Bab 58
I was enchanted to meet you.
***
"Lo sebenarnya ngapain, sih, Ta?!"
Zata mencuci kedua tangannya dengan tenang. Setelah selesai, dia mengambil tisu lalu mengeringkannya. "Mencari tau apa yang terjadi denganku waktu itu."
"Ta--tapi ... tapi, gue kan udah kasih tau lo! Kak Resta itu bahaya! Gue nggak yakin lo bisa melindungi diri lo sendiri di saat lo beneran udah jatuh cinta sama Gavier yang punya wajah sama dengan Kak Resta," ucap Inggit yang masih panik dengan tindakan Zata. Pasalnya setelah pertemuan mereka di lift tadi, Zata meminta bantuan Resta untuk melakukan bimbingan berdua.
Benar, hanya berdua.
Dan entah apa yang ada dalam pikiran Resta, pria itu menyanggupi pertemuannya dengan Zata malam ini. Di tempat tenang yang menurut Resta akan mendukung bimbingan belajarnya dengan Zata.
"Tenang aja. Aku bisa jaga diri," kata Zata lalu membuang tisu itu ke tempat sampah.
"Hei!" Inggit menghentikan Zata dengan memegang kedua bahunya. "Zata, sadar! Ini dunia nyata, bukan film lagi. Lo nggak bisa pakai sihir di sini. Jadi, jangan berpikir macam-macam soal bisa jaga diri. Kalau lo udah masuk kamar dia, lo bakal baru ke luar paginya."
Zata melepas tangan Inggit darinya. "Aku nggak akan masuk kamar dia. Tenang aja."
Sesuai janji Zata dan Resta, mereka akan bertemu malam ini. Walau masih gelisah dan cemas, Inggit tetap membantu Zata menyiapkan diri. Dia mendandani sahabatnya secantik mungkin agar bibir Resta hanya bisa tercengang kala melihat Zata.
"Lo yakin nggak mau gue temenin?"
Zata menggeleng. Dia membuka kecil bibirnya agar Inggit semakin mudah memakaikan lipstik untuknya.
"Inget ya, kalau dia berusaha macem-macem, tendang aja anunya!" seru Inggit, dia sudah sangat berkompeten dalam bidang ini.
"Kalau dia berhasil menahan kakiku?" tanya Zata.
"Tonjok perutnya, tarik hidungnya, colok matanya! Banyak opsi asal lo bisa gesit," jawab Inggit sembari menggerai rambut panjang Zata. "Haah ... sebenarnya apa rencana lo sih, Ta? Setidaknya cerita sama gue! Biar gue tau harus gimana kalau terjadi sesuatu yang nggak diinginkan."
"Aku mau cari Gavier di dia."
"Cari Gavier?" beo Inggit yang tak paham.
"Dugaan kita kemarin, dia punya kepribadian ganda atau saudara kembar, kan? Maka, aku mau cari tau itu malam ini."
Inggit berpindah posisi ke sebelah kanan Zata. "Soal theater 5 gimana? Kita hapus dari rencana?"
"Nggak. Itu tetap ada di dalam rencana."
"Tapi kan ruangannya udah nggak ada. Pintunya aja nggak ada, gimana kita bisa masuk ke dalem dan cari tau?"
Zata menatap serius pantulan dirinya di kaca. "Karena kita bisa masuk ke dalam sana, berarti pintunya bukan nggak ada, tapi nggak kelihatan."
***
Inggit menghentikan mobilnya setelah sampai di depan Cafe Mentari, tempat janjian Zata dengan Resta. Di sana sudah ada seorang pria yang bersandar di pintu mobil untuk menunggu kedatangan Zata. Penampilan Resta yang sederhana, tapi mewah itu sempat membuat Zata dan Inggit terpaku.
"Benar-benar bahaya," kata Inggit.
"Iya."
Inggit menoleh. Kini dia memasukkan sebuah semprotan kecil ke tas Zata. "Simpen ini. Kalau dia mau aneh-aneh, semprot ke matanya!"
"Bukannya dia, tapi takutnya aku yang mau aneh-anehin dia, Nggit." Zata menunjuk Resta yang menyisir rambutnya ke belakang dengan jemari tangannya. "Liat! Yang kayak gitu masa nggak pengin nerkam?"
Inggit menggaruk pipinya. Apa yang dikatakan Zata memang benar, tapi sayang sekali sifat Resta harus sebrengsek itu.
