Epilog

Selamanya,
Sampai kita tua. Sampai jadi debu.
Ku di liang yang satu dan kau di sebelahku.

***

"Viktor?" gumam Gavin.

Sebenarnya, dia tak pernah menciptakan sosok Viktor. Di cerita asli The Beast & His Secret, Viktor tidak pernah ada. Hubungan Gavier dan Alenda juga tidak seharmonis itu. Setelah kepulangan Gavier 6 tahun setelahnya, harusnya dia mulai membenci Alenda yang menemukan ruang bawah tanah dan menyalahgunakan benda-benda berharga Gavier. Alenda asli yang membenci Gavier terus mencari cara dan massa untuk menjatuhkan Gavier dari takhta. Bahkan selalu menggunakan segala cara untuk membunuh pria itu. Hingga Alenda asli mati di tangan Gavier sendiri.

Tapi semua ceritanya berubah tiba-tiba dan bagaimana Zata bisa mengenal Viktor?

"Tunggu, jadi maksudmu ... kamu adalah Viktor Hephaestus?" tanya Gavin yang berusaha memperbaiki keadaan tangis-menangis ini.

Viktor tersenyum tipis. "Benar, Ayah. Aku ... sudah memimpin kerajaan ini dengan baik sesuai permintaan terakhir Ayah."

Tidak heran bagi Zata tentang Viktor yang mengira Gavin adalah Gavier. Zata bahkan tidak bisa membedakan mereka juga.

Di luar dugaan Zata, Gavin mengusap puncak kepala Viktor. "Bagus, Nak."

Zata menatap lekat Gavin. Dia mengirim sinyal untuk apa yang harus mereka lakukan sekarang?

"Ayah dan Ibunda tidak boleh pergi. Jangan ... jangan lagi!" Viktor menggeleng sambil menggenggam tangan Zata dan Gavin.

Zata semakin bingung. Lagi-lagi dia menatap Gavin agar pria itu tidak diam saja.

"Nak," kata Gavin. Viktor pun menatapnya. "Tempat ini bukanlah tempat ayah dan ibunda. Kami datang ke sini untuk melihatmu sebentar. Kami ingin tau apakah kamu hidup dengan baik atau tidak."

Zata hampir berpikir bahwa Gavin benar-benar Gavier. Caranya menyampaikan pesan dari hati ke hati pada Viktor membuat hatinya ikut menghangat.

"Jadi ... kalian hanya datang sebentar?" tanya Viktor dengan wajah murung.

"Benar."

Viktor tampak mengusap-usap air matanya lagi. "Be--begitu, ya? Baiklah, aku tidak akan menahan kalian. Tapi ... apa aku boleh memeluk kalian lagi?"

Zata mengangguk. "Tentu saja."

***

Zata dan Gavin berdiri di depan dua makam. Di atas makam itu ada bunga-bunga yang seperti masih baru ditaburkan. Tak lupa di nisannya tertulis,

Ratu Alenda Laqueen Celsion Hephaestus dan di sampingnya Raja Gavier Hephaestus.

Zata mendekat ke makam Alenda lalu berjongkok di sampingnya. Dia mengusap-usap tanah di atasnya seperti mengusap diri sendiri. "Hei, aku datang."

Zata mulai berbicara sendiri. Gavin yang masih berdiri di tempatnya semula memilih untuk memperhatikan.

"Terima kasih sudah mengijinkanku menempati posisimu untuk sementara waktu. Walau aku tidak bisa memasuki seluruh tubuhmu di cerita lain, tapi untuk cerita kali ini aku bisa menyelesaikannya dengan baik. Kita bahkan punya anak tampan bernama Viktor. Maaf kalau aku menamai dia seenaknya," ucap Zata yang mulai bercerita.

Mendengar itu, Gavin berjalan mendekat sampai di hadapan Zata. Tatapannya yang berkaca sekaligus intens membuat Zata bingung kalau-kalau dia baru saja melakukan kesalahan besar. "Ke--kenapa?"

"Apa kamu ... apa yang terjadi? Apa kamu ... memasuki tubuh Alenda?" tanya Gavin.

