Bab 60
"A--apa?"
Zata ikut menjawab, "Apa?"
Pria itu menoleh ke kanan untuk mendengar suara Zata lebih jelas. "Apa yang tadi kamu katakan, Zata?"
"Tadi aku ... bilang apa, ya?" Zata lupa. Tentu saja, dia sedang mabuk sekarang. "Tapi kenapa pesawatnya berhenti? Ayo! Berangkat!"
Zata menjambak rambut pria itu agar segera berjalan lagi. Dengan sabar dia menurut dan sedikit mempercepat langkahnya agar Zata senang. "Wah! Aku terbang!"
Zata mengangkat kedua tangannya dan menggoyang-goyangkannya ke kanan kiri. "Aku benar-benar terbang! Hore!"
Terdengar kekehan kecil dari pria itu. Zata pun kembali menunduk lalu mengecup pipinya. Lagi-lagi langkah pria itu jadi berhenti.
"Itu untuk terima kasih." Zata tersenyum senang sampai matanya menyipit. Lalu mencium pipi pria itu sekali lagi. "Itu untuk terbang."
Melihat ada kursi panjang di sisi kanannya, pria itu memutuskan untuk mendudukkan Zata di sana. "Apa kamu mencium semua orang seperti ini?" tanyanya sembari berjongkok di depan Zata.
Zata menggerak-gerakkan bahunya seperti sedang menari.
"Zata?" panggil orang itu lagi.
"Iya, namaku Zata! Hormat kepada Yang Mulia Kaisar," jawab Zata lalu menempelkan tangannya di pelipis seperti hormat pada bendera.
"Hei, Zata," panggilnya lagi lalu duduk di sebelah Zata. "Kenapa kamu mabuk seperti tadi?"
"Karena ...." Zata menunduk. Dia mengepalkan kedua tangannya dan mulai menangis. "... aku sedih."
"Kenapa kamu sedih?"
"Aku tidak bisa bertemu dengannya."
"Siapa?"
Zata menoleh untuk menatap orang yang sedang mengajaknya bicara. "Orang yang sangat, sangat, sangat kucintai."
Dia menggerai anak rambut Zata ke belakang telinga. Walaupun penampilan Zata seperti ini, dia masih sangat mampu mengenalinya. "Siapa yang sedang kamu cintai, Zata?"
Gavier, batin Zata sembari melihat wajah yang mirip dengan Gavier di depannya.
"Ga ... Gav?"
Pria itu tampak terkejut. "Ka--kamu ... mengingatku? Kamu mengenaliku?"
"Tentu saja ... kamu Gav ... ku ...." kata Zata sembari terisak.
"Ah, kamu masih mabuk, tentu saja," gumamnya.
"Gav!" Zata langsung memeluk pria itu. Sontak dia bergeming di tempat, terkejut oleh pelukan tiba-tiba dari Zata. "Aku kangen."
"Iya ... aku juga." Pria itu mengusap lembut punggung Zata. Siapa pun yang dicintai Zata, pasti dia sangat lah beruntung.
"Kenapa kamu lama sekali datangnya?" Zata memundurkan kepalanya lalu menangkup kedua pipi pria itu. "Aku ... aku benar-benar tidak bisa ... aku tidak tau bagaimana tetap menjaga diri dan bahagia seperti maksudmu. Karena semua itu bisa kulakukan kalau ada kamu."
Pandangan pria itu berkaca. Untuk kali pertama Zata menatapnya dan menyentuhnya dalam jarak sedekat ini. Lantas dia mengusap pipi Zata dengan ibu jarinya. "Jangan menangis. Kamu lebih cantik ketika tersenyum."
"Aku tau. Kamu bilang, aku jelek saat menangis."
"Hahaha ...."
Pria itu mengusap bibir Zata yang begitu merah. "Jujur, kamu cantik tanpa riasan ini."
Zata mengambil tangan pria itu lalu memasukkan jarinya ke sela-sela jari pria itu. "Apa kamu mau tetap di sini bersamaku?"
Dia tersenyum miris. "Andai kamu mengatakannya saat kamu sadar."
Zata merapatkan tubuhnya pada pria itu lalu mengulurkan tangan kirinya, yang tidak sedang memegang apa-apa, ke depan. Dia menunjuk sesuatu. "Lihat! Mataharinya akan terbit!"
Pria itu mengerutkan keningnya. "Apa? Ini kan masih malam."
Zata menggeleng. "Lihatlah lagi! Coba lihat!"
Lantas dia menurut pada Zata. Dia memperhatikan bulan yang ditunjuk gadis itu.
Tiba-tiba tempat yang mereka duduki berubah. Mereka berdua menjadi duduk di atas tebing sembari menunggu matahari terbit tepat ketika pria itu membuka mata. Karena sangat terkejut, dia hanya bisa membulatkan mata sambil menatap Zata.
