Bab 62

Sesampainya di rumah Zata, keduanya hanya diam sambil berhadapan. Pertanyaan terakhir yang dilayangkan Gavin padanya tak bisa Zata jawab sehingga keheningan kembali menyelimuti perjalanan mereka.

"Terima kasih sudah mengantarku pulang," ucap Zata.

Gavin mengangguk tanpa sepatah kata. Zata merasa kalau dia mengakhiri pertemuan seperti ini, rencananya mendekati Gavin tak akan mudah. "Apakah ... aku masih bisa menemuimu lain kali?"

"Temui aku kalau kamu bisa memberikan jawaban soal pertanyaan tadi." Menurut Zata, Gavin sangat pintar memainkan situasi. Mau tidak mau, nantinya Zata harus menjawab hal itu lebih dulu.

"Baiklah." Zata berbalik mendekati pagar rumahnya. Dia tarik untuk membukanya lalu masuk ke dalam.

Tepat saat pagar ditutup, Gavin menutup wajahnya sambil menghela napas berat. "Haah ... bagaimana aku bisa menahannya, Alenda?"

Deg

Zata yang belum masuk ke dalam rumah dan masih menyandarkan tubuh ke pagar mendengar jelas ucapan Gavin. Apakah pria itu adalah Gavier? Sungguh Gaviernya?!

Tanpa babibu, Zata membuka pagar lagi. Tapi Gavin sudah tidak ada.

***

Zata mendudukkan dirinya di kursi meja belajar sambil menatap kosong jendela kamar. Semuanya jadi semakin rumit kalau apa yang Zata dengar tadi itu benar.

Gavin ... mengetahui sesuatu soal dirinya yang masuk ke tubuh Alenda. Padahal selama dia berada di dunia film, hanya Gavier yang tau.

Kalau benar Gavin adalah Gavier, kenapa sikap pria itu aneh? Maksud Alenda, kenapa dia bersikap seperti tidak kenal, dingin, dan berpenampilan lusuh begitu? Kalau memang dia tau Zata adalah Alenda, bukankah harusnya dia senang dan mengatakan segalanya pada Zata agar mereka bisa bersama?

Zata mengacak-acak rambutnya lalu menjatuhkan kepalanya di atas meja. Semua ini benar-benar membuat Zata pusing. Sebenarnya apa yang terjadi?

Tangan Zata mulai mengambil pena. Dia menuliskan sesuatu di buku catatannya.

Pertama, Resta punya saudara kembar yaitu Gavin.

Kedua, Resta adalah animator film dan Gavin adalah penulis.

Ketiga, sifat Resta kacau. Dia bajingan. Kalau Gavin, karena dia adalah laki-laki yang pernah Zata tindas dan rendahkan saat SMP, Zata tak terkejut kalau sosoknya lebih pendiam. Walau memang sempat terkejut karena dia berani berterus-terang. Hal itu sangat mengingatkannya dengan Gavier yang dulu selalu murung dan dingin karena banyak orang tidak menyukainya.

Keempat, dugaan gila bahwa Resta itu Adires dan Gavin itu Gavier. Nama mereka memang mirip. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, tapi ini teori tergila.

Kelima, Gavin tidak suka Zata dekat dengan Resta.

Keenam, Gavin tau sesuatu tentang Alenda.

Zata otomatis menepuk keningnya. Bodoh sekali! Dia lupa tentang kekuatan misterius Gavin!

"Oh iya! Kalau Gavin itu saudaranya Resta dan mereka tinggal satu rumah, berarti yang kulihat waktu itu benar-benar Gavin dan dia juga yang sudah membawaku pulang," gumam Zata sambil mengigit kukunya. Ah, kenapa bisa lupa, sih? Kalau dia ingat, kemarin dia bisa sedikit memancing Gavin.

Terakhir, Zata menuliskan sesuatu lalu melingkarinya besar-besar.

