Bab 63

"Hola!"

Bahu Resta bergetar saat seseorang menepuk bahunya secara tiba-tiba dari belakang. Spontan pria itu berbalik dengan wajah marah, tapi ekspresi itu langsung sirna setelah melihat siapa yang mengejutkannya.

"Zata?" Resta mengembangkan senyumnya. "Kenapa lo bisa di sini?"

Zata menggoyang-goyangkan kotak berisi kue coklat di sampingnya. "Aku bawa ini buat Kakak."

Lantas Resta menerima kotak itu. Ketika dibuka, ada kue coklat yang tampak enak. Kebetulan sekali Resta suka yang manis-manis. "Buat gue? Dalam rangka apa?"

"Emm ...." Zata maju satu langkah lebih dekat. "Waktu itu ... aku pergi tiba-tiba karena ada urusan mendadak. Makanya nggak sempat kasih tau Kakak. Maaf, ya?"

"Beneran karena urusan mendadak? Bukan karena terjadi sesuatu?" tanya Resta sembari mengangkat sebelah alisnya. Padahal sudah jelas dia tau penyebab Zata menghilang adalah karena Gavin.

"Iya. Betulan karena ada urusan mendadak," ucap Zata dengan mata polosnya. Melihat itu, Resta jadi tak ingin memperpanjang topik ini.

"Kalau gitu, mau masuk dulu?"

Zata tersenyum dalam hati. Dia mengangguk dua kali lalu mengekor langkah Resta yang lebih dulu berjalan. Keduanya menaiki anak tangga yang ada di teras rumah Resta. Memang saat mengobrol tadi, mereka berdua sedang ada di halaman rumah Resta. Pria itu baru selesai lari pagi dan kebetulan tidak ada kegiatan.

"Resta kamu--" Suara itu terhenti ketika melihat Zata yang berdiri di samping Resta. "Loh?"

"Oh, Ma, kenalin dia Zata. Junior Resta di kampus," ucap Resta yang mengenalkan Zata. Tanpa menunggu lama, Zata mencium punggung tangan Alena.

"Halo, Tante. Saya Zata," ucapnya yang disertai senyum manis. Kalau tau beliau adalah orang tua dari Resta dan Gavin, Zata jadi merasa seperti bertemu mertua. Tapi, kenapa rasanya tidak asing, ya? Apa tanpa sengaja Zata pernah bertemu dengan beliau?

"I--iya."

"Ya udah. Aku mau bawa Zata ke atas dulu, ya, Ma." Tanpa beban Resta merangkul Zata. Sontak mamanya menghadang langkah mereka berdua.

"Mau ngapain kamu bawa anak cewek ke kamar?" ucap Alena dengan tatapan mengintimidasi.

"Mama tenang aja. Kan bukan sekali ini Resta bawa cewek," ucap Resta yang sangat santai. Zata sendiri heran. Bisa-bisanya ada anak laki-laki sejujur dan sesantai ini pada mamanya tentang kebrengsekannya.

"Dia beda. Mama nggak ngebolehin." Alena langsung menarik Zata menjauh dari Resta. Hal itu tak hanya membuat Resta terkejut, tapi Zata juga.

"Mama kenal dia?"

"Ya." Zata dengan muka cengonya menatap lekat perempuan yang masih menggenggam lengannya ini. "Jadi kalau mau ngobrol, di sini aja. Mama awasin dari dapur."

"Lah? Nggak bisa, dong. Dia kan tamunya Resta." Resta masih belum terima. Padahal tujuan Zata mendatanginya pasti bukan hanya untuk bicara.

"Kalau nggak setuju, Zata pulang aja." Titah dari Alena seolah tak terbantahkan. Zata jadi merasa tak enak sekaligus bingung.

"A--anu, Tante ...," celetuk Zata yang berusaha menengahi perdebatan di depannya. "Sebenarnya saya yang minta dibawa ke kamar Kak Resta."

