal sudah menyerah beberapa detik lalu, meski saat ini kondisiku berantakan. Celana dalam entah ada di mana, karena aku melepas sesaat sebelum pindah ke atas pangkuannya. Beberapa kancing kemejaku terlepas. Dadaku terbuka dengan bra terangkat ke atas. “Aku berantakan, tapi puas.”
“Tapi suka, kan?” kata Mas Yudha membalik omonganku. “Jangan dibersihkan!” perintah Mas Yudha menahan lenganku. “Aku pengen kamu tetap merasakanku di sana,” perintah yang kuturuti dengan senang hati. Bahkan sesekali aku menggoda Mas Yudha dengan membawa tangannya ke inti tubuhku yang kembali basah.
Dengan satu tangan Mas Yudha mengarahkan mobil menuju rumah. Sesekali ia menarik tanganku dan meninggalkan ciuman di sana.
“Aku kangen,” ucapnya tanpa melepas pandangan dari jalanan yang sepi. “Kamu bikin aku keras ngelihat foto kirimanmu.”
Aku tertawa mengingat beberapa pasang baju tidur yang kubeli minggu lalu. Kata sopan tidak bisa menggambarkan lingerie yang kubeli, karena semuanya untuk memanjakan tubuhku, dan merangsangnya.
Aku menyukai memakai baju dalam seksi di balik bajuku, dan Mas Yudha tahu itu. Ia bahkan selalu memintaku mengirim beberapa foto setiap kali aku bersiap untuk ke luar. ‘Aku bahagia karena enggak ada yang tahu seseksi apa istriku di balik bajunya,’ ucap Mas Yudha setiap kali aku mengirim foto padanya.
Tidak ada yang berubah dari percintaan kami berdua selama ini. Meski semenjak menikah, kami berdua sering menghabiskan waktu terpisah. Pekerjaan Mas Yudha memaksa kami berdua hidup terpisah setiap dua puluh satu hari. Namun, itu tak membuat hubungan kami merenggang. Seperti yang terjadi beberapa saat lalu, seks tak pernah menjadi masalah.
“Aku enggak suka perempuan itu ngecek kamu, Mas!” kataku mengingat perempuan itu kembali. Ini bukan kali pertama aku cemburu. Bahkan setiap kali ada perempuan yang melihat suamiku, ada perasaan memiliki yang tidak bisa kubendung. Rasa yang tidak bisa kuhilangkan hingga merasakannya di dalam tubuhku. Membuatku meneriakkan namanya. Memenuhi pikirannya hanya dengan suara desahanku. Aku bukan istri posesif yang selalu ingin mengetahui di mana dia berada. Namun, setiap kali aku mendapati perempuan meliriknya, cemburu itu membuatku melupakan semua. Dan yang kuinginkan hanya satu, bercinta dengannya hingga kami berdua kehabisan napas.
Mas Yudha menarik tanganku. “Aku punyamu. Apa perlu aku tato nama kamu di kening, biar semua orang tahu,” goda Mas Yudha. “Biar enggak ada perempuan yang ngelirik aku lagi karena di sini” kata Mas Yudha menunjuk keningnya. “Ada tulisan hak milik Febi.”
“Boleh boleh,” jawabku tertawa membayangkan hal itu. “Di dada kiri aja, cukup namaku, enggak perlu ada tato yang lainnya. Cukup namaku! Jadi enggak ada perempuan lain yang bakalan ambil milikku!” jawabku tegas. “Jadi kalau suatu saat kamu berpikir untuk selingkuh dariku, perempuan itu akan melihat namaku setiap berada di bawahmu!”
Mas Yudha melirikku tajam, ada sesuatu berkelebat di matanya. Sebelum aku sempat bertanya, apa pun itu sudah menghilang. Diganti dengan suara tawa mendengar angan-anganku. Mas Yudha bukan tipe pria yang akan merajam tubuhnya. Dengan alasan apa pun, ia tak akan menorehkan tinta di sana. Meski aku tak menampik bayangan tato menutupi punggung lebarnya.
“Seksi deh, kayaknya, Mas,” ucapku.
“Emoh!” jawabnya ketika mobil berhenti di depan rumah. Menanti pagar sepenuhnya terbuka sebelum masuk dan berhenti tepat di depan pintu utama.
Kami berdua beruntung mendapatkan rumah dengan halaman luas di dalam komplek yang sebagian besar dihuni oleh warga keturunan Cina. Tidak ada tetangga usil yang membuat kami berdua sungkan saat pulang menjelang pagi. Tidak ada ibu-ibu yang berkumpul di depan rumah membuatku harus menyapa. Di sini, kami hanya tinggal berdua, pembantu yang datang beberapa hari sekali pun sengaja kuliburkan setiap kali Mas Yudha ada di rumah. Semua karena aku tak ingin ada orang lain yang mengganggu waktuku dengannya.
Rumah satu lantai dengan atap tinggi membuat sirkulasi udara terjaga. Tidak terlalu panas ketika memasuki musim kemarau. Jendela berkusen warna putih yang mengelilingi rumah semakin membuat rumah terasa lapang. Aku jatuh cinta pada rumah ini semenjak pertama kali Mas yudha membawaku. Tempat kami berdua pulang dan memadu kasih setiap ada kesempatan.
“Aku mau kamu,” bisik Mas Yudha tak lama setelah melewati ambang pintu.
Jantungku meloncat tinggi dengan bahagia. Terlebih lagi ketika melihat binar bahagia di mata Mas Yudha saat aku berjalan mundur menuju kamar. Pandanganku terpaku padanya, dengan pelan kulepas kemeja yang kehilangan beberapa kancingnya. Membuka kait bra dan melempar ke arahnya. Rok sepanjang lutut yang kini teronggok di lantai pun membuat Mas Yudha semakin bersinar.
“On your knees, Baby! Aku kangen bibir kamu!”
Happy reading guys.
Buat yang katanya jatuh cinta sama Arka, aku simpen dia dulu ya. Teman-teman kenalan dulu sama Yudha.
Love, ya!
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top