Bab 59
Tuhan, kucinta dia. Kuingin bersamanya. Kuingin habiskan napas ini berdua dengannya. Jangan rubah takdirku. Satukanlah hatiku dengan hatinya.
Caelah.
***
"I-‐ini kok ... kok? Kok? Kok bisa?!" Zata berjongkok sambil menjambak rambutnya. Karena memang sudah cukup malam, suasana di sekitar rumah Zata sangat sepi. Hanya lampu jalan yang menemani. Menambah suasana jadi semakin ngeri.
"Ini ... ini ...." Zata menggigit kukunya sendiri dengan sangat panik. Rasanya ingin teriak dan menangis. Apa barusan dia berhalusinasi? Tapi semua itu benar-benar sangat nyata!
Plak! Plak!
Zata menampar pipinya sendiri berkali-kali. Berharap dia akan segera sadar kalau ini mimpi.
"Astaga, kok? Gimana bisa? Siapa laki-laki itu?"
Krieet ....
Pagar rumah Zata digeser ke samping. Seorang perempuan muncul, hendak membuang sampah yang sudah dikumpulkan dalam plastik besar.
"Loh, Zata?"
Zata menatap Inggit dengan raut takut. Sontak Inggit melempar sampahnya dan langsung mendatangi Zata.
"Hei! Lo kenapa? Kok bisa di sini? Jangan-jangan karena Kak Resta? Dia udah ngapa-ngapain lo?!" tanya Inggit beruntun. Dia mulai memutar-mutar tubuh Zata untuk mengecek apakah ada yang terluka. "Lo nggak pa-pa, kan? Dia nggak nyakitin lo, kan?"
Zata menarik napasnya dalam-dalam. Dia menelan salivanya sendiri susah payah lalu memegang bahu Inggit. "Nggit ... coba cubit aku."
"What?"
"Cubit, plis!"
"But, why? Gue nggak mau do something yang nggak ada reason-nya," kata Inggit sembari menyembunyikan tangannya di ketiak.
Zata yang gemas langsung mengambil tangan Inggit untuk diletakkan di pipinya. "Aku mohon sama kamu! Sebelum aku jadi gila!"
"Hah?!" Otomatis Inggit menyubit kedua pipi Zata lalu menggoyang-goyangkannya ke depan dan belakang sampai Zata merintih sendiri.
"Aw! Aw!"
"Tuh, kan! Sakit, kan? Awas lo ngebales!" Inggit kini menutupi pipinya. "Lagian lo kenapa, sih?!"
Zata menghela napas berat. "Kepalaku pusing. Ayo kita masuk dulu."
Sampai di dalam kamar Zata, Inggit sudah mengenakan piyama tidur milik Zata. Memang sudah biasa mereka menginap atau menggunakan pakaian satu sama lain. Benar-benar seperti keluarga.
"Oke, jadi sekarang lo mau cerita?" kata Inggit sembari menepuk-nepuk pipinya. Dia hendak memakai masker untuk melembutkan kulit.
Zata sendiri sedang mencopot resleting pakaiannya lalu ganti menjadi piyama tidur. "Tadi aku mengalami kejadian aneh. Yang ... gilanya lagi itu benar-benar kejadian di dunia nyata."
"Apaan?"
Zata mendudukkan diri di atas kasur sambil menghadap Inggit. "Tadi kan aku makan malam sama Kak Resta, setelah itu kita ke rumahnya--"
"WHAT?! ARE YOU CRAZY? LO BENAR-BENAR NGGAK DENGERIN GUE, YA!"
"Sssst!" Zata membekap mulut Inggit agar berhenti bicara dulu. "Bagian itu nggak penting. Aku memang sengaja mancing dia ke rumahnya biar tau siapa Kak Resta sebenarnya. Kebetulan mamanya lagi nggak di rumah, tapi akhirnya aku menemukan satu fakta kalau Kak Resta punya saudara yang disembunyikan!"
"Hah, serius?!"
Zata mengangguk dengan tatapan sangat serius. "Ngakunya Kak Resta sih kamar itu udah kosong lama, tapi aku jelas-jelas lihat ada orang yang ngintip dari sana. Sebelum Kak Resta bawa aku ke kamarnya, tiba-tiba ada yang narik tanganku."
"Siapa? Siapa? Gavier, kah?!" tanya Inggit yang sudah antusias.
"Aku nggak tau. Dia cuma narik aku dan terus lari. Aku cuma liat tubuh dan kepalanya dari belakang. Kalau diinget-inget lagi, jaketnya mirip sama punyanya cowok yang mirip Kak Resta di pasar."
Inggit langsung mengayun-ayunkan sendok maskernya. "Ini fiks! Ini udah fiks! Kak Resta punya saudara kembar! Fiks banget!"
