Bab 8

Hal pertama yang paling mengejutkan Zata setelah datang ke tempat ini adalah kebenaran tentang eksistensi sihir. Tempat ini sepertinya punya sedikit kesamaan dengan cerita Harry Potter yang pernah dia tonton di dunia nyata.

Alenda perhatikan baik-baik ponsel yang diletakkan Gavier ke dalam kotak. Setelah pria itu pergi, Alenda harus segera mengeceknya lagi. Barangkali dia bisa menggunakan itu untuk menghubungi Inggit atau orang tuanya. Namun, bagaimana bisa benda itu ada di dunia ini? Itulah yang paling mengganggu kepala Alenda.

"Alenda, kamu baik-baik saja?"

Karena dipanggil berulangkali tak kunjung merespon, akhirnya Gavier menyentuh bahu Alenda.

"Alenda?"

"... ya?"

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya.

Alenda baru sadar. Dia menatap Gavier yang fokus padanya. "Tentu saja aku baik-baik saja."

"Kalau begitu, ayo kita kembali."

Keduanya pun berjalan meninggalkan ruang bawah tanah, tak lupa menutup kembali raknya dengan kode rahasia.

"Gavier," panggil Alenda.

Gavier menoleh, tinggi badan Alenda benar-benar masih di bawahnya.

"Kemarin kamu bilang, aku punya sihir. Apa itu maksudnya?"

Gavier mengambil tangan Alenda dan membaliknya agar telapak tangan yang berada di bagian atas. Dia tekan sedikit nadi Alenda hingga sebuah kobaran api muncul dari sana. "Inilah elemen kekuatanmu."

K--kok bisa?!

"Ini ... kekuatanku?"

Gavier terkekeh melihat Alenda yang tampak syok. Tanpa sadar dia jadi mengusap puncak kepala gadis itu. "Siapa sangka kita punya elemen yang sama."

Alenda langsung mendongak. "Jadi, kekuatanmu juga api? Kita sama?"

"Benar, itu elemen asliku. Tapi karena aku seorang raja, aku diharuskan menguasai seluruh elemen dan sekarang kekuatanku tak hanya api."

"Apa ... maksudnya?" Alenda masih tak paham.

"Suatu hari kamu akan tau. Mungkin terlalu dini untuk menjelaskannya sekarang." Gavier melirik jendela kamar yang menunjukkan langit yang gelap. "Sudah larut, tidurlah. Aku akan tidur di sofa itu. Jadi kamu tidak perlu khawatir."

Alenda menurut. Dia berjalan dengan penuh pikiran ke ranjang. Setelah menyelimuti seluruh tubuh, Alenda menatap langit-langit kamarnya.

Sihir, ponsel, iblis. Banyak sekali informasi yang didapat Alenda hari ini. Bagaimana mungkin seseorang menanggung beban sebanyak itu? Lalu apa kabar dengan Gavier yang selama ini hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri? Apakah dia baik-baik saja?

Yang jelas, sekarang Alenda benar-benar yakin bahwa Gavier bukan seperti yang dirumorkan.

***

Setelah semua persiapan, kini Gavier siap berangkat menuju pegunungan utara seperti yang dikabarkan akan terjadi penyerangan iblis tingkat tinggi dalam jumlah besar. Selain untuk melindungi warga yang tinggal di dekat sana, ada informasi yang mengatakan bahwa ada benda sihir yang disembunyikan di kaki pegunungan utara sehingga keturunan Hephaestus harus turun langsung untuk mengambilnya.

Sebelum pergi, para prajurit dan panglima saling mengucapkan perpisahan pada keluarga mereka. Karena nyawa yang sudah mereka sumpahkan pada negara, mereka telah siap kalau suatu saat tak bisa kembali ke pelukan orang terkasih. Gavier yang selalu melewati momen ini pun langsung berjalan menuju kudanya di depan istana.

"BAGINDA!"

Pergerakan Gavier yang hendak naik ke kudanya terhenti oleh seruan seseorang dari dalam istana. Saat berbalik, dia terkejut oleh pelukan dari seorang wanita.

"A ... lenda?"

Alenda semakin mengeratkan pelukannya. Membuat banyak pasang mata menatap kagum pada mereka. Gavier tak menyangka bahwa Alenda akan mendampingi kepergiannya. Dia jadi cemas, apakah gadis ini akan baik-baik saja setelah dia pergi?

"Walau kita bukan suami istri sungguhan yang saling mencintai, bukankah setelah Yang Mulia menyelamatkanku hari itu ... kita sudah menjadi teman?" ucap Alenda di dekat telinga Gavier. Keraguan Gavier untuk membalas pelukan Alenda pun sirna karena ucapannya.

"Aku? Teman?"

