2. Selalu Bersinggungan Jalan
"Disinisin nggak tadi?" tanya Putra pada Rendra.
"Apanya?"
"Kowe tadi sama si Rumi."
Rendra mengerutkan kening lalu mengedarkan pandangan. "Rumi siapa?"
"Ini si Rumi," tunjuk Putra ke arahku. "Tadi kalian kan berdiri sebelahan, tho? Kirain udah kenal."
"Ketemu aja baru hari ini," jawab Rendra pelan.
"Masa nggak tahu kalau ini sahabatnya Sara? Nama lengkapnya Arumi siapa, Yang?" tanya Putra pada Samira. Tetapi dia sibuk mengunyah makanan dalam mulutnya, sehingga Samira tidak menjawab. Aku sendiri malas merespons dan lebih memilih bersikap seolah aku tidak ada di sini meski terang-terangan lagi dibicarakan.
Kami berempat duduk di salah satu meja yang sudah disiapkan untuk tamu undangan dan sedang menyantap menu prasmanan. Setelah capek berfoto beberapa kali, membuat boomerang, membuat video sinematik untuk diunggah di media sosial, akhirnya tugasku sebagai maid of honor untuk hari ini selesai sudah.
Sebagian besar anggota keluarga Putra, khususnya yang senior, sudah bertolak kembali ke hotel tempat mereka menginap malam ini untuk persiapan besok. Karena hari baik untuk pernikahan Samira dan Putra jatuh di hari Jumat, maka hari ini hanya dilaksanakan akad nikah saja, lalu besok pukul sepuluh pagi resepsi diselenggarakan di ballroom hotel Magani. Keluarga besar Putra dari pihak ibunya berasal dari Sleman, sedangkan pihak bapak berasal dari Klaten. Sedangkan keluarga Samira kebanyakan tinggal di Surabaya dan kabupaten-kabupaten kecil sekitarnya, sehingga jarak antara mereka cukup dekat. Dengan latar belakang Jawa Tengah yang kental, satu-satunya alasan mengapa Putra bisa lahir dan besar di Surabaya, adalah orang tuanya bekerja dan punya rumah di sini. Itu sebabnya, tidak mudah mengumpulkan seluruh anggota keluarga dari kedua belah pihak orang tua. Aku tahu banyak tentang Putra dari bibir Samira langsung, tetapi dia belum tentu tahu apa-apa tentangku.
Aku yang sibuk menyantap zuppa soup mengabaikan obrolan antara keduanya. Dengan satu tangan yang terbebas, kukeluarkan ponsel dari dalam tas jinjing lalu membuka akun media sosial untuk menyibukkan diri. Aku tahu ini tidak sopan dan melanggar etika di meja makan, tetapi aku tidak ada pilihan lain untuk terhindar dari rasa canggung. Putra mungkin menyimpan sedikit dendam padaku sebab aku selalu cuek dan menolak akrab dengannya selama bertahun-tahun dia memacari Samira, jadi dia selalu mencoba mengulik tentangku setiap kali ada kesempatan.
"Bukannya nama dia tadi Ruru?" tanya Rendra, kali ini pandangannya tertuju padaku. Melihat kebingungan Rendra, Samira yang sejak tadi hanya terdiam kini tertawa lepas.
"Ruru itu panggilan khusus dari aku buat Rumi," jelas Samira setelah menyelesaikan makannya. "Nggak ada yang boleh manggil dia begitu, bahkan ibunya pun nggak boleh. Karena kami sudah kenal sejak masih balita, jadi waktu kecil aku yang cadel nggak bisa ngomong Rumi. Jadilah panggilannya Ruru sampai sekarang. Kamu juga nggak boleh panggil dia Ruru, Ndra. Cuma aku aja!"
"Oooh ..." gumam Rendra lirih. Dengan cuek, ia kembali melanjutkan makannya meski ia makan dengan sangat pelan. Entah, karena dia pernah belajar etika di meja makan-tidak seperti Putra yang makan dengan barbar-atau dia mungkin sedang tidak lapar.
"Sabar ya, Ren," ucap Putra lagi.
"Kenapa aku harus sabar?" sahut Rendra meski intonasi suaranya masih sama datar seperti sebelumnya. "Aku nggak diapa-apain kok sama Arumi. Nggak judes kok anaknya."
"Masa?" seru Putra dengan nada dilebih-lebihkan. "Jadi Arumi bukan tipe orang yang judes?"