"Sudah kubilang, kan? Matahari sedang terbit!"
"Zata! Bagaimana caramu melakukannya?" tanyanya dengan sangat tergesa-gesa.
"Apanya?"
"Ini! Bagaimana kita bisa sampai di sini?" tanya pria itu.
Zata menatap ke arah matahari lagi lalu menunjuknya. "Karena matahari sedang terbit!"
Merasa percuma bertanya lagi, dia pun menyerah. Dia tatap tangan Zata yang menggenggam erat tangannya.
Sejak kapan kamu juga memiliki kekuatan yang sama denganku, Zata?
***
"Zata ...."
"Hmm ... Gavier?" Zata mengucek matanya dan berbalik badan.
"Siapa Gavier?"
"Mama?!" Zata segera bangun dan melihat mamanya sudah duduk di sampingnya sambil membawa nampan.
"Iya ini bawa sup buat kamu biar perutnya anget," ucapnya sembari meletakkan nampan di atas nakas. "Tapi Gavier itu siapa?"
"Ah ... itu ...." Zata mencoba berpikir keras dan mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Padahal seingatnya, dia sempat melihat Gavier dan menikmati matahari terbit bersama. Apa semua itu mimpi?
"Anu ... dia itu karakter di film yang aku suka!" seru Zata langsung. Melihatnya bersemangat, membuat Natasya terkekeh.
"Sebegitu sukanya ya kamu sampai teriak gitu?"
"Eh, anu ...."
"Oh iya, kemarin tumben kamu nggak pulang sama Inggit?" tanya Natasya sembari mengambilkan mangkuk berisi sup itu kepada Zata. Zata pun menerimanya lalu mengaduk-aduk sup itu.
"Kemarin ... aku pulang sama siapa, Ma?"
"Sama cowok, tapi mama lupa namanya. Dia baik banget ngantar kamu pulang sambil gendong gitu. Kalau mama lihat sih kayaknya jalan kaki. Tapi dia kayak agak takut sama mama. Apa mama segarang itu, ya?" Natasya jadi menyentuh wajahnya. Padahal dia sudah melakukan perawatan agar terlihat awet muda, tapi ternyata masih saja ada yang melihatnya tua. Memang umur tidak bisa ditutupi.
"Apa dia ganteng?" Kalau memang yang dilihat Zata semalam bukan mimpi, mungkin saja itu Resta karena dia jelas-jelas menyentuh wajah Gavier.
"Hm, apa iya, ya? Wajahnya itu nggak kelihatan. Dia lebih sering nunduk, terus yang mama inget dia pakai kacamata."
Kembaran Resta!
Zata mulai merenung. Berarti yang semalam membantunya adalah saudara kembar Resta. Pertanyaannya adalah mengapa dia selalu membantu Zata dan enggan menunjukkan identitasnya? Ini aneh, tapi Zata jadi semakin penasaran.
"Terus dia pulangnya gimana, Ma?" tanya Zata.
"Waduh, mama juga nggak tau. Awalnya mau mama tawarin masuk, tapi dia nolak karena memang udah malem. Terus ya sudah dia pulang gitu. Mama juga nggak lihat ada kendaraan."
Zata terdiam. Satu-satunya cara untuk menemui pria itu sepertinya ada dua. Berada dalam bahaya atau ke rumahnya. Walaupun ini memang tidak masuk akal, tapi Zata jadi tertantang untuk mencobanya. Pasalnya, pria itu benar-benar misterius. Dia tidak meninggalkan sedikit pun jati dirinya untuk diketahui Zata.
"Kenapa, ya?" gumam Zata.
"Apanya?" tanya Natasya yang menatapnya bingung dari tadi.
"Oh, bukan apa-apa, Ma. Tapi, kemarin Inggit ke sini?"
"Iya itu dia tidur di kamarmu. Soalnya kemarin nangis-nangis takut kamu hilang. Agak mabuk, sih, soalnya dia takut kamu diculik ke dunia film. Kan aneh. Mama sampai bingung mau ketawa apa takut," ucap Natasya sembari membereskan pakaiannya ke lemari. Memang saat Zata menyapu pandangan, dia baru sadar kalau ini kamar orang tuanya. Bukan kamar milik Zata.
"Papa nggak pulang?"
"Iya, papamu ke rumah Om Raden. Dimintai tolong bantu-bantu eyang," ujar Natasya sembari membuka lebar jendela kamarnya.
Setelah menghabiskan sarapannya, Zata membantu Natasya mencuci piring. Dia membereskan beberapa pekerjaan rumah sambil menghela napas berat. Saat ini ada banyak yang dia pusingkan. Apalagi ingatan tentang apa yang terjadi semalam terus bercampur seperti kaset rusak. Padahal Zata ingin tau apa saja yang sudah dia lakukan sampai bisa bertemu saudara kembar Resta.
