C h a p t e r 3
Happy Reading.
Maaf typo.
****
Veni menatap bangunan yang menjulang tinggi di hadapannya. Matanya selalu mengamati semua hal yang ia lewati. Tapi, hal itu tak membuatnya tertarik karena ia lebih tertarik dengan sikap Regi yang terlalu diam dan hal itu membuatnya gelisah.
Veni merasa semenjak dari tempat terakhir mereka kunjungi, Regi terihat berbeda.
Mereka berdua memasuki lift, di dalam lift keduanya hanya diam, dan hal itu membuat Veni melirik ke wajah Regi. "Kau tidak apa-apa?"
Regi mengangkat sebelah alisnya, "Memangnya aku kenapa?"
Veni menggeleng, "Entahlah, aku merasa kau sedikit berbeda. Apa karena kau lelah?"
Regi menarik napas, "Mungkin. Tapi kau tidak usah khawatir, aku baik-baik saja," ucapnya sambil tersenyum.
Veni menarik napas lega setelah melihat senyum Regi, walaupun hatinya merasa belum puas dengan jawaban Regi. "Sebagai tanda terima kasihku karena kau sudah banyak membantu ku hari ini, dengan senang hati aku akan memijat kakimu, bagaimana?"
Regi menggeleng cepat. "Tidak, terima kasih! Boleh saja tanganmu kecil tapi aku heran, bagaimana bisa dibalik tangan kecilmu itu tersimpan kekuatan yang tidak disangka. Pijatanmu itu luar biasa sakit. Aku tidak mau jika harus menanggung nyeri selama berhari-hari."
Veni mencebik. "Itu karena kau tidak terbiasa. Dulu, sewaktu mendiang nenek masih hidup, dia suka sekali dengan pijatanku." Veni terkekeh pelan.
"Tapi tidak denganku."
"Kau akan menyesal telah menyia-nyiakan kesempatan bagus ini."
Regi bergidik merinding saat membayangkan waktu pertama kali Veni memijatnya. Selama dipijat Veni, ia selalu teriak-teriak dengan histeris, bukan hanya geli yang ia rasakan tapi juga rasa sakit dan nyeri. Bahkan ia harus menderita selama berhari-hari setelah dipijat Veni. Berbeda dengan Veni, gadis itu dengan semangatnya memijat Regi tanpa menghiraukan teriakan-teriakan Regi yang menyuruhnya berhenti. Penyihir jahat memang.
"Aku akan menyesal kalau aku menerimanya."
Veni yang mengingat hal itu hanya bisa tertawa lepas.
Regi mendelik tajam ke Veni yang sedang menertawakannya. "Ck, kau bener-bener menyebalkan."
"Maafkan aku, maafkan aku. Aku bener-bener tidak bisa berhenti tertawa," ucapnya disela tawanya.
Regi hanya mendengus tapi sudut bibirnya terangkat.
Ting
Pintu lift terbuka, masuklah seseorang yang membuat Veni langsung menghentikan tawanya. Sedangkan Regi hanya diam.
"Pak Raka?!" desis Veni pelan tapi cukup membuat pria itu menatapnya sejenak lalu memilih diam dan berdiri di tengah-tengah mereka.
Veni dan Regi bergeser sedikit.
"Pak Raka tinggal di sini juga?"
Raka mengangguk.
Veni hanya manggut-manggut mengerti. Selepas itu suasana menjadi hening sampai dilantai yang mereka tujuh.
Saat Veni dan Regi keluar, ternyata Raka juga keluar. Veni tidak ingin bertanya lebih lanjut karena Raka sendiri juga pasti enggan untuk menjawabnya. Ia hanya melirik dengan ekor matanya karena penasaran.
Regi masuk lebih dulu ke dalam apartemen saudaranya, tapi Veni masih berdiri di depan pintu memperhatikan Raka yang ternyata tinggal di sebelahnya.
Sebelum masuk, Raka melihat ke arah Veni. "Kau tidak masuk?"