Pertanyaannya ... kenapa kebetulan sekali wajah keduanya mirip Gavier dan bagaimana aku bisa masuk ke dalam film?

"Kalau aku harus bertanya, orang yang sepertinya bisa mengungkap semuanya adalah Gavin karena cowok itu yang aku lihat jelas kekuatannya, tapi tidak menutup kemungkinan kalau Resta juga punya kekuatan yang sama. Mereka kan saudara kembar," gumam Zata. Kali ini dia menepuk-nepuk pena itu ke keningnya. "Hmm, oke. Setidaknya aku tau kalau aku bisa menggunakan kunci yang ada di Gavin. Sekarang aku cukup memperkuat dugaan-dugaan ini. Khususnya tentang kemampuan yang dia punya sehingga dia nggak akan berdalih ketika kutanya. Lagipula ini semua masih abu-abu. Sekali lagi, masih sangat abu-abu."

Kini Zata menyandarkan tubuhnya pada badan kursi. Dia melihat coretan-coretan yang dia tulis di buku. "Tapi aku masih sangat penasaran tentang kalimatnya tadi. Apa maksudnya dia tidak bisa menahannya? Dan mungkinkah Alenda yang dia bilang adalah Alenda yang kukenal? Yaitu aku?"

Sesuatu yang bergetar di atas meja mengejutkan Zata. Lantas dia mengambil benda itu dan menggeser tombol hijau. "Halo?"

"Apa lo kemarin bener-bener dateng ke rumah Kak Resta? Anjir lo!" teriak Inggit dari ujung sana.

"Bagaimana lagi? Aku terpaksa! Nggak akan ada kemajuan kalau nggak nekat sedikit," kata Zata sambil mengangkat kakinya ke atas kursi. "Lebih baik sekarang kamu ke sini. Ada banyak hal yang kutemukan."

Setelah telepon dimatikan, tak butuh waktu lama untuk Inggit sampai di rumah Zata. Zata pun menceritakan semua penemuannya dan dugaan-dugaan baru yang sedang dia selidiki.

"SUMO TARUNG?!" Inggit menutup mulutnya tak percaya. "Dulu lo parah banget bully dia karena malu habis ditembak cowok gendut, tapi gimana jadinya sekarang dia persis Kak Resta?!"

"A--aku nggak tau!" Zata mengusap wajahnya. "Haah ... jangan ingatkan aku. Aku memang bocah nggak waras waktu itu. Ternyata ini yang namanya menelan ludah sendiri."

"Nah, kan! Jodoh itu emang seunik itu. Nggak ada yang tau kan orang yang dulu paling bikin lo jijik, sekarang malah yang paling lo cintai? Kalau gue jadi Gavin, udah gue ledek sampe jelek lo!" kata Inggit yang sudah menggebu-gebu. Dia tak percaya bahwa semakin Zata mendekati kebenaran, segalanya jadi serumit ini.

"Tapi ... mereka bilang, mereka memaafkanku," ucap Zata setelah menghela napas berat.

Inggit menepuk bahu Zata. "Hei, yang namanya dibully itu nggak ada yang enak. Sesuci-sucinya dia buat maafin kita, pasti yang dia laluin itu nggak enak. Apalagi waktu masih bocah kayak SMP. Jelas pasti dia punya trauma. Mungkin Viktor udah dewasa ya jadi bisa ngerti soal tingkah lo, tapi Gavin? Itu Sumo Tarung paling parah lo tindasnya. Gue kalau jadi dia nggak mungkin sih tiba-tiba jadi ibu peri buat maafin lo. Kalau pun iya, gue cuma basa-basi doang."

"Jadi, menurutmu dia masih membenciku?" tanya Zata setelah mencerna baik-baik perkataan Inggit.

"Ya iya lah. Apalagi lo udah mempermalukan dia dan merendahkan perasaannya. Dulu berapa kali aja gue nyoba bilang sama lo kalau lo udah berlebihan," ucap Inggit sembari menggosok hidungnya.