Kali ini yang terkejut adalah Resta dan Alena. Tak menyangka gadis ini bisa mengungkapkan hal itu tanpa pikir panjang.

"Kamu ... ehem, kamu suka banget sama anak saya?" tanya Alena yang masih tak percaya.

Zata melirik Resta. Kalau dibilang suka, Zata hanya suka wajahnya saja yang mirip Gavier. Untuk yang lainnya, tidak sama sekali. Mana mungkin Zata menyukai cowok murahan yang sudah jadi bekas sana-sini?

"Yah ... belum tau juga, Tante. Yang jelas saya tertarik sama wajah beliau," ucap Zata, diakhiri senyuman manis. Menduga bahwa Alena mungkin akan menerima jawabannya ternyata salah. Sebab wanita itu malah membawa Zata ke dalam pelukannya lalu mengusap-usap punggung gadis itu.

"Terima kasih, ya," gumamnya sembari mengusap air mata. Tentu tanpa sepengatahuan Resta dan Zata.

Ini kok gini? pikir Zata yang berusaha mengirim sinyal ke Resta untuk bertanya apa yang harus dia lakukan kalau sudah begini.

Resta sendiri malah mengedikkan kedua bahunya. Dia juga kebingungan.

"Ma, Ma," panggil Resta sambil menepuk bahu Alena. "Resta nggak sengenes itu. Jadi nggak perlu ditangisin."

Zata mengangguk setuju. "Betul itu, Tante! Kak Resta ini wajahnya enak dilihat kok. Nggak ada yang bisa nolak. Jadi Tante nggak perlu sedih-sedih, ya?"

Cara Zata menghibur Alena sempat membuat Resta tertegun, tapi itu tidak lama karena dia segera menepis angan bodoh yang terlintas.

Susah payah Alena menyeka air matanya lalu menunjuk Resta. "Tapi dia ini bajingan. Kamu nggak pa-pa?"

Spontan Zata menutup mulutnya. Bagaimana mungkin dia tidak bisa menahan tawa mendengar perkataan yang terlontar tanpa titik koma itu?

"M--Ma? Kok gitu sama Resta?" tanya Resta yang telinganya sudah memerah karena malu.

"Mama ini jujur. Itu tempat sampah semua isinya kon--"

"M--Ma! Mama ... hehe, maksud Mama kondisinya kacau, kan? Oke-oke nanti bakal langsung aku beresin. Zata ke sini cuma mau liat-liat arsip desainku kok. Mama tenang aja!" Tak ingin semakin dipermalukan, Resta segera menarik tangan Zata dan menaiki anak tangga.

"Beneran, loh! Jangan mendekati kasur!" seru mamanya dari bawah.

Resta menghela napas kemudian mengusap kasar wajahnya. "Haaah ...."

"Pfft ...." Zata masih saja sulit menghentikan tawanya.

"Sorry, ya? Gue nggak tau kenapa mama gue gitu. Padahal biasanya enggak," ucap Resta.

Zata mengalihkan pandangannya sambil mengangguk paham. "Santai aja, Kak." Lantas Zata melihat tangan Resta yang terulur ke depannya.

"Apa?" tanya Zata yang tak mengerti.

"Ayo gandengan," ucap Resta tanpa alasan.

"Kan nggak lagi nyebrang jalan. Buat apa gandengan?" tanya Zata lagi.

Resta melirik ke arah kamar Gavin yang tertutup. "Biar lo nggak ilang lagi."

Zata sebenarnya heran, tapi dia setujui saja ajakan itu. Dia genggam tangan Resta yang halus dan dingin. Kemudian mereka mulai masuk ke kamar Resta.

Jujur ini adalah kamar paling aesthetic yang pernah dia jumpai. Apakah rata-rata kamar laki-laki seperti ini, ya?

"Woah ...." Zata bahkan tak bisa menutupi rasa kagumnya.