"Tapi masalahnya ...."
"Kenapa?"
"Waktu dia narik aku, tubuhku sama dia tiba-tiba kayak pindah ke sebuah hutan yang luas gitu. Tapi emang aku nggak asing sama tempatnya. Terus waktu buka mata lagi, aku udah tiba-tiba sampai di depan rumah," ungkap Zata yang membuat pergerakan Inggit sepenuhnya berhenti.
"Ta ... lo yang bener."
Zata mendekatkan wajahnya pada Inggit lalu menunjuknya dengan jari telunjuk. "Apa wajah ini kelihatan bohong?"
Inggit meletakkan mangkuk maskernya di atas nakas lalu merapatkan tubuh pada Zata. "Sumpah kalo itu beneran ngeri banget, anjir! Lo serius tiba-tiba waktu ditarik dia, tubuh lo udah pindah? Bukan karena lo mungkin ketiduran waktu naik mobil?"
"Aku sadar sepenuhnya!" kata Zata sambil membuka kelopak matanya untuk menunjukkan bahwa tidak ada bekas baru bangun tidur sama sekali.
"Astaga ... ini ada apa sih sama dunia? Kok gue merinding begini?" Kemudian Inggit memeluk Zata. "Dan hidup lo kenapa begini banget, dah? Kagak ada normal-normalnya dan penuh dengan bahaya."
"Bentar-bentar," ucap Zata yang tiba-tiba mulai teringat sesuatu. Dia menatap Inggit dengan lebih intens dari sebelumnya. "Kamu tau nggak sih kalau ada kamera yang bisa ambil video dan merekam beberapa kejadian yang sebelumnya terjadi?"
"Maksud lo CCTV?"
Kedua alis Zata langsung terangkat. "Nah, iya! CCTV! Kalau kita lihat CCTV di depan rumahku, mungkin kita akan tau jawabannya lebih jelas, kan? Apa aku memang kena efek bangun tidur karena diturunin Kak Resta di jalan atau ... memang benar-benar terjadi kejadian aneh yang nggak bisa dijawab pakai akal."
"Hah? I--iya juga, ya?" Otak Inggit masih berusaha mencerna semuanya. Ketika sudah nyambung, dia langsung menegakkan tubuh sambil menarik-narik tangan Zata. "Lo benar! Benar banget! Kita harus cek CCTV lo! Siapa tau kita bisa lihat wajahnya juga, kan?!"
Zata menggenggam erat tangan Inggit. "Tapi, kita harus diem-diem. Jangan sampai papa sama mamaku bangun. Kalau mereka sampai tau rekaman CCTV itu, bisa-bisa bakal ada banyak bodyguard atau apa buat jagain aku."
"Oke-oke, lo tenang aja."
Mereka pun ke luar dari kamar Zata bersama-sama. Ruang tamu dan ruang keluarga lampunya mati, menandakan bahwa orang tua Zata sudah terlelap. Mereka akhirnya bisa mengendap-endap dengan tenang menuju ruang kerja papanya Zata. Di sana pintunya tidak dikunci dan mereka bisa masuk dengan leluasa.
"Gimana?" tanya Zata pada Inggit yang ada di belakangnya dan bertugas mengecek keadaan.
"Aman." Inggit menutup pelan pintu itu lalu kembali mengekori Zata.
"BTW, kamu hari ini kenapa tiba-tiba nginep rumahku?" tanya Zata yang sudah duduk di kursi papanya dan mulai mengotak-atik komputer di sana.
"Nyokap lo masak soto ayam kesukaan gue. Nggak enak kalau dimakan di rumah."
"Oalah." Zata akhirnya menemukan video rekaman dua jam sebelumnya. Saat diputar, Inggit segera merapatkan diri pada Zata karena mulai merinding. Takutnya orang aneh itu bisa masuk ke dalam rumah ini.
Karena suasana di depan rumah Zata masih saja sepi, Zata pun mempercepat sedikit videonya.
"Itu! Itu!" kata Inggit kala melihat dirinya yang sudah terekam CCTV saat membuka pagar. Zata pun segera mengembalikan rekaman ke menit sebelumnya. Saat melihat Zata yang ditarik seorang pria, gadis itu segera menghentikan videonya lalu memperbesarnya.
"ANJIR!" Inggit segera mengambil ponselnya dan memotret pria itu.
Tubuh Zata sendiri sudah lemas. Dia kehilangan kata-kata lagi untuk diucapkan sebab kejadian yang dialami Zata ternyata nyata. Terlihat dari kamera CCTV kalau tubuh Zata dan pria tadi tiba-tiba muncul di depan rumahnya tanpa ada pergerakan dari tempat lain atau kendaraan. Keduanya benar-benar langsung muncul seperti peristiwa teleportasi.
