Bab 57
This was the very first page, not where the story line ends. My thoughts will echo your name, until i see you again.
***
"Ibunda!"
"Viktol sayang Ibunda!"
"Ibunda adalah olang yang paling Viktol sayang di dunia ini!"
"Kalau Viktol menggambal cinta Viktol untuk Ibunda, maka keltas Viktol tidak akan cukup, heheh!"
Dalam tidurnya, Zata mulai terisak. Wajah Viktor berlari-lari dalam bunga tidurnya. Kala merasa ada sesuatu yang sangat sesak di dadanya, Zata terpelonjak di atas kasur. Dia mencoba mengambil napas dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan. Air mata yang ke luar di dalam mimpi ternyata juga ke luar di dunia nyata. Lantas Zata mengusapnya. Suasana hati pagi ini jadi sedikit menyesakkan. Hal pertama yang harus Zata lakukan adalah mencuci mukanya.
Serrrr ....
Zata membasuh wajahnya dengan air berkali-kali. Sebab kala wajahnya terkena air, air matanya malah mengalir lagi.
"Zata?"
Tok! Tok! Tok!
"Nak?"
Zata mematikan krannya lalu menatap pantulan dirinya di cermin. Ini sangat menyedihkan. Tak hanya tidak bisa melihat orang yang ia cintai, Zata juga kehilangan anaknya.
"Iya, Ma."
Zata berjalan ke pintu dan membukanya.
"Hari ini kamu ada kelas, nggak?" tanya Natasya sembari memperhatikan mata anaknya yang sedikit sembab.
"Emm ...." Sebenarnya Zata tidak tau, tapi dia teringat beberapa waktu lalu saat Inggit mengajarinya cara menggunakan ponsel dan mengatakan padanya tentang jadwal kelas Zata. "Nggak ada, Ma."
"Kalau gitu mau temenin mama ke pasar, nggak?"
"Pasar?"
Natasya mengangguk dengan seulas senyuman.
Karena merasa tidak punya kegiatan lagi, Zata pun tidak menolak. Dia segera bersiap dengan pakaian sederhana lalu mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda. Entah mengapa kalau begini rasanya lebih segar saja.
Setelah siap, Zata dan Natasya berangkat menggunakan taxi. Setengah jam perjalanan mereka rasakan sampai akhirnya tiba di pasar tradisional. Sebagai anak muda, Zata yang bertugas membawakan belanjaan mamanya. Dia pun mengekor saja ke mana mamanya mau beli bahan makanan.
"Kok 70.000 sih, Bu? Kemahalan. 45.000 gitu, lah."
Dan sesi tawar-menawar ini pun berlangsung lama. Sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru pasar, Zata menangkap seseorang yang sangat dia kenali.
"Gavier?"
Berbeda dengan pria yang penuh karisma seperti Kak Resta kemarin, kali ini berbeda. Dia tampak lusuh dengan wajah dingin. Kacamata yang dia kenakan memberikan kesan yang berbeda. Tampaknya dia sedang membeli sesuatu dan membayarkannya pada penjual. Setelah selesai, dia kembali memakai tudung jaketnya dan beranjak pergi.
"Ma--Mama! Aku ke sana sebentar, ya!"
Natasya hanya melambaikan tangan karena sibuk berdebat dengan penjual daging. Merasa bahwa arah orang yang mirip Gavier tadi ke ruko-ruko di sebelah kiri, Zata tak menunggu lama untuk berlari mengikutinya.
"Loh, kok udah hilang? Jalannya tadi kayak nggak secepat itu," gumam Zata sambil mengatur napasnya.
Jalanan ruko ini sepi karena seluruh rukonya tutup. Percuma kalau Zata terus berlari mengelilinginya sebab bisa saja dia malah bertemu orang aneh atau jahat di sana.
Baru saja akan berbalik, Zata merasakan tepukan di bahunya.
Apa ini Gavier?
Zata segera berbalik. Kedua alisnya terangkat kala melihat seorang wanita paruh baya yang tersenyum ke arahnya.
"Sedang mencari seseorang, Nak?"
Zata merasa bingung karena dia tidak kenal siapa wanita ini. "Emm ...."
"Soalnya tadi tante liat kamu kayak lagi ngejar sesuatu."
