Bab 64
"Ga--Gavin? I--itu aku ... lagi--"
Gavin masuk dan merampas langsung buku yang Zata dekap. "Aku sudah bilang kan kalau Resta berbahaya dan sekarang kamu masuk ke kamar saudaranya?!"
Zata yang merasa kepergok hanya bisa diam karena takut. Ceroboh sekali dia berlama-lama di sini. Tadinya dia pikir Gavin mungkin akan berada di luar selama dia dan Resta ada di rumah ini.
"Zata?"
Sontak Gavin menarik tangan Zata hingga tubuhnya bersandar di tubuh Gavin. Pria itu menutup pintu dengan punggungnya kala mendengar suara Resta yang memanggili nama Zata.
"Ssst!" desis Gavin.
Kalau sampai mereka ketahuan, Zata bisa saja dalam bahaya. Resta itu anak yang cukup temperamen. Dia bisa melakukan apa saja ketika marah, bahkan kepada perempuan.
Zata yang berada pada jarak begitu dekat dengan Gavin berusaha keras meredam degup jantungnya. Bagaimana tidak? Gavin yang dia lihat sekarang adalah Gavin yang baru mandi dengan rambut basah. Pria itu bahkan tak sadar kalau dirinya masih menggunakan piyama mandi.
"Gav--"
"Sssst!" desis Gavin lagi.
Haduh ... ini loh masalahnya ... duh, pikir Zata yang sangat berharap Resta segera pergi.
Menghilangnya Zata secara tiba-tiba Resta yakin adalah ulah Gavin. Lantas dia menoleh ke arah kamar Gavin sembari berniat untuk mengecek apa yang sedang pria itu lakukan. Belum sempat mengetuk pintu, Alena datang.
"Resta!" panggilnya.
Resta menoleh. "Ada apa, Ma?"
"Kamu cepet turun ke bawah! Gas LPG-nya kayak mendesis gitu. Mama takut bakal meledak!" seru Alena dengan wajah panik.
"HAH?!" Resta segera berlari turun seperti apa yang Alena katakan, sedangkan Alena menoleh ke arah kamar Gavin sembari tersenyum tipis sebelum akhirnya ikut turun ke bawah.
Setelah mendengar kepergian mereka, Gavin mulai bernapas lega. Dia pun menatap Zata yang dari tadi tak berhenti menatapnya. Sontak rona merah menyebar di telinga hingga pipinya. "A--apa? Kenapa kamu melihatku seperti itu?"
Zata menjauhkan dirinya dari Gavin lalu berbalik. "Pakai bajumu."
"Hah?" Gavin segera menatap tubuhnya. Ternyata dia belum pakai pakaian. Dengan kecepatan tinggi, Gavin segera berlari ke lemari dan mencari pakaian apa pun untuk dikenakan.
"Pakai baju aja dengan nyaman. Aku nggak akan ngintip," ucap Zata yang masih memunggungi Gavin, sedangkan pria itu masih kelabakan memakai celana dalamnya.
"Dan ... jangan pakai jaket itu lagi," kata Zata yang penasaran bagaimana Gavin memakai pakaian lain.
"Su--sudah. Aku sudah selesai."
Zata pun berbalik dan melihat pakaian Gavin yang lebih segar. Kali ini memang tidak pakai jaket, tapi hoodie. Sepertinya gaya berpakaian Gavin memang seperti ini.
"Mau aku bantu?" tanya Zata.
Gavin tak mengerti maksud Zata. Apa yang memang ingin Zata bantu? Gavin kan sudah memakai pakaiannya.
Mengerti bahwa pria itu kebingungan, Zata menarik tangannya dan menyuruhnya duduk di pinggir kasur, sedangkan Zata naik ke atas kasur dan berada di belakangnya. Dia mulai mengeringkan rambut Gavin dengan handuk pria itu.
"Za--Zata?"
"Duduk aja yang anteng. Aku cuma mau bantu kok," ucap Zata sembari mengeringkan rambut Gavin.
Gavin sendiri merasa canggung, tapi dia juga tidak membencinya. Jarang-jarang dia dapat kesempatan emas begini.
"Zata," panggil Gavin ketika Zata masih sibuk dengan rambut Gavin.
"Hm?"
"Kamu ngapain ke kamarku?" tanya pria itu.