"Dan sekarang aku nggak tau harus gimana karena nggak bisa mengubah masa lalu."

Sontak Inggit menepuk-nepuk punggung tangan Zata. "Itu dia! Kita memang nggak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa mengubah masa depan!"

"Maksudnya?" tanya Zata ketika merasa bahwa Inggit punya ide.

"Setelah lo pulang dari rumah Kak Resta waktu itu, lo belum hubungin dia lagi, kan?"

Zata mengangguk beberapa kali. Dia memang sengaja mengabaikan Resta sebab sedang fokus mencari tau tentang kembarannya. "Iya, nggak sempet."

"Kalau gitu, gimana kalau gini? Lo pakai alasan itu buat ketemu Kak Resta terus deketin dia. Yah, pancing-pancing dikit aja soal siapa penulis film yang dia buat. Pake embel-embel bimbingan belajar juga nggak masalah," kata Inggit sambil mengayun-ayunkan tangannya.

Zata mengerutkan keningnya. "Tapi Gavin nggak suka aku deket sama Kak Resta."

"Hei? Gavin itu siapa? Jangan asal menyimpulkan kalau dia Gavier! Sekarang semuanya masih abu-abu. Salah satu di antara mereka mungkin Gavier atau bisa aja Gavier nggak pernah ada. Segala opsi itu mungkin. Lo yang bilang sendiri, kan?" Inggit melihat Zata mengangguk sambil berusaha mencerna perkataannya. "Tapi ini juga bisa jadi kesempatan untuk mendayuh kapal, satu dan dua pulau terlampaui. Lo bisa pakai kesempatan ini untuk mancing Gavin, apa dia masih punya perasaan sama lo atau enggak?"

"Kalau dia punya perasaan atau enggak sama aku kenapa?" tanya Zata yang masih tak paham.

Inggit tersenyum antusias. Dia memegang kedua bahu Zata untuk mengalirkan energi positifnya. "Kalau dia suka sama lo, dia pasti akan nurut. Dan kalau dia penurut ...." Inggit sengaja menggantungkan kalimatnya agar dipahami Zata sendiri.

"... kalau dia penurut, dia pasti akan jawab semua pertanyaan yang kukasih?" lanjut Zata.

"Exactly!" seru Inggit. "Deketin keduanya, dapetin rahasianya!"

Zata kagum dengan pemikiran Inggit. Dia jadi bertepuk tangan tanpa suara. Lantas dia melihat Inggit naik ke atas kasurnya sambil melayangkan jari kedua dan tengah. "Sekarang judulnya bukan lagi The Beast & His Secret, tapi Two Boys & Their Secret!"

"Pffft!" Zata terbahak melihat Inggit yang bergoyang-goyang di sana.

Di dalam hati, Zata sangat menantikan hal ini. Mungkin perjalanannya untuk menemukan kebenaran dan Gavier, tidak akan lama lagi.

***

Gavin menutup lembar terakhir tulisannya. Dia melepas kacamata lalu mengusap wajahnya. Helaan napas terdengar kala dia mengingat kejadian tadi. Kenapa dia bisa sampai mengatakan pertanyaan itu?

"Apa wajahku dan Resta mirip dengannya?"

Gavin tidak tau lagi. Kalau berada di dekat gadis itu, pikirannya tak bisa terkendali. Padahal bukan ini maksud Gavin. Dia hanya terlalu terkejut dengan perubahan sikap gadis itu padanya, sehingga segala hal yang lewat di kepala jadi tanpa sadar terucap begitu saja.

Duk! Duk! Duk!

Bunyi langkah kaki di tangga terdengar keras, tapo Gavin tak terkejut. Siapa lagi di rumah ini yang punya tingkah kasar?

Tok!

Pintu kamarnya diketuk sekali. "Vin! Buka, Vin!"

