The Beauty and That Boy: 0. 4 (end)

Setelah sepuluh hari dirawat akhirnya nenek diperbolehkan pulang. Changbin merapikan bawaan nenek saat Seeun tiba dan langsung memeluk nenek. Nenek sempat kebingungan tapi setelah itu mengusap surai panjang Seeun. Salah satu hal yang sangat Seeun rindukan.

"Kamu anak yang baik, terima kasih telah menolong nenek gadis cantik." Nenek mengusap-usap punggung Seeun lembut. Changbin melihat pemdangan itu dalam diam. Perasaan anehnya kembali muncul.

Malam itu Seeun ikut mengantarkan nenek dan Changbin pulang. Ia bahkan izin untuk mampir sejenak. Seeun dan nenek benar-benar akrab. Terlihat kedunya tertawa bahagia hanya karena menonton acara komedi di televisi. Saling mengomentari pemainnya yang kadang terlihat benar-benar lucu atau terlihat bodoh.

Changbin teringat dengan malam-malam sebelumnya bersama nenek. Meski ia sangat bahagia menikmati makan malam bersama nenek, Changbin sadar dia tidak pernah tertawa selepas itu bersama nenek. Meski nenek tertawa sambil mengomentari kelakuan pemain di dalam televisi, Changbin hanya terdiam seraya memandang wajah nenek yang membuatnya tenang.

Changbin mulai menyadari apa itu perasaan aneh yang ia rasakan. Ketulusan.

Changbin memutuskan keluar rumah untuk menghirup udara segar. Ia duduk di atas dipan seraya menarik napas panjang, matanya memandang langit hitam yang tampak kosong tanpa bintang ataupun bulan, meski begitu pijaran lampu-lampu dari pusat kota membuat malam ini penuh warna.

Suara derap langkah terdengar membuat Changbin menurunkan kepalanya dan mendapati Seeun hendak duduk di sampingnya. Seeun mengikuti kegiatan Changbin sebelumnya---memandangi langit dalam diam.

Mereka saling diam untuk beberapa saat, bahkan setelah percakapan di taman tempo hari keduanya jadi saling mendiami. Changbin masih berusaha memahami perasaan Seeun dan menyesuaikannya dengan perasaannya. Sejujurnya Changbin belum siap untuk kembali ke kehidupannya, dia takut rasa sakit itu kembali, ia takut kembali menjadi pecundang yang dimanfaatkan orang-orang di sekitarnya.

Changbin hanya ingin hidup bebas.

"Changbin," panggil Seeun kemudian menyerahkan buku catatan bersampul hitam yang tampak lusuh.

Changbin menerima buku itu dan membukanya, di sana terdapat banyak coretan bait-bait kalimat maupun barisan not yang sedikit berantakan karena dihapus dan ditulis secara berulang-ulang. Changbin membuka halaman demi halaman, dan ia sadari sudah lama melupakan hobinya itu.

Sejak bertukar kehidupan dengan Seeun, Changbin seakan-akan sedang bermeditasi, dia melupakan banyak kegiatan dunia, selain sekolah, belajar, dan membantu nenek. Dia melupakan apa yang dia sukai, apa minatnya, dan mimpi besarnya. Satu-satunya yang ia lakukan adalah menenangkan diri.

Changbin menatap Seeun yang juga tengah menatapnya. "Dari mana kamu dapatkan ini?" Changbin kira, setelah mereka bertukar kehidupan, barang-barangnya juga ikut menghilang atau tertukar karena seingatnya kebutuhan sehari-hari mereka otomatis tertukar.

"Sejujurnya, aku juga terkejut karena masih menemukan jejakmu di rumah itu, ya setidaknya meski jejak itu tertinggal, hanya aku yang menyadari, tapi ini tidak bukan aku yang menyadarinya."

"Maksudnya?" Changbin mengerutkan kening.