Zata menatap ke arah nisan Alenda. "Ya. Aku memasukinya. Aku tidak tau apa yang terjadi, tapi tiba-tiba saja sudah begitu. Orang yang kucintai ... dia adalah Gavier." Kini Zata beralih menatap nisan Gavier.

"Jadi kamu ... karena kamu," kata Gavin.

Zata yang tak mengerti hanya bisa mengangkat kedua alisnya. "Apa?"

"Kamu yang membuat cerita itu berubah. Kamu yang sudah menyembuhkanku," ucap Gavin sambil menutup wajahnya.

"Apa maksudmu?" tanya Zata lagi karena masih tidak mengerti.

"Aku adalah Gavier, Zata. Di cerita itu, aku adalah Gavier."

"Apa?" Zata semakin bingung saat mendengarnya.

"Jadi kamu ... jadi kamu yang selama ini ...." Saking lemasnya, Gavin sampai jatuh terduduk. Dia tak percaya bahwa sosok yang telah membantunya ke luar dari kegelapan, rasa takut, dan neraka itu adalah Zata. Alenda yang dia ciptakan ... benar-benar menarik Zata ke dunia ini. "... aku masih tidak ... ini seperti mimpi."

Zata bangkit dan berjalan mendekati Gavin. "Kamu adalah Gavier?" Zata menangkup kedua pipi Gavin.

Tangis Gavin pecah, persis saat dulu Zata mengijinkan Gavier menangis di pelukan Alenda, di bawah hujan.

Tanpa menunggu lama, Zata membawa Gavin ke dalam pelukannya. Dia mencium puncak kepala Gavin, membiarkan pria itu mengeluarkan segala keresahan dan kekhawatiran sebelumnya.

Entah mengapa, Zata jadi penasaran. Dia mengulurkan tangannya ke udara dan meminta dalam hati agar hujan bisa turun. Walau masih tidak bisa dipercaya, air hujan tiba-tiba berjatuhan. Kini Zata mulai percaya pada Gavin bahwa dia memiliki kekuatan yang sama.

"Zata ... aku ...."

"Jangan bicara. Peluk aku saja," ucap Zata. Tangis keduanya berhasil diredam oleh bisingnya air hujan.

Mereka saling memeluk dan menemukan satu sama lain.

Setelah lamanya berada di posisi itu, Gavin dan Zata pun duduk berhadapan dengan tangan saling menggenggam. Keduanya masih menatap satu sama lain tanpa ingin berpaling. Rasanya seperti mimpi. Mereka dipertemukan dalam dunia fiksi dan kembali ke dunia nyata. Sesekali Gavin jadi tersenyum sendiri.

"Kenapa?" tanya Zata yang jadi ikut tersenyum.

Gavin terkekeh. "Enggak, aku senang aja."

"Seneng karena bisa dapetin aku, ya?" ucap Zata yang diakhiri tawa.

"Hahaha ... iya." Gavin maju mendekat. Dia menggerai anak rambut Zata ke belakang telinga. "Terima kasih karena menerimaku saat itu. Mungkin ... kalau saat itu bukan kamu, aku masih ada di trauma itu."

"Aku juga minta maaf karena menjadi penyebab traumamu," kata Zata yang menikmati belaian tangan Gavin di pipinya. "Terima kasih karena kamu masih tetap hidup dan bertahan, Gavin."

Gavin terkekeh. "Sepertinya aku harus berterima kasih pada ibumu."

"Ibuku?"

"Karena melahirkanmu ke dunia ini," ucap Gavin. Sejak kali pertama melihat Zata, Gavin sudah jatuh cinta. Walau memang saat SMP, sifat Zata sangat buruk, tapi perasaannya tetap sama. Senyum gadis ini adalah dunianya. Gavin merasa seperti mendengar air yang mengalir tenang dan suasana hangat di musim semi kala merasakan perasaan ini.

"Zata," panggil Gavin lagi.

"Hm?"

Gavin menyentuh kedua pipi Zata. "Aku mencintaimu."

Zata terkejut mendengar pernyataan itu. Terakhir kali dia mendengarnya adalah saat Gavin masih menjadi Gavier.