Samira menyodok rusuk Putra dengan sikunya, "Heh! Nggak boleh main tuduh Rurunya aku sembarangan."
"Bukan gitu, Yang. Aku nih ya... udah pacaran sama kamu bertahun-tahun, dari SMA sampai kuliah, lalu kerja, bahkan aku juga nungguin Ayang lulus kuliah S2 dulu sambil kerja dan nabung buat biaya nikah. Tapi nggak satu kalipun sahabat terbaik Samira yang ini mau nongkrong bareng kalau ada aku di sana. Hitung aja sendiri, udah 10 tahun lebih aku nggak pernah bisa ngobrol-"
"Emangnya ada yang salah?" potong Rendra cepat.
"Kowe nggak ngerasa ini aneh?"
Rendra mengangkat bahu, "Mananya yang aneh?"
Putra menggelengkan kepala dengan cepat, lalu ia mengalihkan pandangan padaku. Dengan sendok di tangan, aku curi sebutir bakso dari mangkuk Samira lalu memasukkan ke dalam mulut. Setelah aku mengangkat wajah, barulah kusadari jika Rendra sedang mengamati kelakuanku tadi.
"Kenapa sih Non, nggak pernah mau diajak nongkrong bareng aku?" tanya Putra. "Masa Samira aja udah kenal akrab sama Rendra, tapi aku nggak kenal dirimu sama sekali."
Dengan mulut penuh karena aku mengunyah bakso curian tadi secara lambat, aku hanya mengangkat bahu ditanya demikian. Aku kembali fokus menatap layar ponsel dan mengabaikan keberadaan Putra serta Rendra yang sibuk mengobrol sendiri. Namun, ucapan Rendra yang seolah memihak padaku membuatku kembali menatap ke arah mereka.
"Kalau kowe genit-genit gitu sama Arumi, pasti dia nggak nyaman, lah. Ngapain juga panggil-panggil 'Non' ke orang lain, padahal baru aja tadi sah." ucap Rendra membelaku. Aku sedikit terkejut melihat seseorang yang tidak kukenal rela mengambil sikap untuk berada di pihakku.
"Setuju! Emang Putra ini suka genit sama cewek cantik."
Samira mengulurkan tangan ke arah Rendra untuk melakukan high five, yang disambut oleh pria itu. Tidak seperti Putra denganku yang memiliki jarak, Rendra dan Samira tampaknya akrab-akrab saja, seolah sudah sering berinteraksi sebelumnya. Melihat arah pandanganku, Samira berinisiatif untuk memperkenalkan aku dan Rendra secara resmi.
"Oh ya, kalian belum saling kenal, ya? Bapak ini namanya Narendra, temen dekat Putra," ucap Samira. "Meski nggak lebih dekat dari pertemanan kita yang sejak bayi, tapi dia temen seangkatan di jurusan yang sama dengan Putra waktu kuliah, dan ngekos di tempat yang sama juga karena sama-sama anak rantau." Aku masih ingat empat tahun yang berat bagi Samira setelah kami lulus SMA. Meski berdomisili di Surabaya, tetapi Putra kuliah di UI, sedangkan kami berdua diterima di UNAIR, universitas yang hanya berjarak beberapa kilometer saja dari domisili kami. Sehingga, Putra dan Samira harus LDR selama empat tahun mereka kuliah dan hanya bisa bertemu saat libur kuliah saja.
"Alumni UI juga?" tanyaku setelah selesai makan. Rasanya tidak sopan jika sudah diperkenalkan dengan baik, tetapi aku tidak merespons ramah. Rendra mengangguk pelan. Kami sekali lagi saling berpandangan untuk beberapa saat lalu sama-sama memalingkan wajah.
"Setelah kenal akrab, barulah Putra sama Rendra sadar kalau mereka sama-sama anak Klaten. Jadi, kalau Putra nggak pulang ke Surabaya, dia pasti pulang ke rumah neneknya di Klaten bareng Rendra, karena desa mereka lumayan bertetangga. Aku udah pernah beberapa kali ketemu sama Rendra. Nggak ada kamu, pastinya, karena kamu selalu banyak alesan tiap kali aku ajak jalan rame-rame sama Putra."
"Ooh..." gumamku lirih. Tampak kurang puas dengan reaksiku, Samira kembali berceloteh.