Zata menghentikan pergerakannya. Rambut Gavin juga sudah cukup kering. Lantas dia melipat handuk itu lalu ikut mendudukkan diri di sebelah Gavin. "Gav, apa ... kamu ... penulis The Beast & His Secret?"
Gavin menoleh. "Kenapa kamu sangat ingin tau?"
"Karena ...."
Karena aku masuk ke sana dan menjadi Alenda!
"Karena aku tau soal kekuatanmu itu!" kata Zata yang kini sudah menegakkan tubuh dan menatap lekat Gavin. "Kamu ... punya kekuatan spesial, kan?"
Gavin mengangkat kedua alisnya. Walau pembicaraan mereka tidak berhubungan dengan kekuatan Gavin, tapi bagaimana Zata tau? Tidak, apa Zata bahkan mempercayai hal itu?
"Kenapa ... kenapa kamu berpikir aku punya kekuatan?" tanya Gavin yang kali ini ikut berdiri. Dia menghadap Zata sepenuhnya.
"Waktu itu, saat aku akan berjalan ke kamar Kak Resta lalu saat aku mabuk dan tiba-tiba berpindah ke tebing. Semua itu karena kamu, kan?" Pertanyaan yang penuh intimidasi itu membuat Gavin bingung harus menjawab apa.
"Ta--tapi itu--"
"Kamu harus jujur padaku," tekan Zata.
Gavin menatap telapak tangannya lalu menatap lekat Zata. "Kamu percaya?"
"Aku percaya dengan semua karya Tuhan." Zata ikut memandang ke arah tangan Gavin. "Kamu diberkahi Tuhan dengan kekuatan yang bahkan nggak bisa dipercaya semua orang, kan?"
Kembali lagi, ini hanya dugaan Zata. Tapi saat melihat Gavin yang tak mengelaknya, Zata benar-benar terkejut. Bagaimana bisa pria ini menyembunyikan hal sebesar ini dari dunia? Itu pasti sulit, apalagi kalau sendirian.
"Apa kamu ... bisa percaya padaku?" tanya Gavin lagi. Sepertinya dia akan mengaku, tapi ingin memastikan lagi apakah Zata akan percaya dengan semua pengakuannya.
"Ya," jawab Zata.
Gavin berbalik dan menghadap ke arah pintu kamarnya. "Ayo ikut aku."
Zata mengekor di belakang Gavin walau masih bingung hendak ke mana. Tepat ketika Gavin membuka pintu kamar, yang ada di dalamnya bukan lagi isi rumahnya tetapi jalan raya dan mall besar. Zata membulatkan matanya, terkejut dengan apa yang dia lihat saat ini.
"Ba--bagaimana ... bagaimana bisa?!" Zata menarik baju Gavin agar pria itu segera menjelaskan ketidak masuk akalan ini.
Bukannya menjawab, Gavin yang berdiri di samping Zata mengulurkan tangannya. "Kalau kamu percaya padaku, pegang tanganku. Aku akan menunjukkan duniaku padamu."
Dunianya ... Gavin?
Meski ada sedikit keraguan di hati Zata, tapi dia masih berusaha untuk tetap percaya. Sebab hal yang dia alami selama ini saja sudah sangat di luar akal sehat. Tangan Zata pun berada di atas tangan Gavin dan menggenggamnya. Kala Zata mendongak lagi, bukan mall atau jalan raya seperti keadaan semula yang dia lihat, tapi dunia aneh yang berbeda.
Ada kerajaan, hewan-hewan aneh yang hanya ada di cerita fantasi, orang-orang berpakaian seperti saat dia di dalam film, dan suasana yang sangat berbeda dari dunia modern.
"Ini ... ini apa, Gav?" tanya Zata yang masih sibuk mengedarkan pandangannya.
"Ini dunia fiksi, duniaku."
Zata langsung menoleh. "Ha? Dunia apa?"
Gavin mengulum senyum. Tangan kirinya yang tidak sedang menggenggam Zata dia ulurkan ke depan. Sebuah sapu pun melayang ke arah Gavin dan berhenti tepat saat pria itu menangkapnya. Kemudian sapu lain datang, tapi terbang ke arah Zata. Zata yang kebingungan hanya menatap Gavin penuh.
"Kamu percaya padaku, kan?" tanya Gavin lagi.
Zata melihat Gavin menaiki sapu itu, tapi tangannya masih menggenggam erat Zata. "Apa aku juga harus menaikinya?"
Gavin mengangguk. Zata pun menurut dan menaiki sapu itu. Lantas dia mulai merasa tubuhnya melayang.