"Aku mencintaimu seperti tawa anak-anak bermain layang-layang di sore hari."

"Aku mencintaimu seperti pelangi yang terbit dari hujan."

"Aku mencintaimu seperti rasa manis kue coklat yang baru matang."

Zata tersenyum mendengarnya. Lalu dia mencipratkan air hujan ke wajah Gavin. "Gombal!"

Gavin tertawa sembari mengusap wajahnya. "Apa kata-kataku terlalu berlebihan?"

Senyum Zata mengembang lebar. "Banget!" Zata beranjak dari tempatnya.

"Tapi itu nggak masalah karena aku tau kamu seorang penulis," lanjut Zata sembari mengulurkan tangannya ke depan Gavin. "Ayo pulang."

Gavin menatap wajah Zata yang tersenyum sangat cantik. Kalau dia bisa mengulang berapa kali pun waktu, dia akan selalu berharap untuk ditempat di situasi sekarang. Lantas tangannya menerima uluran Zata. "Aku sudah di rumah," ucapnya.

Situasi di sekitar mereka pun langsung berubah. Tampak Gavin yang duduk di kursi panjang jalan sedangkan Zata berdiri di depannya. Walau sudah mengetahui soal kekuatan ini, tetap saja Zata merasa belum terbiasa. Dia mulai mengedarkan pandangan dan melihat banyak orang berlalu-lalang.

"Kenapa kita berada di mall ini?" tanya Zata sebab saat datang dan pulang dari dunia fiksi, mereka ada di depan mall tempat Zata menonton bioskop dulu.

"Karena ... aku mendapat kekuatan ini setelah peristiwa mengerikan di dalam mall itu. Jadi, mall itu seperti medan magnet untukku," kata Gavin yang mulai bangkit. Dia menarik tangan Zata untuk mengajaknya masuk ke dalam mall.

Sesampainya mereka di depan dinding yang seharusnya adalah ruang theater 5, Gavin mengusap-usap dinding itu. Tampak sebuah pintu di mata Gavin dan Zata. Suasana yang ramai membuat mereka sedikit sulit untuk langsung masuk.

Ketika merasa situasi aman, Zata dan Gavin langsung membuka pintunya dan berada di dalam. "Ini ... ini tempatku menonton bioskop dan berakhir masuk ke dunia film waktu itu."

Gavin menunjuk ke arah kursi yang dulunya adalah tempat Zata menonton. "Di situ?"

Zata masih ingat betul. Dia langsung mengangguk cepat. "Iya! Yang itu! Bagaimana kamu bisa tau?!"

"Di sana lah papa mencoba untuk membunuhku dan detik-detik kekuatanku mulai muncul."

"Papamu?" Zata langsung melotot saking kagetnya. Dia tak percaya bahwa percobaan pembunuhan itu adalah ayah kepada anak kandungnya sendiri. "Kenapa?"

"Saat itu aku masih berusia 9 tahun. Papa memang orang yang keras dan temperamen. Saat itu dia bertengkar dengan mama lalu berpisah. Papa membawaku, mama membawa Resta. Dan ... papa tidak suka bercerai dari mama. Papa masih mencintainya. Jadi agar mama mau menemuinya lagi, papa mengajakku menonton ke bioskop lalu menelepon mama. Dia mengancamnya bahwa jika mama tidak datang ke bioskop ini, papa akan membunuhku."

"Lalu?" Zata menggenggam tangan Gavin agar pria itu tidak merasa sendiri.

"Papa hampir menggorok leherku dan aku berpindah ke dunia fiksi tepat sebelum nadiku benar-benar mati. Di dunia fiksi, mama segera mengobatiku. Lalu kami kembali pulang ke dunia nyata dan melapor ke polisi," ucap Gavin yang sampai sekarang sepertinya ingatan itu masih sangat mengganggu.

"Karena kamu istimewa."

Gavin dan Zata segera mendongak kala mendengar suara orang lain. Mereka menemukan Alena yang datang dengan senyuman lebar.

"Tante?"

"Benar. Aku mama dari Gavin juga ibu dari Gavier," ucapnya.