"Lo suka?" tanya Resta, terkekeh dengan reaksi Zata pada kamarnya.

"Iya, bagus! Kalau ada arsitek yang bisa desain kamarku begini, aku rela bayar mahal!" seru Zata yang sudah antusias. Dia hampir melupakan tujuan awal datang ke sini.

Tiba-tiba tangan Resta sudah menggenggam tangan Zata. Pria itu duduk di atas kasur, sedangkan Zata berdiri di antara kedua paha Resta. "Kalau lo mau, lo bisa ke sini kapan aja. Nggak ada yang bisa melarang lo."

Posisi berbahaya. Sinyal darurat! seru Zata di dalam otaknya.

"Benarkah?" Zata melepas genggaman itu lalu beranjak ke meja belajar Resta seolah tidak paham apa maksudnya. "Seneng banget bisa lihat-lihat kamarnya orang populer!"

Resta terkekeh karena sadar kalau Zata menghindar, tapi mana mungkin dia menyerah? Resta bangkit lalu berjalan ke belakang Zata. Dia sengaja mendekatkan wajahnya di telinga gadis itu. "Sebagus itu? Gue bisa gambar lo lebih cantik dari dia." Perkataan itu muncul karena Zata sedang terperangah oleh sketsa wajah perempuan di atas meja Resta.

Walaupun geli, tapi Zata rasa gambar ini adalah hal penting. Lantas dia ambil gambar itu dan menatapnya lebih dekat. "Ini ... siapa, Kak?"

"Itu?" Resta mengambil alih kertas itu dan menatapnya. "Dia Alenda."

Deg

"A--Alenda?" Suara Zata yang bergetar hampir membuatnya terdengar mencurigakan. "Ehem, apa maksud Kakak dia sketsa Alenda? Tokoh di The Beast & His Secret?"

"Benar."

Anjir ... itu aku!

"Itu ... dia cantik kok," ucap Zata.

"Nggak secantik lo," kata Resta tanpa beban. Zata jadi meliriknya sengit. Padahal wanita yang ada di gambaran itu adalah dirinya.

"Kalau si Alenda hidup di dunia nyata, apa yang mau Kakak bilang?" tanya Zata tiba-tiba.

Resta mengangkat sebelah alisnya. "Ha? Gimana bisa hidup?"

Zata mengambil kembali kertas itu lalu menunjuknya. "Walaupun ini cuma gambar fiksi, kita nggak ada yang tau kan kalau mereka mungkin punya kehidupan? Tinggal di dunia paralel atau dimensi lain misalnya. Yah, walaupun itu terdengar nggak masuk akal, tapi siapa yang tau soal keseluruhan karya Tuhan di semesta ini?"

Mendengar itu, Resta tertawa. Bahkan sampai menutup wajahnya dan menggeleng. "Zata ... Zata, sekarang lo jadi sedikit aneh. Lo mirip sama orang yang gue kenal."

"Siapa?" tanya Zata.

"Orang gila yang hidup di dalam imajinasinya sendiri. Gue peringatin lo untuk nggak ketemu dia. Karena lo bisa ikut gila juga." Resta mengambil gambar itu lalu diletakkannya pada salah satu buku.

"Padahal kan itu karya Kakak sendiri. Sekali-kali diinterpretasikan berbeda kan nggak masalah?" ucap Zata yang terdengar masih ngambek dengan ucapan Resta tadi.

Mendengar itu Resta menoleh, diiringi seulas senyuman. Dia usap puncak kepala Zata dengan lembut. "Zata, mereka nggak hidup."

Zata terkejut mendengarnya. "Aku tau, tapi--"

"Mereka bahkan nggak ada. Jadi lo cuma akan jadi gila kalau terlalu mendalami peran dan karakter di film itu." Resta melihat ke arah benda yang bergetar di sakunya. "Toh, filmnya juga nggak sebagus itu."