"Eh! Eh! Eh!" Zata takut jatuh. Ini rasanya sangat canggung walau dia bahkan pernah menaiki naga. Belum sempat oleng, Gavin sudah mempererat genggamannya pada tangan Zata.
"Kamu nggak akan jatuh. Aku akan memegangmu," kata Gavin. Keduanya pun mulai melayang dengan tenang di udara. Langit yang seolah mampu Zata gapai benar-benar terlihat cantik. Bahkan Zata tak berhenti terperangah sejak tadi.
"Gav ... ini ... ini benar-benar luar biasa," ucap Zata yang terus menyapu pandangannya.
"Ini lah duniaku, Zata," kata Gavin dengan ekspresi sedikit sedih. Hal itu membuat Zata sadar bahwa selama ini pasti Gavin kesulitan. Dia tidak bisa menjelaskan apa yang dia rasakan pada orang lain sehingga mereka semua berpikir bahwa Gavin gila.
"Kamu nggak gila, Gav," ucap Zata, membuat Gavin kembali mendongak. "Kamu hebat. Kamu keren. Mereka yang nggak tau tentang kebenaran ini."
Gavin tertegun. Kenapa Zata semudah ini untuk percaya padanya? Padahal bisa saja dia berlari ketakutan dan mengatai Gavin gila.
"Kenapa ... kamu percaya padaku?" Gavin menatap ke arah rumah-rumah penduduk desa yang ada di bawah. "Kan bisa saja kamu menuduhku memberikanmu obat-obatan atau narkoba sehingga kamu bisa merasakan dunia khayalan ini."
Zata menunduk sebentar. Apa kini dia akan menceritakan semuanya? Pada Gavin yang mungkin adalah dalang dibalik dirinya yang masuk film dan mengalami hal-hal aneh? "Karena ... aku juga punya rahasia."
"Rahasia?" tanya Gavin yang penasaran.
"Kamu pernah bertanya kan apakah wajahmu dan Kak Resta mirip dengan orang yang kucintai?" Zata menoleh ke arah Gavin dan menatapnya lekat. "Itu benar. Kalian mirip."
Lalu Zata menunduk ke arah genggaman tangannya dengan Gavin. "Aku akan menceritakannya setelah kamu menjelaskan apa kekuatanmu ini dan bagaimana kamu bisa mendapatkannya?"
Gavin memegang erat sapunya lalu dia arahkan ke bawah. Dia juga menarik Zata agar sapunya mulai mencari titik landas untuk mendarat. Hingga mereka berdua sampai di bukit yang sangat luas dan dikelilingi bunga Forget Me Not. Sampai di bawah, Gavin turun dari sapunya. Diikuti oleh Zata.
"Apa kamu pernah dengar soal lucid dream?" tanya Gavin seraya menatap kedua telapak tangannya.
"Situasi di mana kita bisa menciptakan mimpi kita sendiri?" tanya Zata, dia sempat membaca novel tentang peristiwa itu sehingga itu bukan hal yang aneh.
"Benar." Kemudian Gavin berbalik dan menatap Zata. "Situasiku hampir serupa dengan itu. Teknisnya sedikit sama, tapi hasilnya berbeda. Aku menciptakan dunia itu, tapi bukan di dunia mimpi melainkan dunia nyata."
"Bagaimana ... bisa?" Zata benar-benar masih sulit untuk mencernanya. Dia tidak menyangka akan menemukan hal sehebat ini.
"Keturunan. Mama juga memilikinya," kata Gavin.
Zata mengerutkan keningnya. "Sebenarnya berapa banyak orang yang bisa melakukan hal ini, Gav?"
"Hampir semua orang memilikinya, tapi tidak bisa menggunakannya atau tidak menyadarinya." Gavin mengambil sebelah tangan Zata. "Kamu juga memilikinya, Zata."
"Aku?!" Zata menarik tangannya dari Gavin. "Haha ... kamu pasti salah sangka."
Gavin menggeleng dengan tegas. "Apa kamu ingat saat kamu mabuk dan tiba-tiba kita sudah berada di tebing? Kamu yang menciptakan tebing dan suasana itu, Zata."
Zata tak percaya. Dia menggeleng dengan muka syok. "Itu ... itu nggak mungkin!"