"Ah, i-iya. Saya akan masuk. Selamat malam, Pak Raka," ucap Veni dengan gugup dan malu karena diam-diam memperhatikan Raka.
"Hem."
Veni segera masuk dengan berlari kecil dan menutup pintu itu dengan sedikit keras. Entah kenapa, jika berhadapan dengan Bossnya itu membuatnya salah tingkah.
Setelah Veni menghilang, Raka tersenyum kecil dan menggeleng kepalanya. "Lucu sekali."
****
Setelah melaksanakan shalat subuh, Veni berniat keluar untuk lari pagi. Sebelum keluar, ia menunggu Regi yang belum selesai melaksanakan shalat subuh.
Veni mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, walaupun sudah tidak ditempati hampir dua tahun lamanya, tapi masih terawat dengan baik. Veni tersenyum.
"Kau mau ke mana?" tanya Regi saat melihat Veni sudah berganti baju.
Veni berdiri, "Lari pagi, kau mau ikut?"
Regi menggeleng malas.
"Baiklah, aku pergi!"
"Jangan sampai tersesat!" ucap Regi sambil berjalan ke arah dapur.
"OK!" balas Veni sambil teriak. Ia melanjutkan langkahnya.
Ketika ia baru saja keluar dari dalam apartemen, ia melihat Raka juga baru saja keluar dari dalam.
"Salamat pagi, Pak Raka," sapa Veni sopan.
Raka menatapnya sejenak lalu mengangguk pelan dan melanjutkan langkahnya memasuki lift yang akan membawanya turun.
Veni sebenarnya sedikit gugup saat berjalan di belakang Raka. Sesaat, ia mengamati penampilan Raka yang memakai sweeter dan celana training panjang. "Pak Raka mau olahraga juga?"
"Hemm," jawabnya dengan deheman.
Veni menggembungkan pipinya, kesal sekali padahal ia sudah berbaik hati untuk bersikap ramah. Veni menarik napas dalam-dalam, mencoba bersabar.
Pintu lift terbuka, Veni sengaja menunggu Raka keluar terlebih dahulu.
Raka melangkah keluar dan mulai berlari kecil meninggalkan Veni di belakang.
Veni menghembuskan napas lega. Entah kenapa ia sering sekali menarik napas, menahan napas dan menghembuskan napas dalam-dalam jika berhadapan dengan Raka.
Veni menggelengkan kepalanya, ia mulai berlari kecil mengikuti langkahnya.
****
Sudah dua kali Veni memutari jalan ini dan sayangnya ia kembali ke titik awal. "Bagaimana ini, apa aku tersesat?" gumamnya pelan.
Veni menatap taman di depannya dengan bingung. Menoleh ke kanan dan ke kiri, kenapa tempat ini terlihat sama? Bagaimana bisa ia melupakan jalan pulang menuju ke apartemen saudara Regi.
Padahal ia merasa kalau ia tidak pergi terlalu jauh dari apartemen tempatnya keluar pertama kali. Tapi lihat, kenapa ia tidak bisa menemukan gedung setinggi itu? Ah, kenapa selalu seperti ini. Veni mengerang kesal, bagaimana jika Regi sampai marah karena ia terlambat datang karena tersesat?!
Veni ingin kembali melangkah tapi ia takut akan semakin jauh tersesat. "Sebenarnya ini di mana sih. Terus kenapa juga gak ada orang?" sungut Veni ketika sadar kalau tidak ada orang disekitarnya.
Veni mulai gelisah, bagaimana jika ada orang jahat? Veni memutuskan lari sekencang mungkin dari jalan itu.
"Argh!" pekiknya ketika tubuhnya menabrak dada bidang yang kokoh. Veni hampir saja terjatuh ke tanah jika tidak ada lengan yang menahan pinggangnya.
"Apa kau tidak bisa lari pelan-pelan, Nona?"