Zata menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Iya tadi saya seperti melihat seseorang yang saya kenal. Sepertinya saya salah lihat saja."
Wanita itu tersenyum ramah. "Ooh, kalau begitu hati-hati karena jalanan ini sepi. Kamu bisa dalam bahaya kalau sendirian di sini. Apa kamu ke sini sendiri?"
"Oh, tidak, Tante. Saya ke sini sama mama, tapi mama masih bicara dengan pembeli."
"Oh ... begitu."
Merasa tak kenal dengan wanita asing ini, Zata pun menunduk pelan. "Kalau begitu saya permisi."
Alena menatap kepergian Zata dengan wajah serius.
***
Tadi pagi Inggit sudah menelepon kalau dia akan datang ke rumah Zata setelah kelasnya selesai. Dan baru saja Inggit membunyikan klakson sebagai pertanda kedatangannya. Karena di rumah sedang tidak orang, Zata pun segera berlari untuk membukakan.
"Hari ini apa aja kegiatan lo?" tanya Inggit sembari langsung nyelonong masuk ke kamar Zata. Sejak dia tau kalau Zata sempat terjebak di dunia film, dia selalu mengkhawatirkan Zata 24 jam. Sehingga hampir tiap hari Inggit akan menanyakan apa saja kegiatan yang Zata lakukan dan perlahan-lahan membantunya beradaptasi dengan dunia sekarang.
"Cuma mengantar mama ke pasar, tapi ...."
Inggit menghentikan gerakan tangannya yang sedang membuka dua kotak ayam geprek yang dibawakan Inggit untuk dimakan berdua bersama Zata. "Tapi apa?"
"Tadi aku nggak sengaja melihat seseorang yang mirip sama Gavier lagi, tapi berbeda jauh sama penampilan Kak Resta. Pakaian dia agak lusuh, ekspresinya dingin, dan dia pakai kacamata."
"Terus udah lo samperin?!"
Zata mengangguk. "Aku ikutin, tapi tiba-tiba aja udah nggak kelihatan. Dia hilang cepet banget."
"Astaga ...." Inggit menyodorkan salah satu kotak ke arah Zata.
"Terima kasih," kata Zata.
"Tapi wajah dia mirip Kak Resta juga, nggak?" tanya Inggit sambil menggigit bungkus sambalnya sebab ayam geprek itu terpisah dengan sambalnya.
"Iya, mirip. Walau nggak melihat secara dekat pun karena aku udah lama tau Gavier, aku mudah mengenali dia."
Inggit terdiam dan mencoba memikirkannya. Kalau saja orang yang dimaksud Zata mirip Gavier itu berbeda dengan Resta, maka Inggit bisa saja menganggap bahwa semua ini hanya halusinasi Zata, tapi karena Zata bilang wajah keduanya mirip ... maka baik Resta maupun orang yang mirip Resta itu pasti adalah visualisasi Gavier di dunia nyata.
"Pasti itu Kak Resta, sih. Mungkin dia tau kalau lo sadar sama dia terus buru-buru lari karena takut image-nya rusak," kata Inggit akhirnya, sebagai kesimpulan mengapa dia menghilang sangat cepat.
"Masa, sih?"
"Ya lo bilang tadi penampilannya beda dan agak lusuh, kan? Selama ini gayanya Kak Resta kan selalu mengikuti trend dan enak dipandang gitu. Yah, mungkin dia disuruh mamanya beli apa atau apa ke pasar. Rumornya emang Kak Resta itu anak mama banget karena mamanya single parent," ungkap Inggit, menjelaskan dugaannya pada Zata.
"Orang tuanya bercerai?"
Inggit menggeleng. "Nggak tau juga, sih. Yang jelas Kak Resta dari kecil cuma dirawat mamanya. Kata di berita-berita juga gitu."
Zata mulai menatap ayam yang dibawakan Inggit. Dia jadi kembali memikirkan beberapa hal. "Itu dugaan pertamanya, ya, tapi aku juga punya dugaan lain."
Setelah mengunyah makanannya, Inggit menatap Zata. "Apa?"
"Bisa aja itu kepribadian lain. Seperti apa yang terjadi di film, Gavier punya kepribadian lain yaitu Adires. Bisa aja Kak Resta punya kepribadian lain juga. Ya, kan?"