Zata jadi teringat saat dia memanggil Aletheia di perpustakaan dan melihat seorang wanita cantik. "Yang di perpustakaan waktu itu ... adalah Anda?"

"Benar."

Alena berjalan mendekati Zata lalu mengusap puncak kepalanya. "Sekali lagi aku ucapkan terima kasih karena kau sudah membantu anakku. Sekarang, aku senang melihat kalian bersama."

"Apa yang terjadi pada Resta, Ma?" tanya Gavin yang jadi teringat soal kembarannya.

"Ah, nggak perlu khawatir. Mama sudah menyuruh dia membersihkan rumah sebagai hukumannya." Mendengar itu Zata jadi terkekeh. "Resta memiliki sifat yang mirip dengan papanya Gavin, jadi dia memang menyebalkan."

Setelah mengatakan itu, Alena berbalik. "Sekali lagi aku ucapkan, aku senang melihat kalian bersama."

Gavin menoleh ke arah Zata lalu mempererat genggamannya. Hal itu membuat Zata ikut menatap Gavin.

Senyum mereka mengembang untuk satu sama lain. Hingga muncul sebuah pertanyaan dari bibir Gavin. "Mau buat Viktor, nggak?"

Sontak Zata memukul lengan Gavin. "Hei! Aku masih kuliah!"

Gavin menarik Zata ke dalam pelukannya. "Baiklah, aku akan menunggumu sampai lulus dan sukses."

***

Sepuluh tahun kemudian, di sebuah rumah, ada anak kecil yang berlari sembari membawa boneka beruangnya. Dia memukul-mukul pintu di depannya berkali-kali.

Tok! Tok! Tok!

Merasa tak ada balasan, dia ulang sekali lagi. Bahkan lebih keras.

"Papa! Mama! Buka!"

Gavin melepas pelukannya dari Zata sembari menghela napas panjang. Dia berjalan ke pintu kamar lalu membukanya. "Kenapa?"

"Aku mau tidul sama kalian!" ucapnya dengan tatapan tajam.

"Haah ... sudah malam, Viktor. Kembali lah ke kamarmu," kata Gavin.

"Tidak mau! Mau sama mama!" serunya dengan angkuh.

"Mama sama papa sibuk buat adik. Viktor nggak mau punya adik? Kan kemarin merengek minta adik," kata Gavin yang tak kalah angkuh.

"Buatnya jangan sekalang! Viktol mau tidul sama mama!" Viktor menerobos masuk dan berlari ke kasur. Dia berusaha naik ke atas kasur lalu dibantu Zata. Zata sendiri terkekeh melihat Viktor yang selalu senang mengganggu Gavin.

"Hahaha, sini-sini anak mama. Ooh, anak kesayangan mama." Zata memeluk erat Viktor yang juga merasa nyaman berada dalam dekapan Zata.

"Hadeh ... gimana kamu bisa punya adik kalau gangguin papa sama mama terus?" ucap Gavin setelah menutup pintu. Dia pun berjalan ke ranjang dan duduk di sebelah Viktor.

"Papa, mama, Viktol mau nonton itu lagi!" ucapnya.

"Film itu lagi?" tanya Gavier.

Viktor mengangguk. "Iya! Viktol suka melihat olang yang namanya sama sepelti Viktol!"

Itu adalah film kedua dari The Beast & His Secret, yang menceritakan tentang Kerajaan Disappear yang dipimpin oleh raja baru, Viktor Hephaestus.

Zata terkekeh lalu ikut mendudukkan diri. Sembari bertukar pandang, Gavin dan Zata mengembangkan senyumnya. Mereka mengulurkan tangan ke arah televisi secara bersama-sama sambil mulai menggerakkan tangan.

"Abra ... kadabra!" seru mereka. Zata, Gavin, dan Viktor pun berpindah tempat ke dunia fiksi.








T A M A T

The Beast & His Secret

Hi! Terima kasih yang sudah membaca cerita ini! Cerita ini nggak akan bisa menjadi lebih baik tanpa kalian dan terima kasih atas segala komentar yang telah disampaikan!

Yuk, berbagi kesan kalian soal cerita ini <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top