"Ya udah, deh. Pokoknya jangan sampai lupa tujuan lo malam ini buat apa. Selalu cek HP lo juga. Gue akan kirim chat dan lo bisa telepon gue kapan aja. Kalo lo butuh gue, gue akan langsung dateng detik itu juga."
Zata melayangkan ibu jarinya di udara lalu ke luar dari mobil. Menyadari keberadaan Zata, senyum Resta mengembang. Dia melambaikan tangannya yang kemudian dibalas oleh Zata.
"Hadeh, mereka kelihatan serasi. Semoga aja dia betulan Gavier terus akhirnya mau tobat dari sifat buruknya," gumam Inggit di dalam mobil.
Resta membukakan pintu mobil untuk Zata dan memberikan senyuman manis sebagai tambahan pelayanannya. Melihat itu Zata jadi otomatis tersenyum pula. Kalau memang dia Gavier, maka Zata tak akan berhenti mendekatinya. Kalau bukan, setidaknya Zata harus menggali semua informasi yang dia perlukan.
"Jadi ... mau ke mana kita malam ini?" tanya Resta usai keduanya sudah duduk di dalam mobil.
"Kamar Kakak," jawab Zata tanpa dosa.
Resta yang sedang tidak makan apa-apa saja sampai tersedak. Spontan dia berdeham beberapa kali untuk menenangkan diri. "Ehem, maksud lo?"
Zata menoleh ke arah Resta dengan angkuh. Seolah perkataannya tadi tidak dia sesali sama sekali. "Kan aku mau bimbingan belajar sama Kakak ... nah, di kamar Kakak kan pasti banyak arsip desain-desain Kakak waktu jaman kuliah. Aku boleh lihat-lihat buat inspirasi nggak, sih? Aku dengar, melihat proses orang lain sebelum sukses kadang bisa menjadi motivasi juga."
Maaf, Nggit, batin Zata.
"Lo ... serius?"
Zata mengangguk dengan penuh keyakinan.
"Tapi ... ehem, gue nggak tau lo udah pernah dengar atau enggak kalau peraturan masuk ke kamar gue, lo bakal baru boleh ke luar besok paginya." Resta menatap lekat Zata yang tampak berpikir. Dia jadi penasaran dengan perempuan yang begitu banyak kejutan ini. Sampai sekarang belum ada yang se-bar-bar ini dalam menunjukkan ketertarikan. Sehingga menurut Resta, ini cukup seru. "Gimana?"
"Hm ... lama juga, ya?"
"Apanya?" tanya Resta dengan telinga memerah. Di mata Zata, itu persis sekali dengan Gavier.
"Menggambarnya."
Resta membatu di tempat. Jadi, maksud Zata dari tadi masih seputar bimbingan belajar? Astaga, persetan soal bimbingan itu, ini semua bukannya cara modus perempuan ini? Kenapa jadi begini? Masa dia beneran lugu?
"Yah ... gitu lah."
"Hm, kalau gitu lain kali aja, deh. Aku nggak cukup tidur kemarin."
Resta mengangguk setuju. Belum apa-apa dia sudah lelah dengan kelakuan Zata. "Kalau gitu malam ini ... lo udah makan belum?"
Udah, sih, pikir Zata.
"Belum," jawabnya.
Resta menarik senyumannya lagi. "Kalau gitu kita cari makan dulu, ya?"
Mereka sampai di salah satu restoran mewah yang sering didatangi pasangan kaya raya. Zata tak tau apa tujuan Resta membawanya ke mari karena tempat ini bisa dibilang sedang menjadi pusat perhatian. Bisa saja ada orang yang memotret kebersamaan mereka lalu mempostingnya di sosial media. Apa pria ini tak cemas kalau ada rumor tentang mereka?
"Lo pesan apa?"
"Aku nggak pernah ke sini. Menunya juga nggak bisa dibaca. Tolong pesenin ya, Kak. Aku bisa makan apa aja yang penting porsinya banyak biar sepadan sama harga," kata Zata sambil menutup buku menu itu.
Lagi-lagi Resta tertegun sebab Zata adalah perempuan pertama yang berkata jujur setelah dia bawa ke mari. Biasanya perempuan yang Resta ajak ke sini akan meminta ijin ke toilet untuk mengecek menu di internet atau tanya teman agar tidak terlihat bodoh di mata Resta. Tapi Zata, dia sangat apa adanya. Kalau iya bilang iya, tidak bilang tidak. Hal yang jarang dimiliki seseorang karena gengsi.