HAH?!

Zata semakin tercengang sebab animator yang membuat film itu malah bicara begini soal filmnya sendiri.

"Sebentar, gue ada telepon." Resta mengangkat panggilan itu lalu menoleh pada Zata. "Gue turun dulu, ya? Manajer gue di bawah."

Zata hanya membalas dengan anggukan. Merasa tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, dia berlari ke arah kamar Gavin lalu mengetuknya beberapa kali.

Tidak ada jawaban, Zata pun memberanikan diri untuk membukanya. Saat memasukkan kepalanya ke dalam, dia tidak melihat siapa-siapa. Kamarnya yang rapi dan harum membuat Zata nyaman untuk tinggal di sana. Lantas dia masuk lalu menutup kembali pintunya. Dia mulai menyapu pandangan dan memperhatikan beberapa hal, mungkin saja dia menemukan bukti atau sesuatu yang bisa mendukung salah satu dugaannya.

Contohnya ini.

Zata menarik ujung bibirnya. Dia ambil sebuah buku dengan sampul usang dan sangat tebal berada di tong sampah. Harusnya itu bukan hal penting, tapi keberadaannya cukup mencolok di mata Zata. Dia putuskan untuk memungutnya lalu menepuk-nepuk sampul yang sedikit berdebu itu. Dia baca tulisan di atasnya.

THE BEAST & HIS SECRET
MILIK GAVIN

"Anjay ... tebakanku bener," ucap Zata lalu mulai membukanya. Namun, hanya helaan napas yang Zata lakukan. Dia tidak bisa membaca tulisan ayam pria ini. Entah seterburu-buru apa dia menulis novel ini, tapi sepertinya dia giat sekali. Yang penting, Zata sudah dapat bukti. Dia tinggal menyimpannya saja.

Baru berniat pergi, sebuah buku lain menarik perhatian Zata. Dia mulai melihat-lihat lebih dekat dan menemukan banyak judul di sana. Itu menarik sekali. Seorang Sumo Tarung yang seperti tidak punya bakat apa-apa ternyata sehebat ini. Bahkan diet berskala besar apa yang dia lakukan sampai perubahan pada tubuhnya terlihat jelas.

"Apa dia diet karena aku bully, ya?" gumam Zata. Yang jelas, poin yang sampai sekarang Zata ingat adalah perasaan pria itu padanya. Apa semua ini berhubungan? Tapi Zata masih belum menemukan benangnya. Ini semua masih seperti potongan-potongan puzzle baru.

MILIK NEGARA
SANGAT RAHASIA

Zata menahan tawa kala melihat tulisan di sampulnya. Lantas dia ambil lalu buka buku itu. Dari tulisannya dia melihat bagaimana pria itu bercerita tentang kesehariannya. Kalau begitu Zata bisa simpulkan bahwa ini buku diari.

Hingga sampai di halaman terakhir, bola mata Zata melebar.

Aku melihat Zata lagi di dunia nyata. Wajahnya yang semakin cantik dengan karakter Alenda membuatku hampir sulit menahannya.

Bukankah dia akan merasa diriku aneh?

Sepertinya aku salah membuat karakter Alenda menjadi dirinya.

Tapi, kenapa alur ceritaku berubah waktu itu? Pertama kalinya ada fiksi yang tidak sesuai dengan alur yang kuciptakan.

Apa telah terjadi sesuatu tanpa sepengetahuanku?

Semoga ini semua tidak mendatangkan kehancuran yang kucemaskan.

Brak!

Buku yang Zata pegang jatuh. Semua kalimat yang tertulis itu semakin terdengar mengerikan kala Gavin menatapnya dengan raut sangat terkejut.

"Apa yang kamu lakukan di sini?!" bentaknya.


















- The Beast & His Secret -

Sorry akhir-akhir ini aku sibuk. Nggak sempet buka wattpad :"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top