"Rendra ini duda, baru aja cerai dari istrinya. Anaknya satu, cewek umur balita. Karena dia kerja di sini dan punya rumah juga di sini meski masih nyicil, jadi ibunya dibawa ke sini buat momong Nirmala. Kebetulan, Bapaknya Rendra juga udah nggak ada jadi dari pada ibunya sendirian, diajaklah ke sini."
"Gaji sebulannya tujuh sampai sepuluh juta, nggak punya mobil tapi punya Vesmat," celetuk Putra. "Oh iya, cerainya karena mantan istrinya kecantol sama kepala bagian di tempat dia kerja, akhirnya dia menuntut cerai."
Samira melotot ke arah Putra, "Penting ya ngasih tahu info kayak gitu?"
Putra terkekeh melihat kemarahan Samira, "Habisnya, kamu ceritain soal Rendra kayak biro jodoh gitu."
Aku tersedak kuah sup mendengar ucapan Putra. Samira buru-buru menarik selembar tisu lalu menyodorkan padaku, serta dengan sigap menepuk-nepuk punggungku lembut.
"Gara-gara kamu nih, Ruru jadi keselek. Tanggung jawab!" seru Samira geram. "Ambilkan air putih buat Ruru." Kepadaku, Samira bertanya, "Nggak apa-apa kan, Ru? Airnya masuk ke hidung nggak?"
Aku menggeleng ditanya begitu. "Aku nggak apa-apa, kok."
Samira berhenti menepuk punggungku, begitu juga aku menyingkirkan tisu pemberian Samira setelah digunakan untuk mengusap bibir dan daguku ke dalam tas jinjing, agar nanti ketika aku menemukan tempat sampah, bisa langsung kubuang. Pada saat ini, aku menyadari jika saputangan yang tadi Rendra pinjamkan padaku masih ada di sana. Tetapi, aku tidak mungkin mengembalikannya dalam kondisi kotor karena ada sedikit noda eyeliner dan lip gloss-ku yang menempel di sana.
"Mana sih, si Putra lama banget?" Samira mengedarkan pandangan lalu menyadari jika Putra sedang mengobrol dengan Pak Soedarso, ketua RT kami. "Haduh, anak itu. Tunggu di sini ya, Ru," katanya padaku seolah aku anak kecil dan dia mamanya. Samira buru-buru menjinjing ekor bajunya yang menjuntai, kemudian beranjak menghampiri Putra.
Setelah kepergian mereka berdua, tinggal aku dan Rendra saja yang duduk di meja ini. Suasana canggung kembali menggelayut seperti saat kami berdiri bersebelahan setelah akad nikah Samira. Rendra meletakkan sendok di piringnya yang sudah bersih lalu berdeham.
"Mau es buah?" tawarnya. Aku agak terkejut dia mengajakku bicara terlebih dahulu. Sambil menggelengkan kepala, aku menolak tawaran tersebut.
"Besok ... kamu masih datang ke acara resepsi, kan?" tanyaku takut-takut. "Saputangannya aku cuci dulu di rumah."
Rendra mengangguk, "Gampang. Nggak dibalikin juga nggak apa-apa, kok. Di rumah masih banyak."
Ah... karena dia punya anak kecil, ya. Tetapi, bukannya lebih efektif kalau bawa tisu ketimbang saputangan begini untuk anak-anak?
Seolah bisa membaca pikiranku, Rendra kembali bicara. "Kalau saputangan kan nggak bisa dirobek-robek sama anak kecil, jadi meski kekurangannya nambahin cucian di rumah, tapi dia nggak bisa bikin tisu suwir kalau kita lagi lengah."
Aku memberanikan diri menatap matanya. Terlihat jelas jika Rendra seorang bapak yang siap secara fisik dan mental untuk menjadi orang tua. Berbeda dengan seseorang yang kukenal dan selalu menghabiskan waktu akhir pekannya untuk mengurung diri di kamar dan bermain PS5. Iya, lagi-lagi aku membandingkan Rendra dengan mantan tunanganku si Dani. Barulah setelah rencana pernikahan kami batal, aku melihat banyak sekali cela kurang baik darinya. Mungkin karena itu, Samira tak pernah suka dengannya. Bukan karena dia dendam akibat aku memperlakukan Putra seperti itu, tetapi bisa jadi Samira lebih peka dalam melihat tanda-tanda red flag pada diri Dani.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top