"Nggit," panggil Zata pada Inggit yang sibuk memainkan ponselnya.
"Hm."
"Hari ini kamu anter aku ke rumah Kak Resta, ya?"
Sontak Inggit menggebrak meja. "Buat apa lagi, sih? Semalem lo sempet ilang gara-gara dia!"
Zata menggeleng berkali-kali. "Ish, bukan! Aku itu ditolongin saudaranya, bukan Kak Resta."
"Gue masih nggak percaya. Bisa aja itu Kak Resta yang pakai kacamata. Toh, lo nggak inget jelas, kan?" kata Inggit yang disertai tatapan kesal ingin memukul Zata.
"Hmm, kalau dibilang nggak inget jelas itu nggak juga. Karena aku inget tapi aku nggak ngerti urutannya gimana. Semuanya campur-aduk," ucap Zata yang meletakkan sapunya di pinggir kulkas.
"Aku ada dugaan."
"Apa lagi? Dugaan lo selalu bikin gue nggak bisa tidur." Inggit menutup kedua telinganya. Dia tidak ingin mendengar itu, tapi juga penasaran.
"Dugaan kalau saudara Kak Resta itu ... bakal muncul setiap aku dalam bahaya atau ke rumahnya," ucap Zata dengan percaya diri dan yakin seratus persen.
"Pede amat? Memang Anda siapanya? Coba ketabrak di depan. Mana ada dia tiba-tiba muncul? Yang ada, dia sebenarnya setan bukan manus--"
Plak! Plak!
Mulut Inggit dipukul Zata beberapa kali. "Jangan ngomongin hal negatif. Sekarang aku takut banget kalo kejadian beneran karena dari awal nggak ada hal yang masuk akal."
"I--iya juga, sih." Inggit jadi ikut merinding.
"Jadi kamu beneran nggak mau antar aku ke rumahnya Kak Resta?" tanya Zata lagi.
Inggit bersedekap dada. Keputusannya sudah bulat. "Nggak!"
***
Bukan berarti karena Inggit tidak mau mengantarnya, dia jadi tidak melakukan apa-apa. Oh, tentu saja itu bukan Zata. Kini dia berada di dalam taxi menuju rumah Resta yang pernah dia datangi waktu itu. Walau memang sedikit lupa arah jalannya, tapi karena tidak banyak belokan, dia pun akhirnya sampai di depan rumah bertingkat dua itu.
"Nggak turun, Teh?" tanya pak supir. Dia harus mencari banyak rezeki hari ini.
"Ah, iya, Pak." Zata memberikan beberapa lembar uang lalu turun. Sebenarnya rencananya tadi adalah mengawasi rumah ini dari kejauhan. Selain karena hal itu aman, dia juga jadi tidak lelah. Tapi karena pak supir memang harus mencari penghasilan, Zata membiarkan beliau pergi. Harusnya dia memang datang ke sini dengan Inggit! Kalau perlu, memaksa gadis itu agar setuju.
Krieet ....
Terdengar bunyi pagar yang dibuka, Zata segera bersembunyi di balik pohon. Saat diintip, itu adalah Resta yang ke luar dengan mobilnya untuk berangkat kerja. Tidak mengejutkan kalau di dalamnya juga ada seorang gadis tak dikenal. Hm, apa mereka melakukannya di rumah Resta yang juga ditinggali mamanya? Tidak sopan sekali.
Tak menunggu lama usai kepergian Resta, datang mobil lain yang masuk ke rumah itu. Setelah diperhatikan, itu adalah seorang wanita paruh baya yang baru pulang. "Itu pasti mamanya."
Pluk!
Pandangan Zata tiba-tiba berubah gelap. Seseorang menutup kepalanya dengan karung lalu membawanya pergi. Sekuat mungkin Zata berusaha memberontak, tapi kekuatan pria yang lebih dari satu orang ini berhasil mengalahkannya. Kalau saja ... kalau saja sihir Zata bisa digunakan di tempat ini ... maka dia bisa selamat.
Walau di dalam benaknya dia terus bertanya, siapa orang-orang ini?
"Mmh!" Sampai masuk di dalam mobil, Zata terus memberontak. Untungnya dia masih bisa bernapas.
"Bos! Dapet cewek nih, Bos!"
"Jual di darkweb aja, lah!" seru orang-orang yang ada di belakang.
"Ya udah, ya udah, bikin dua opsi. Kalau cantik, jual ke pasar gelap. Kalau jelek, jual ke darkweb. Aman, kan?" ucap seseorang yang ada di bagian kemudi.
Mendengar itu, kekuatan Zata semakin berkumpul untuk melawan mereka, tapi tangannya sudah diapit kanan kiri dan kakinya tidak bisa bergerak karena ditindih dumbbell.