Teriakan Resta terdengar. Gavin beranjak dari kursi ke atas kasur lalu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

Tok! Tok! Tok! Tok!

"Gue bilang, buka, Anjing!"

Gavin masih tak bergeming dari tempatnya. Lantas dia mulai melakukan sesuatu sehingga suara ketukan pintu tak lagi terdengar.

"Ooh, lo mau nantangin gue, hah?"

BRAK!

Gagang pintu dirusak. Untuk yang kesekian kalinya. Akhirnya pintu kamar Gavin bisa dibuka. Resta menendang pintu itu hingga terdengar suara cukup keras.

"Bangun! Gue mau bicara sama lo!" bentak Resta ketika melihat Gavin yang sembunyi di balik selimut.

"Nggak ada yang mau gue bilang," kata Gavin.

"Bangun, nggak?!" bentak Resta sekali lagi. Kali ini disertai hantaman keras di kaki meja belajar Gavin. "Atau buku lo, gue bakar!"

Mendengar itu akhirnya Gavin bangun. Dia menatap tajam Resta.

"Dengerin gue! Gue nggak mau, ya, kalau sampai lo hancurin reputasi gue dengan hal gila lo! Dari lama gue udah pengin bawa lo ke rumah sakit jiwa tau, nggak? Tapi karena lo licik dan cari muka di depan mama, semua rencana gue jadi hancur!" Resta berjalan mendekat. Dia menunjuk wajah Gavin dengan jari telunjuknya. "Dan lo kan, yang udah bawa cewek gue kabur waktu itu? Kenapa? Akhirnya lo tertarik sama salah satu cewek gue, ha?"

Pasti yang dimaksud Resta adalah Zata.

"Tapi lo nggak bisa sama dia. Gue bahkan belum make dia, jadi ... kalau lo mau--"

BUGH!

"JANGAN SENTUH DIA!" Gavin tiba-tiba sudah duduk di atas Resta sembari menekan leher Resta dengan lengannya. Ujung bibir pria itu sudah berdarah oleh pukulan Gavin dan ini pertama kali.

"Wah-wah? Lo suka sama dia, ha? Gue jadi makin pengin jadiin dia milik gue selamanya," ucap Resta tanpa beban. Dia membiarkan dirinya tak berdaya di bawah tatapan tajam Gavin yang selama ini selalu lemah tanpa ambisi.

"Langkahi mayat gue dulu!" bentak Gavin.

"Ho! Lo bahkan sampai merelakan nyawa lo demi dia? Keren, sih," ucap Resta. Tubuhnya bergetar karena tak sanggup menahan tawa. "Tapi pertanyaannya, apa dia mau sama lo?"

Resta mendorong pelipis Gavin dengan jari telunjuknya. "Di sini kan gila. Mana ada cewek mau sama cowok penyakitan yang punya skizofrenia?"

"Gue nggak gila!"

Resta mengangguk-angguk dengan senyum meremehkan yang tak kunjung hilang. Detik berikutnya, Gavin menutup kedua mata Resta. Saat terbuka, Resta merasa tubuhnya jatuh ke jurang yang sangat dalam. Sontak pria itu bergeliat dan terus berusaha naik, tapi entah seberapa dalam jurang ini hingga dia terus-menerus melayang turun.

"AAAAKKH!" Resta berusaha agar bisa memegang apa pun yang ada di sekitarnya, tapi tidak ada apa-apa. Ruangan gelap ini hanya berisi jurang yang begitu dalam sampai Resta tak kunjung mendarat.

Hingga dia mulai merasakan sampai di titik paling bawah, napasnya berubah sesak dan memaksanya menghirup udara jauh lebih banyak. "HAAAAH!" Seketika Resta terbangun dengan napas ngos-ngosan.

Gavin sudah duduk di kursi sambil memperhatikannya.

"Apa yang lo--"

"Jangan sentuh dia. Cuma itu permintaan gue."


- The Beast & His Secret -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top