"Ta! Ini bisa jadi bukti soal kasus lo yang masuk ke film!" Kemudian Inggit memperlihatkan hasil jepretan di ponselnya. "Dan liat! Wajah dia jelas-jelas mirip Kak Resta! Bedanya cuma di kacamata."
"Sekarang pertanyaannya, sebenarnya dia siapa? Kenapa dia mindahin aku dengan kekuatan aneh itu dan kenapa dia nggak mengeluarkan sepatah kata untuk bicara padaku?"
Inggit membantu Zata untuk menghapus video itu dari penyimpanan CCTV lalu menatap Zata lagi. "Ini cuma dugaan, tapi mungkin nggak sih dia tau tentang apa yang akan dilakuin Kak Resta ke lo setelah lo masuk kamarnya? Makanya dia nolongin lo dengan mengantar lo pulang."
"Berarti dia tau rumahku, kan? Padahal Kak Resta aja nggak tau karena aku minta dia jemput di depan Cafe Mentari." Misteri ini jadi semakin panjang, tapi Zata yakin bahwa mereka sudah semakin dekat dengan kebenaran.
"Oke ... jadi, sekarang kita akan berhadapan dengan orang misterius yang bisa teleportasi?" Inggit menghela napas berat sambil mengusap wajahnya. "Lo harus menyiapkan diri, Ta, karena situasi ini sekarang lebih berbahaya."
Zata menggigit kuku jarinya lagi. "Aku sudah sangat siap dengan risikonya sejak memutuskan untuk menyelidiki hal ini."
***
"Ta, malam ini lo sibuk?"
Zata yang baru selesai kelas mendekap erat beberapa jilid kertas berisi tugasnya. Baru sampai di pintu sudah ada yang menghadang langkahnya. "Eh?"
"Ini ... si Aldi mau ngerayain ultah, ngundang beberapa anak kampus. Lumayan banget loh dia gratisin ruang VIP sama beberapa minuman. Lo kan juga udah lama nggak kelihatan ke disko lagi."
Zata bingung harus menjawab apa. Sebenarnya situasinya masih belum tepat untuk bersenang-senang dan menikmati masa muda seperti sebelumnya. Kini yang ada di pikirannya hanya Gavier dan Viktor.
Tiba-tiba muncul Inggit yang mendesak beberapa anak dan mendekap lengan Zata. "Ada apa, nih?"
"Si Aldi ultah. Mau traktir anak-anak."
"Serius? Kapan?!" Inggit sudah sumringah. Kalau sudah begini, Zata tak punya pilihan selain setuju.
"Malam ini."
Inggit menatap Zata sambil menaik-turunkan alisnya. Dengan malas Zata menjawab, "Okey, deh."
"Yes! Kita tunggu! Kalian berdua undang cewek jomlo sebanyak-banyaknya, ya! Katanya ntar malem ajang pencarian jodoh juga, hahah ...."
"Heh, Kampret! Gue ada cowok kali!" sentak Inggit yang tak terima dikatai jomlo.
"Lo mau ke sana?" tanya Inggit sekali lagi, takut kalau dia terlalu membebani Zata.
"Iya, nggak pa-pa, deh. Sekalian nyari udara baru. Sumpek soalnya."
Setelah malam tiba, Inggit dan Zata bersiap di rumah Inggit. Dengan ajakan truth or dare dari Inggit dan Zata berakhir menjadi orang yang harus menjalankan dare, dia pun terpaksa harus menciptakan penampilan seperti yang diinginkan Inggit.
Pertama-tama adalah mengenakan rok hitam pendek di atas lutut, lalu baju jaring-jaring yang terbuka. Tak hanya itu, Zata harus memakai wig warna pink dan memakai lipstik merah setebal mungkin. Terakhir, dia mengenakan sepatu boots hitam bertingkat 20 senti.
"Wah ... aku benar-benar jadi orang gila," ucap Zata yang sangat pasrah dengan penampilannya sekarang. Kalau nanti dia ditertawakan bagaimana, ya?
"Hei, lo nggak bisa dikenali kok. Make up lo yang bold dan pakaian lo yang lebih nyentrik dari biasanya ini nggak akan mudah dikenali orang lain. Jadi di sana nanti lo bisa jadi diri lo sendiri dan bebas melakukan apa aja. Seru, kan?"
Senyum Zata mengembang. Inggit tau kalau saat ini Zata sudah stres akut dan salah satu cara untuk menghiburnya adalah dengan melakukan ini. Maka Zata akan menerimanya dengan senang hati.
"Oke, ayo berangkat!"
Dum! Dum! Dum!
Inggit dan Zata sudah sampai di tempat yang dulu sering mereka datangi kalau malam minggu atau sedang stres akut. Tampaknya ada beberapa teman kuliah mereka yang sudah datang untuk ke pesta ulang tahun Aldi.