Veni meringis pelan, ia mulai mendongak. "Pak Raka!" pekiknya. Dan tanpa sadar kedua tangannya pun melingkari pinggang Raka. Kali in Veni merasa senang karena orang yang ia temui adalah Raka. "Aku takut, Pak. Tadi aku tersesat di jalan yang sepi sekali."
Raka mencoba melepaskan pelukan Veni ditubuhnya. "Veni lepaskan aku," ucap Raka sedikit canggung. Bagaimanapun ia tidak terbiasa dengan hal seperti ini.
Veni yang mulai tersadar, ia segera menjauhkan tubuhnya dengan gugup. "Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar terbawa suasana." Veni menundukkan kepalanya malu.
Raka lega saat Veni sudah menjauh darinya. "Baiklah, sebaiknya kita kembali. Kau masuk pagi, kan?"
"Iya, Pak. Sekali lagi Maafkan saya, Pak."
"Hem."
Setelah sampai di depan gedung apartemen, Veni tersenyum lebar. Akhirnya ia sampai juga. Veni menoleh ke arah Raka yang menatapnya geli. Veni hanya memanyunkan bibirnya.
"Bapak tidak tanya kenapa saya ada di sini?" tanya Veni basa-basi.
Raka mengangkat alisnya. "Tidak. Itu jelas bukan urusan saya."
Lagi-lagi Veni harus merutuki kebodohannya. Bisakah ia jangan bertanya lagi kepada pria dingin di sampingnya ini. Veni mengalihkan pandangannya ke arah basement gedung putih di depannya. Dari jauh ia melihat sepasang kekasih sedang berpelukan dengan erat. Veni tersenyum tipis ketika sang lelaki melepaskan pelukannya dan membuka kan pintu mobil untuk mempersilakan wanitanya masuk terlebih dahulu. Setelah itu, pria itu berlari kecil memutari mobilnya.
Deg!
Jantung Veni seperti dipukul. Matanya membelalak kaget saat melihat wajah yang tak asing dalam hidupnya. "Dion?" desisnya pelan.
Veni menggelengkan kepalanya, ia takut salah lihat. "Tidak, tidak mungkin." desisnya lagi.
Ketika Veni ingin memastikan pria itu Dion atau bukan, mobil hitam itu sudah meluncur pergi meninggalkan basement gedung putih itu.
Veni terdiam di tempatnya, perasaan gelisah memenuhi rongga dadanya. Pria itu jelas sekali seperti Dion. Tapi Dion sekarang lagi dinas di luar kota, bagaimana mungkin Dion ada di apartemen sepagi ini?! Veni menggelengkan kepalanya untuk mengusir segala pikiran negatif yang mulai muncul. Jelas sekali itu bukan Dion, mungkin hanya orang yang kebetulan mirip dengan Dion. Pasti seperti itu, pikir Veni dalam hati.
Raka menoleh kebelakang karena tidak mendengar langkah kaki Veni. Pria itu mengerutkan keningnya saat melihat Veni hanya terpaku diam melihat ke sisi jalan tanpa mengedipkan matanya. "Apa yang gadis itu pikirkan?!" desis Raka dalam hati.
"Kalau kau masih ingin di sini, aku duluan," ucap Raka sambil kembali melangkah.
Veni hanya mengangguk pelan dan berjalan dengan lemah. Entah kenapa perasaannya sedikit gelisah.
Mereka berdua berjalan dengan keadaan hening. Raka sesekali melihat ke wajah Veni yang selalu menunduk. "Kau tidak apa-apa?" tanya Raka pelan.
Veni sedikit tersentak kaget tidak menyangkan Raka bertanya kepadanya. Veni tersenyum dan menggeleng. "Saya tidak apa-apa, Pak Raka. Terima kasih karena bapak sudah menghawatirkan saya," jawab Veni dengan malu.
"Saya tidak mengkhawatirkanmu, Veni. Hanya saja kau terlalu diam. Dan itu terlihat, aneh.. " pintu lift terbuka, Raka pergi begitu saja mendahului Veni yang masih mengangah tidak percaya bahwa dirinya disebut aneh hanya karena diam saja.
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top