Alenda menguraikan pelukannya, tapi kedua lengannya masih mengalung di leher Gavier. "Benar! Teman dekat yang akan saling berbagi kabar dan rahasia. Bukankah kita seperti itu? Yah ... walaupun aku belum mengetahui apa-apa tentang Yang Mulia."

"Bolehkah aku menjadi temanmu?"

"Memangnya siapa yang berani melawan kita? Kita adalah raja dan ratu di sini, Yang Mulia. Kita adalah pemimpin yang akan menjaga kerajaan ini bersama. Jadi ... kumohon ... hiks, hiks!" Gavier terkejut melihat Alenda menangis. Dengan kelabakan dia berusaha mengusap air mata Alenda. "... kumohon, jangan terluka. Kembalilah dengan baik-baik saja!"

"Itu ...."

"Ya? Anda mau berjanji, kan?"

Walau sangat terkejut dan belum terbiasa dengan keadaan di mana ada seseorang yang menunggunya pulang di istana ini, akhirnya Gavier tersenyum. Dia mengangguk dan kembali mengusap air mata Alenda. "Baiklah, aku tidak akan terluka."

"Anda harus berjanji untuk kembali dengan selamat! Dan jangan lama-lama. Aku akan sangat kesepian karena kehilangan teman."

Gavier mengacak rambut Alenda dengan gemas. "Baiklah, aku akan segera menyelesaikan urusan di luar sana dan berlari kembali ke sini. Jangan kabur saat aku pergi, ya!"

"Mana mungkin aku kabur? Memangnya aku punya tempat tujuan selain di sini?"

Gavier tertawa mendengarnya, diikuti oleh Alenda. Keharmonisan hubungan raja dan ratu mereka membuat perasaan para pelayan semakin lega.

Kemudian Gavier melepas tangannya dari Alenda dan mulai menaiki kudanya. Sekali lagi dia tatap Alenda yang tampak enggan melepas kepergiannya. Walau baru saling mengenal dan bertemu selama dua hari, rasanya seperti sudah ada banyak hal yang terjadi. Cara Alenda menatap dan bicara padanya benar-benar membuat Gavier merasa seperti manusia.

"HATI-HATI, BAGINDA! ANDA HARUS MENEPATI JANJI!" teriak Alenda saat para pasukan Gavier sudah bergerak ke luar istana.

Usai melambaikan tangan dan memastikan punggung Gavier sudah tak terlihat, Alenda mengangkat gaunnya dan berbalik kembali. Sebelum masuk ke istana lagi, dia berucap pada Lalea. "Kumpulkan para pejabat tinggi. Aku akan mengadakan rapat sekarang juga."

"Baik, Yang Mulia Ratu."

Hampir butuh dua jam untuk mengumpulkan para pejabat tinggi yang merasa kepergian rajanya membuat mereka berhak bersenang-senang. Memangnya ratu kecil itu mau bertindak apa? Jadi mereka sengaja datang terlambat untuk memberikan peringatan bahwa ratu kecil sebagai perwakilan posisi raja itu tak punya nilai apa-apa di mata seluruh pejabat.

"Kenapa? Mereka belum datang?" tanya Alenda kala melihat Lalea datang untuk ketiga kalinya ke kamar Alenda, sedangkan Alenda yang tampak santai merias dirinya sudah tau kalau hal ini akan terjadi. Jangan remehkan pengetahuannya yang sudah membaca banyak novel kerajaan.

"Mereka sudah berkumpul di ruang rapat, Yang Mulia."

"Haah ... akhirnya mereka datang juga ya, Nggit. Lambat sekali. Apa karena sudah tua?" ucap Alenda sambil meregang tubuhnya. Dengan pakaian formal yang biasa dipakai seorang ratu di acara khusus, Alenda berjalan gagah menuju ruangan rapat diikuti Lalea dan Anggita.

Brak!

"YANG MULIA RATU ALENDA LAQUEEN CELSION HEPHAESTUS MEMASUKI RUANGAN!"

Alenda menatap remeh para pejabat yang berdiri menyambutnya. Pola ruangan ini memang berbentuk V di mana sang pemimpin berada di pusatnya sementara para pejabat duduk bertangga menurun dari atas ke bawah di sisi kanan dan kiri.

"Silakan duduk semuanya," ucap Alenda tanpa basa-basi. Mereka semua pun saling pandang dan duduk secara bergilir. Setelah itu, Alenda pun ikut mendudukkan diri di kursi megah raja.

Entah bagaimana perasaan menyesakkan yang dirasakan Gavier setiap duduk di tempat ini. Amarahku seperti berkumpul di kepala kala melihat tatapan mereka yang meremehkan posisiku. Padahal tujuanku di sini bukan untuk itu, tapi rasanya cukup menggairahkan kalau aku mampu menghabisi mereka sampai tuntas, batin Alenda yang setia menampilkan senyum anggunnya.

"Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas kehadiran Anda semua pada rapat darurat yang saya adakan setelah kepergian Baginda untuk sementara. Sesuai dengan Undang-Undang Disappear mengenai Hukum Perwakilan Kewenangan Raja, saya Ratu Alenda Laqueen Celsion Hephaestus menjadi orang paling tepat untuk menduduki posisi ini sebagai perwakilan Baginda Hephaestus. Pertemuan ini saya adakan sebagai jembatan kalian dalam mengenal pemimpin yang akan menjalankan negara ini bersama kalian selama Yang Mulia pergi berperang. Untuk itu--"

"Saya keberatan, Yang Mulia!"

Ucapan Alenda terpotong. Ini merupakan tindakan paling berani yang menjadi bukti bahwa mereka semua meremehkan Alenda.

"Saya juga, Yang Mulia!"

Dan banyak lagi para pejabat yang mengangkat tangan untuk menyampaikan keberatannya tentang pergantian posisi yang Alenda duduki.

"Masa kita dipimpin anak kecil, sih?"

"Mana bisa aku dipimpin anak kecil yang seumuran anakku sendiri."

"Apalagi dia wanita. Memang tau apa dia soal politik? Bisa-bisa kerajaan ini hancur dalam sekejap!"

Dari banyaknya keluhan, Alenda langsung menggebrak meja karena kebisingan mereka sudah melampaui batas. Pada sebuah rapat yang digelar langsung oleh pemimpin tertinggi kerajaan, tak ada yang boleh membentuk forum baru dalam rangka mengganggu jalannya diskusi forum utama. Apalagi jika mereka melanggarnya, maka akan dikenai sanksi. Yang paling beratnya bisa dihukum penggal karena dianggap menghina keluarga kerajaan.

"Sudah tenang?" tanya Alenda. Mereka semua pun terdiam, tapi ada seorang Duke yang berani mengajukan pertanyaan dengan tenang.

"Silakan, Duke Zenilas."

"Seorang pemimpin tak boleh menunjukkan emosinya, lalu bagaimana Baginda Ratu dapat membuktikan kebijaksanaan Anda jika keluhan kami dibalas dengan gebrakan meja yang sangat tidak sopan?"

Ucapan Duke Zenilas semakin memancing semua pejabat. Alenda tersenyum miring, padahal pria itu termasuk pengikut setia Keluarga Hephaestus. Siapa sangka dia akan menusuk dari belakang?

"Pasal 78 tentang Hukum Pelecehan Nama Baik Keluarga Kerajaan. Apakah saya harus menjelaskannya satu per satu kepada kalian semua yang telah mendapatkan pendidikan itu sejak kecil?"

Berhasil. Perkataan Alenda berhasil membungkam semua pejabat, termasuk Duke Zenilas.

"Keputusan terpilihnya saya sebagai Perwakilan Kewenangan Raja selama Baginda pergi adalah hasil dari keputusan darurat yang beliau ambil dan disaksikan langsung oleh perdana menteri. Sehingga saya pun tak punya pilihan selain menerima keputusan beliau." Alenda tersenyum tipis saat melihat para pejabat yang mulai khawatir. "Ah, maaf saya melupakan hal terpenting. Baginda juga berpesan bahwa saya berhak memenggal siapapun yang telah bertindak kurang ajar terhadap saya. Mohon dimaklumi rasa cinta Baginda yang begitu besar pada saya."

Sistem pemerintahan di dunia ini adalah Monarki Absolut yang bentuk pemerintahan dalam suatu negaranya dikepalai oleh seorang (Raja, Ratu, Syah, atau Kaisar). Paling penting dari itu, keputusan dan kewenangan Raja adalah mutlak tanpa ada batasan, bahkan ucapan Raja bisa menjadi sebuah hukum baru. Kalau sudah begini, maka hal yang bisa para pejabat lakukan hanya saling memohon pada Alenda untuk diampuni.

"MOHON AMPUNI KELANCANGAN KAMI, YANG MULIA RATU! KAMI PANTAS MATI!" Mereka bersahutan saling memohon, sedangkan Alenda hanya mampu cekikikan di tempat.

"Gadis itu ... ternyata lebih licik dari dugaanku," gumam Zenilas.

"AMPUNI KEBODOHAN KAMI, YANG MULIA RATU!" seru Zenilas, ingin didengar paling keras.

Seru banget, pikir Alenda. Tak salah dirinya sempat mempelajari soal undang-undang negara ini sebelum tidur. Apalagi ingatan tentang bisikan Gavier sebelum naik kuda terus terngiang-ngiang di kepalanya.

"Kalau mereka mencari masalah denganmu, bunuh saja. Mereka cuma tikus pemakan uang rakyat. Kamu bisa membunuh mereka sesukamu. Aku akan menyerahkan keputusan itu dan stempelku di tanganmu." Setelah mengatakan itu, Gavier melirik Lalea yang berdiri di belakang Alenda. "Lalea, kau saksinya."






- The Beast & His Secret -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top