"Oh, gitu, ya? Maaf udah ajak lo ke sini. Gue bukan punya maksud apa-apa, tapi emang tempatnya bagus dan makanannya enak," kata Resta.
"Santai aja. Aku memang jarang nyoba kuliner sekitar karena bisa masak sendiri."
"Oh, lo bisa masak sendiri?" tanya Resta yang tiba-tiba jadi antusias.
"Iya, tapi nggak banyak juga dan nggak yang jago banget," jawab Zata seadanya. Rasanya dia harus menahan diri baik-baik setiap melihat senyuman dan tatapan itu. Semuanya benar-benar mengingatkan Zata pada Gaviernya.
"Contohnya masakan apa aja yang biasa lo buat?"
Masakan yang disukai Gavier, pikir Zata.
"Emm, nasi goreng ... cumi bakar ...."
"Wah, terus?" tanya Resta. Kedua tangannya melipat di atas meja dan fokus ke arah Zata. Lagi-lagi hal itu mengingatkannya pada Gavier.
"Gavier suka makanan apa?" tanya Alenda seraya mengusap kepalanya yang terbaring di pangkuan Alenda.
"Hm, soal makanan aku tidak pilih-pilih, apalagi kalau tanganmu yang membuatnya." Gavier menciumi telapak tangan Alenda lalu terkekeh.
"Cumi bakar waktu itu gimana rasanya?"
"Hmm, ini rasa yang baru tapi di lidahku cocok sekali. Tapi aku sudah mengatakannya, kan? Walau kau memberiku kayu dan batu, semuanya tetap akan terasa enak," jawab Gavier yang lagi-lagi sekenanya.
"Hahaha!"
Zata memejamkan mata sebentar. Rasanya sangat sesak kala melihat tatapan yang sama tapi dua orang yang berbeda.
Masa aku harus memulainya lagi dari awal? pikir Zata yang sudah gagal membendung air matanya.
Melihat itu, sontak Resta panik. "Loh? Loh?" Dia segera mengambil tisu dan beranjak dari tempat. Resta berjongkok di samping kursi Zata dan mengusap air matanya.
"Kenapa nangis? Apa gue udah keterlaluan sama lo? Gue minta maaf," ucap Resta, dia benar-benar panik karena merasa sudah memperlakukan Zata sebaik mungkin. Apalagi mereka sedang berada di tempat umum, tentu nama baik Resta sedang dipertaruhkan.
"Nggak ... ini bukan salah Kakak. Aku cuma ...." Zata kehilangan kendali untuk menghentikan isak tangisnya. Dia menutup wajahnya untuk meredam itu. Entah sampai kapan dia tahan melihat wajah ini dan semua hal yang terjadi. Rasanya Zata sangat lelah. "... maaf, Kak. Aku cuma teringat seseorang."
Resta menegakkan tubuhnya lagi. "Udah nggak pa-pa?"
Zata mengangguk, tangisnya mulai berhenti. "Maaf udah bikin Kakak panik."
"It's okay. Apa lo keinget mantan?"
Zata terkekeh. "Bukan. Cuma ada ... saudara jauh aja."
"Oalah."
Zata mengalihkan pandangannya ke arah kaca yang menampilkan kondisi jalan raya di bawah sana. Gedung-gedung yang bercahaya di malam hari tampak seperti bintang yang indah. Kalau Gavier ada di sini, rasanya ingin sekali dia menunjukkannya. Menunjukkan dunia yang begitu indah dan cantik ini.
Setelah menyelesaikan makan malam mereka, Zata berniat melakukan bimbingan belajar seperti seharusnya. Tapi tidak tau apa yang sudah terjadi sampai tiba-tiba Zata sudah dibawa ke rumah besar ini.
"Kita mau bimbingan belajar di sini?" tanya Zata yang menyapu pandangannya ke rumah tingkat dua itu.
"Lo bilang pengin lihat kamar gue, kan?"
Hm, bener kata Inggit. Dia bajingan.
"Oh ... ya."
"Kenapa? Apa lo tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Resta yang berjalan lebih dulu menaiki anak tangga di terasnya.
"Enggak kok. Cuma kagum aja karena rumahnya bagus."
"Apa lo nggak takut?" tanya Resta lagi.
"Soal apa?"
"Soal apa pun yang terjadi setelah lo masuk ke kamar gue," kata Resta yang sudah menancapkan kunci rumahnya, tinggal memutarnya saja.