"Mau ikut ke sana juga?" tanya Inggit.
Zata tak ingin berinteraksi dengan mereka. Karena mereka semua pasti akan merasa aneh dengan gaya bicara Zata. Daripada repot-repot menyesuaikan diri dan menimbulkan kecurigaan, lebih baik Zata menunggu di sini. "Enggak, ah. Kamu ke sana aja. Nanti balik ke sini lagi!"
"Oke, tungguin, ya! Gue nggak lama. Cuma nampakkin wajah, doang."
"Oke!"
Setelah ditinggal Inggit, Zata mulai duduk di dekat meja bar. Bartender yang berjaga langsung mendekati Zata yang duduk sendirian. "Mau pesan minuman, Nona?"
"Hmm ...." Zata mengingat bahwa minuman kesukaannya dulu adalah vodka. "Vodkanya satu. Pakai es."
"Baik."
Seseorang datang dan duduk di sebelah Zata. Awalnya dia tidak sadar sampai pria itu menyentuh paha Zata. Sontak Zata mendongak, tapi pria tua itu malah tersenyum tanpa beban. Setelah minumannya datang, Zata langsung menghabiskannya dalam sekali teguk. Kala rasa pusing datang, Zata langsung mendorong pria itu sampai jatuh tersungkur. Sepertinya, dia juga mabuk.
"Brengsek!" Karena suasana hati yang memburuk, Zata menatap bartender di depan sambil mengacungkan gelasnya. "Lagi!"
Bartender menuangkan minuman ke gelas Zata sampai penuh. Tanpa babibu, Zata menghabiskannya tanpa jeda lagi.
"Wah, kemampuan minum Anda sangat luar biasa, Nona."
"Lagi!" ucap Zata dengan pandangan yang mulai berkunang-kunang.
Bartender menuangnya lagi.
"Lagi," ucap Zata untuk yang ke tujuh kalinya.
Dan saat Zata hendak mengucap kata 'lagi', bartender dipanggil oleh orang lain yang akan memesan. "Sebentar ya, Nona."
Setelah bartender pergi, Zata sudah tidak sabar menghabiskan minumannya. Dia pun mengambil botol itu dan langsung meneguknya hingga tak tersisa. Dia usap mulutnya yang berlinangan air vodka, kemudian meletakkan beberapa lembar uang di bawah gelasnya.
Dengan langkah gontai, Zata mendatangi aula tengah orang-orang yang sedang berjoget. Dia terus meloncat dan menikmati alunan lagu yang berdentum-dentum di kepalanya. Ini sangat menyenangkan, di sisi lain juga menyakitkan. Sebab sebanyak apa pun dia minum alkohol, bayangan Gavier tak juga hilang dari benaknya. Bahkan setiap pria yang dia lihat di sini jadi mirip dengan Gavier. Makanya dia mudah sekali menempel sana sini.
"Sial," gumam Zata.
Tepat ketika seseorang hendak melecehkannya, pria lain datang dan mengambil alih Zata. Zata jadi agak pusing karena tubuhnya ditarik paksa.
"Kamu harusnya nggak di sini!" bentaknya.
Hanya itu yang bisa Zata dengar di tengah-tengah bisingnya bunyi lagu. Semua hal di ruangan ini berputar dalam pandangannya.
"Suka-suka aku," kata Zata tanpa sadar. Detik kemudian dia merasa tubuhnya melayang, dia jadi mulai meloncat-loncat. Tapi saat hendak oleng ke belakang, sesuatu menahan punggungnya dan mempererat pegangannya pada kaki Zata.
Ini apa?
Zata berusaha membuka matanya. Dia melihat kepala manusia di depan wajahnya. Sebenarnya apa yang terjadi?
"Hei, kamu siapa?" tanya Zata sambil memajukan wajahnya. Kala pipinya menempel dengan milik pria ini, pipi pria ini malah memanas hingga muncul rona merah sampai telinga. "Wah, pipimu sangat hangat."
Zata jadi nyaman untuk menempelkannya lagi.
"Ja--jangan melakukan ini!" ucapnya sambil menjauhkan pipinya dari Zata.
"Ssst! Jangan berisik! Nanti ada yang marah!" kata Zata. Dia benar-benar masih berada di bawah pengaruh alkohol.
Setelah itu terdengar helaan napas. "Siapa yang marah?"
"Ssst!" Zata menempelkan telunjuknya di bibir. "Tapi kamu jangan bilang ... siapa-siapa, ya?"
"Hu'um."
"Kak Resta!"
Langkah pria itu berhenti seketika.
"Karena aku tau ... dia punya saudara kembar," lanjut Zata.
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top