Aku mau ketemu Gavier!
Zata terus mengerang sampai dia merasa pantatnya jatuh ke suatu tempat. Tempat yang sepi dan hanya terdengar tetesan air. Genangan-genangan yang ada di sekitarnya juga menambah kebingungan karena sebelumnya Zata masih diapit oleh dua orang dan mendengar suara bising mereka.
Aku di mana?!
"Mmmh! Mmmh!" teriak Zata. Karna mulutnya disumpal, dia jadi tidak bisa berucap dengan benar. Tapi walau begitu, tempat ini bergema sehingga dia bisa meneriakkannya sekali lagi dengan lantang.
"Terus kemarin gue pikir dia--"
"MMMMH!"
Zata mendengar langkah orang. Siapa pun di sana, semoga mereka adalah orang baik.
"Heh! Heh! Lo dengar suara orang nggak?" ucap seseorang.
"MMMH!"
"Eh, iya, tapi nggak mungkin, deh. Mana ada orang di sini? Ini kan gudang bekas," ucap temannya.
Duh percaya dikit kek! Saya susah nih! batin Zata yang sudah sangat kesal.
"Itu! Itu! Orang!" seru seseorang yang tadi menyadari suara Zata. Dia segera berlari mendekat dan membuka karung yang menutup kepala Zata. "Hubungin bantuan, Gav!"
"O--oke."
Baru selesai melepas ikatan dan sumpalan di tubuh Zata, pria itu membatu. Sama halnya dengan Zata.
"Zata?"
"Vik--Viktor ...." Dengan penampilan kacau, bola mata Zata berkaca. Apa pria ini yang sudah menculiknya? Tapi kalau benar, tidak mungkin dia membuka semua ikatannya. "Apa yang--"
Viktor menegakkan tubuhnya dan mundur. Dia menunduk dengan raut cemas.
"Kamu yang menyelamatkanku, kan?" tanya Zata, dia segera mengubah ucapannya.
"Itu ... aku ...." Viktor tidak bisa berkata apa-apa. Bertemu dengan orang yang pernah menindasnya begitu keras semasa sekolah tentu menimbulkan perasaan aneh dan tidak nyaman.
Merasa bahwa ini adalah keberuntungannya, Zata pun berjalan mendekati Viktor lalu berlutut. "Aku ... aku ... aku brengsek."
"Za--Zata?"
Zata mengusap air mata yang menetes di pipinya. Dia menggeleng. "Aku ... aku seneng kamu masih hidup. Aku kira ... aku kira kamu benar-benar bunuh diri. Aku ... aku ... aku bahkan nggak pantas mendapat maaf dari kamu, Vik."
"Aku sudah ... sudah memaafkanmu, Ta."
Sontak Zata mendongak. "Apa?"
"Berdiri lah." Zata menuruti perkataan Viktor dan berdiri menghadapnya. Melihat keadaan Zata sekarang, memang auranya berbeda daripada dulu saat mereka masih sekolah. "Bagaimana keadaanmu selama ini?"
Zata mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Aku nggak pantas bahagia."
"Aku sudah memaafkan kamu jauh sebelum ini. Karena cara satu-satunya untuk bangkit dari trauma adalah memaafkan kalian," ucap Viktor dengan senyuman tulus.
"Tapi, kenapa? Aku udah jahat," kata Zata yang tidak bisa terima kalau Viktor langsung memaafkannya semudah ini.
"Anggap saja ini caraku untuk bahagia dan aku harap kamu menghargai itu."
Zata rasanya ingin menangis lagi, tapi hal itu terhenti kala melihat pria yang berdiri di sebelah Viktor.
Benar, dia saudara kembar Resta. Pria berkacamata yang masih saja mengenakan jaket lusuh itu menunduk, tak berani menatap Zata.
"Viktor, dia--"
"Kamu ingat dia?" tanya Viktor langsung.
"Apa?" Zata jadi bingung. Apakah dia pernah mengenal kembaran Resta? Dia rasa tidak pernah berjumpa dengan wajah yang mirip seperti Gavier ini.
"Dia Gavin, apa kamu ingat?"
Zata mengerutkan keningnya. "Gavin?"
"Teman SMP kita juga. Dulu kalian lebih sering panggil dia 'Sumo Tarung'." Ucapan Viktor memperjelas semuanya.
Lantas tubuh Zata berubah lemas. Ini mustahil. Pria yang dia cari itu ... orang yang pernah dia bully juga?
Hal yang paling membuat Zata sakit kepala adalah dugaan baru yang muncul di benaknya.
Resta sebagai Adires, Gavin sebagai Gavier.
Hahaha, itu cocok.
Tapi ... bukankah ini gila?
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top