"Yah ... kita juga bukannya mau bunuh orang jadi untuk apa takut?"
Mendengar jawaban yang tenang dan tanpa ragu itu, Resta jadi semakin bersemangat. Dia membuka lebar rumahnya untuk mempersilakan Zata masuk ke dalam. Setelah mengedarkan pandangan, Zata berusaha menghafal setiap posisi rumah ini.
"Di rumah lagi sepi. Mama nggak ada di rumah," ucap Resta sambil mengunci kembali pintu rumahnya lalu dia simpan kuncinya di saku. Kalau perempuan biasa pasti sudah kabur, tapi bagi Zata yang sudah pernah melihat iblis dan kematian banyak orang, ini bukan apa-apa.
"Kalian cuma tinggal berdua?" tanya Zata sambil mengekor di belakang Resta.
"Iya. Setelah papa ninggalin gue sama mama, kita cuma hidup berdua."
Apa bener Kak Resta nggak punya kembaran? Itu berarti dugaannya tinggal dua. Kalau bukan karena dia punya kepribadian ganda, itu berarti cowok yang gue lihat di pasar adalah dia yang lari karena nggak mau penampilan lusuhnya ketahuan, batin Zata.
"Kenapa?" tanya Resta saat Zata hanya diam saja. Langkah Zata jadi ikut terhenti.
"Apanya?"
"Apa lo kasihan sama gue?"
Zata mengangkat kedua alisnya. Dia mulai menggerakkan kedua tangannya. "Untuk apa saya kasihan dengan Anda yang sudah sukses ini? Seperti saya tidak punya pekerjaan lain saja."
"Pfft ...." Resta jadi semakin tertarik pada Zata. "Lagi-lagi lo orang pertama yang begitu karena selama ini semua orang bakal natap gue kasihan atau nyemangatin gue. Padahal itu adalah cerita lama."
Sampai di lantai dua, Zata melihat ada tiga ruangan. Bagian pojok yang sepertinya adalah kamar mandi dan dua kamar yang saling berhadapan. Kalau yang kanan milik Resta, lalu milik siapakah yang sebelah kiri? Lantaran saat masih di bawah tadi, Zata sempat melirik kamar yang sepertinya milik mamanya Resta.
"Kamar itu udah kosong dari lama," ucap Resta. Seolah tau arah pandangan Zata.
Ketika Resta sibuk merogoh tas kecilnya untuk mencari kunci kamar, Zata melihat pintu kamar yang katanya kosong itu bergerak sedikit.
Itu ... setan? batin Zata dengan kedua alis yang bertaut.
Bola mata Zata melebar kala melihat sepasang mata yang mengintip mereka. Sontak dia segera berbalik. Itu cukup mengerikan. Tapi bisa saja dia adalah dugaan ketiganya waktu itu kalau Resta punya saudara yang disembunyikan.
Pertanyaannya, untuk apa? Punya saudara kan bukan aib.
"Nah, silakan masuk. Ini kamar gue." Resta membuka lebar pintu kamarnya lalu menoleh ke belakang. Seluruh tubuhnya membeku kala Zata menghilang padahal sebelumnya masih ada di dekatnya. "Zata?"
Di sisi lain, Zata merasa ada seseorang yang menarik tangannya ke suatu tempat. Yang paling membuat Zata bertanya-tanya adalah tempat di mana dia berada sekarang. Keduanya sedang berlari seperti di sebuah hutan yang luas. Tapi Zata juga tidak merasa asing dengan tempat ini.
"Hei!" seru Zata kala pria ini terus menarik tangannya tanpa menoleh sedikit pun. Zata yang terus berlari tanpa arah mulai kelelahan.
"Hei! Aku capek! Kamu siapa, sih?!"
Saat tangan pria itu melepas tangannya, tiba-tiba tubuh Zata sudah berada di depan pagar rumahnya, tepat ketika dia membuka mata di kedipan mata ke lima.
"I--ini apa?!"
Zata merasa dirinya akan gila.
- The Beast & His Secret -
Emm, yang kemarin nanya cerita ini tamat bab berapa, gak lama lagi kok. Soalnya emang dibikin agak panjang karena nggak akan ada sequel, jadi mau menyelesaikan konfliknya sampai tuntas dulu. Katanya nggak suka digantung? Wkwk
Kasih satu alasan kenapa kalian suka The Beast & His Secret? Kalo banyak yang komen, gue up 2 bab malam ini!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top