"Aku dapat itu dari ibu, ibumu. Meski ingatannya tidak utuh, ibu mengira aku tertarik musik. Bahkan sudah hampir satu bulan aku mengikuti kelas piano, karena saat ditanya aku jawab aku tertarik dengan piano."

Changbin terdiam, ingatannya terbawa pada ulang tahun Seeun beberapa waktu lalu. Nenek juga mengira bahwa ulang tahun Seeun adalah ulang tahunnya, bahkan tanda di kalender tidak hilang. Changbin tidak terlalu memikirkan hal ini sebelumnya, tapi setelah mendengarkan cerita Seeun tentang ibunya, ia mulai menebak-nebak, pertanda apakah ini?

***

"Aku tidak yakin dia akan kembali," ungkap Changbin saat diirinya dan Seeun kini berada di lokasi dulu bertemu dengan si orang aneh yang menukar kenyataan hidup mereka.

Seeun berjalan beberapa langkah lagi sampai di persimpangan, dulu tendanya berdiri tepat di tempat ia berdiri, tapi saat ini benar-benar kosong. Ia memandang kesekeliling, mungkin saja tenda itu berpindah tempat tidak jauh dari sana. Seeun menghela napas yang tidak menyerah berjalan lagi beberapa langkah. Nyatanya tempat itu bersih dan sepi. Seeun untuk kesekian kalinya, tak jauh darinya Changbin terlihat tenang duduk ditepi jalan memakan es krim yang ia beli dari mini market.

Seeun berjalan melangkahkan kakinya mendekati Changbin, dengan perasaan kesal yang menumpuk Seeun mendudukkan dirinya di samping Changbin. Sebenarnya ia ingin menendang Changbin agar bergerak ikut mencari tenda si orang aneh sepertinya, tapi laki-laki itu menyodorkan es krim yang masih terbungkus padanya.

"Makan dulu, cuaca siang ini panas sekali," ujarnya. Seeun menerima es krim itu, langsung membuka bungkusnya dan mulai memasukkannya ke dalam mulut. Seketika sensasi dingin eskrim memenuhi rongga mulutnya, yang dengan ajaibnya ikut mendinginkan kepalanya yang dari tadi memanas.

"Apakah kita cari ke tempat lain?" usul Seeun.

"Kemana?"

"Ke tempat-tempat yang memungkinkan, mungkin dia sedang mencari mangsa di tempat lain."

Changbin menghabiskan potongan terakhir es krimnya, memainkan stik es krim di tangannya seraya berpikir.

"Bukankah kedatangannya adalah keajaiban?" tanya Changbin yang dijawab anggukan oleh Seeun.

"Benar, lalu?" tanya Seeun.

"Aku rasa butuh keajaiban juga untuk mendatangkannya kembali." Changbin melirik Seeun, dua sudut bibirnya tertarik, membentuk senyuman tipis.

Hal yang tidak pernah Seeun lihat sebelumnya---senyuman Changbin. Senyuman itu begitu tulus, itu yang Seeun rasakan membuatnya ikut menarik kedua sudut bibirnya.

-

-

-

Sebuah tepukkan terasa di bahu Seeun. Ia menengok dan mendapati seorang pria asing berbusana formal lengkap dengan kacamata hitam. Seeun kira itu adalah supirnya, tapi dugaannya berubah saat matanya menangkap sebuah tenda tak jauh dari tempat mereka duduk. Tenda itu berdiri sisi di persimpangan jalan, persis seperti waktu itu.

Seeun menepuk bahu Changbin di sampingnya dengan semangat, "Aku menemukannya, ayo!"

***

Empat bulan berlalu semenjak keduanya kembali ke kehidupan masing-masing. Sejujurnya tidak banyak yang berubah dari kenyataan hidup sebelumnya. Orang-orang yang dulu mengganggu Seeun maupun Changbin---mereka kembali. Para pemalak berkedok siswa itu kembali berusaha memoroti harta Changbin, maupun para gadis elite kembali berusaha merendahkan Seeun.