"Ingatlah lagi. Kamu tiba-tiba menunjuk langit yang gelap lalu berkata bahwa di sana ada matahari terbit. Karena aku tidak melihat apa-apa, kamu terus menyuruhku mendongak saja. Kemudian semuanya berubah menjadi suasana di mana matahari baru terbit," ungkap Gavin yang membuat kepala Zata tiba-tiba dialiri ingatan itu. Zata masih belum percaya. Ini sangat sulit untuk dipercaya.
"Dan soal penulis The Beast & His Secret ... itu benar. Aku yang menulisnya," kata Gavin setelahnya.
Zata bingung harus melakukan apa. Dia kehilangan kata-kata. Otaknya bekerja keras untuk mencerna semua ini.
"Kalau begitu ... kamu yang menciptakan Gavier dan Alenda?" tanya Zata. Pandangannya mulai berkaca-kaca. Apa kini dia bisa meminta tolong Gavin untuk mempertemukannya dengan Gavier?
"Benar. Aku yang membuat mereka ada, tapi ...."
Zata mendongak. "Tapi apa?"
"Tidak. Aku hanya merasa ada yang salah waktu itu," kata Gavin, tatapannya yang fokus tampak serius memikirkan sesuatu.
"Maksudnya? Jelaskan padaku."
"Aku hanya merasa alurnya berubah. Padahal saat ditayangkan di bioskop lain, alurnya sesuai dengan yang kutulis, tapi saat itu ... di salah satu cerita saat aku ada di sana, tiba-tiba saja akhirnya berbeda," kata Gavin seraya menatap ke arah lain. Walau Zata pasti tidak mengerti maksudnya, tetap saja Gavin membicarakannya. Itu semua karena dia masih belum bisa menemukan benang merah untuk memahami keadaan saat itu.
"Apa kamu ... membuat Alenda ... dengan terinspirasi aku?" tanya Zata.
Pertanyaan itu, membuat tubuh Gavin membeku. Lagi-lagi terlintas pertanyaan yang sama. Bagaimana Zata bisa tau?
"Itu ... karena ... aku--"
"Ibunda?"
Ucapan Gavin terpotong kala suara seseorang terdengar di antara mereka. Suara berat yang juga lembut itu membuat jantung Zata berdegup hebat. Dia menoleh dan melihat seorang pria berpakaian jubah raja.
Wajahnya tampak syok. Air matanya menetes saat menatap Zata. "Ibun ... da."
Zata tidak mengerti. Jelas-jelas dia tidak mengenal siapa pemuda yang terlihat berusia lebih muda dua tahun darinya ini, tapi mengapa dia ikut menangis?
"Kenapa ... Ibunda ...." Tangannya terulur, hendak menyentuh pipi Zata.
"Siapa kamu?" Gavin menghadangnya dengan berdiri di depan Zata.
"A--ayah?" Lagi-lagi pria itu terkejut sebab dia kembali melihat ayahnya yang sudah meninggal. "Ayah? Ibunda? Bagaimana kalian bisa ...."
Pria itu menutup wajahnya. "Apa aku sedang bermimpi? Apa dewa sengaja memberiku hadiah untuk melihat kalian lagi?" Tanpa ingin berpikir panjang, dia mendatangi Gavin dan Zata. Berhambur memeluk mereka berdua dengan sangat erat.
"Ayah! Ibunda!" Pria itu terisak keras sampai Gavin tak punya tenaga untuk menjauhkannya. Zata sendiri tak menolak pelukan itu. Tidak tau kenapa, dia tetap ingin berada di posisi ini. Yang tanpa sadar tangannya membalas pelukan itu sembari menepuk-nepuk punggungnya.
"Ibunda ... aku ... aku ... aku sangat merindukanmu. Aku tidak ... aku tidak tau bagaimana bisa hidup ... tanpa kalian!"
Apa ini ... apa ini Viktor? pikir Zata yang tangisnya jadi makin kencang.
Gavin sendiri masih heran mengapa Zata jadi ikut menangis? Padahal keduanya tak mengenal pria aneh ini.
"Apa kamu ... Viktor?" tanya Zata. Bola mata Gavin membulat kala mendengar itu.
Viktor mengangguk. Dia tak ingin melepas pelukannya dari Zata sama sekali.
"Jangan ... jangan pergi lagi, Ibunda. Aku lelah. Aku ingin berada dalam pelukanmu seterusnya. Tolong, jangan tinggalkanku lagi."
Apa maksudnya? pikir Gavin.
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top