Hanya satu yang berubah dari kenyataan hidup yang pedih itu. Kini Seeun maupun Changbin tidak melaluinya sendiri. Mereka menjadi saling memiliki terikat dalam hubungan yang bernama teman.

Sejak keduanya terlihat sering bersama, siswa-siswa yang suka memalak Changbin tiba-tiba mendekatinya dan bertanya, bagaimana bisa Changbin dekat dengan seorang Seeun? Bahkan ada yang menduga bahwa Seeun mendekati Changbin karena ingin memanfaatkan uangnya. Mereka sering menghasut Changbin untuk menjauhi Seeun yang dianggap angin lalu olehnya, bahkan sesekali justru dijadikan senjata untuk menyerang balik.

"Bukan kah tidak baik berteman dengan orang-orang yang hanya akan memanfaatkanmu?" tanya Changbin yang membuat wajah mereka mengeras, tidak dapat menjawab pertanyaan Changbin yang akhirnya pergi satu persatu.

Begitupula dengan Seeun, semenjak berteman dengan Changbin, dia memiliki sosok yang melindunginya. Beberapa kali aksi para perisak itu dipergoki Changbin. Tidak mengeluarkan banyak kata atau tindakan, para gadis itu langsung menyingkir ketakutan.

Mungkin aura gelap yang muncul dari diri Changbin cukup membuat nyali mereka ciut. Dan sekedar informasi, kedudukan keluarga Changbin jauh di atas mereka, sehingga tidak ada yang berani berurusan dengannya.

Changbin dan Seeun saling melempar senyum, seakan baru saja berhasil menjaili orang-orang.

-

-

-

Keduanya tengah menikmati hembusan angin dan langit biru di atap sekolah. Seeun menyeruput susu stroberinya dengan nyaman, sedangkan Changbin memakan roti isi telur yang merupakan bekal Seeun.

"Changbin, apakah kau senang dengan kenyataan hidupmu sekarang?" tanya Seeun dengan tatapan tetap lurus memandang awan-awan yang bergerak pelan.

Changbin mengangguk, ia membawa potongan roti isi terakhir dan langsung melahapnya.

Seeun menoleh ke arah Changbin yang tampak senang menghabiskan bekalnya. Dia terkekeh melihat mulut pipi Changbin yang menggembung karena penuh dengan makanan.

"Pelan-pelan saja makannya," protes Seeun yang dihiraukan Changbin.

Changbin meraih botol minumnya, dan meneguk isinya, mendorong sisa makanan di kerongkongannya.

"Aku sangat menyukainya," ujarnya tiba-tiba.

Seeun mengerutkan kening, "Maksudnya?"

"Aku sangat menyukai kenyataan hidupku saat ini," jelas Changbin yang diikuti senyum lebarnya.

Seeun ikut tersenyum lebar. Keduanya kini memandang langit biru, menyaksikan awan-awan yang bergerak pelan.

End

Halo semua ^^

Cerita The Beauty and That Boy akhirnya tamat, setelah sekian purnama. T_T Sebenarnya cerita ini sudah rampung sejak lama, tapi aku yang males banget buat revisi dan masih ada rasa takut buat publish cerita membuat cerita ini lama menggantung.

terima kasih untuk teman-teman yang sudah baca cerita ini, terkhusus teman wattpadku yang suka baca tulisan-tulisanku, terima kasih banyak teman. *hug

Niat menulisku datang dan pergi begitu saja, hari sebelumnya semangat, tetiba keesokan harinya jadi malas dan takut lagi. Padahal salah satu impian terbesarku jadi penulis, tapi penulis mana yang tidak suka menulis???

teman-teman yang mengalami hal sama sepertiku, ayo kita saling menyemangati!!!

untuk itu, terima kasih banyak telah membaca cerita ini, sampai jumpa di cerita selanjutnya, kira-kira member stray kids yang mana lagi ya?hehehe

sampai jumpa ^^

face claim

Seeun (Stayc)

Changbin (Stray kids)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top