Inggit tercengang sebentar. "Dan ... bisa aja orang yang digambar sama Kak Resta adalah kepribadian lainnya sendiri?" Inggit melanjutkan spekulasi Zata.
"Dan itu masih dugaan kedua," kata Zata sambil mengangguk.
"Ini gila, sih." Inggit mengusap-usap pelipisnya. "Kalau kita bisa bongkar kepribadian lain Kak Resta, bayangin se-viral apa jadinya? Dia punya sakit mental, tapi menjadikannya sebuah karya. Keren ...."
"Tapi ... kita nggak boleh melewatkan semua dugaan," ucap Zata dengan raut sangat serius. Inggit jadi kembali fokus.
"Dugaannya cuma dua, kan?"
Zata melayang-layangkan jari telunjuknya. "Nggak-nggak, aku punya satu dugaan lagi. Walau itu nggak mungkin, tapi sebelum kita tau kebenarannya, semuanya bisa jadi mungkin, kan?"
"Apa?"
"Kalau Kak Resta punya kembaran."
Inggit tertegun sebentar. Kini nama Resta sedang berada di barisan pertama pencarian internet. Tentu kalau mereka berhasil menemukan rahasia pria itu, bisa saja kesuksesan yang dia raih hancur seketika. Jadi mereka harus sangat berhati-hati untuk menyelidikinya.
"Kalau itu bener, bakal heboh, sih. Soalnya Kak Resta dari lama diberitakan kalau dia anak tunggal. Nggak pernah ada yang tau kalau dia punya saudara. Kalau lo cari dia di internet atau Wikipedia pun, Kak Resta anak satu-satunya."
Zata menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya. "Ada dua opsi. Mungkin memang dia nggak punya saudara atau disembunyikan dari semua orang."
"Wah ... lo harus daftar kepolisian atau timnya Nessie Judge, sih. Teori konspirasi lo bikin gue merinding sumpah."
"Itu karena aku benar-benar harus menemukan kebenarannya." Zata menunduk, rautnya yang berubah suram membuat Inggit ikut merasakan kesedihannya. "Minimal aku ingin tau alasan mereka membuatku masuk ke dalam sana atau ... kalau ada cara ... walau mustahil ... aku ingin bertemu mereka lagi."
Tidak ingin suasana hati Zata diselimuti kesedihan lagi, Inggit pun segera menunjukkan apa yang ditemukannya hari ini. "Nggak cuma lo, gue juga udah menemukan sesuatu yang mungkin akan sedikit membantu kita!"
Zata mendongak, dia kembali mendapat petunjuk untuk lebih dekat dengan Gavier. Maka tak ada lagi waktu untuk bersedih tanpa melakukan apa-apa. "Apa?"
"Ini emang aneh. Super duper aneh. Kemarin kan ada cowok ngajak gue nonton ke bioskop di mall yang kita datengin buat nonton Film The Beast & His Secret. Gue inget betul kalau kita nonton di theater 5 waktu itu dan lo tau? Theater 5 tiba-tiba nggak ada. Pintunya juga nggak ada kayak sebelumnya theater itu nggak pernah ada. Karena gue pikir, mungkin gue salah baca, tapi ...." Inggit mengeluarkan tiket nonton mereka yang kebetulan masih ia simpan di dompet. "... lihat! Theater 5, kan?"
"Mungkin pegawainya salah ketik?"
"Hei, di bioskop tuh tiketnya udah ada formatnya. Waktu itu gue juga lihat kalau cara pegawainya ambil tiket nggak diketik mulai awal kayak lagi print kertas. Karena hal ini bikin gue ngeri, gue nyoba tanya ke temen gue itu. Dia bilang di mall itu emang nggak pernah ada theater 5."
Zata mengerutkan keningnya. "Tapi seingatku kita kan udah sering nonton film. Bukan cuma waktu itu."
"Iya dan masalahnya waktu itu kan filmnya booming parah. Gue kehabisan tiket terus, akhirnya gue pesen tiket online dan cuma theater 5 yang kosong. Mau nggak mau pun gue pesen walaupun jauh. Kita seringnya nonton di mall deket alun-alun, kan?"
"Jadi intinya ... kita nonton di tempat misterius yang bisa muncul dan menghilang? Itu aneh karena kita bukannya nonton sendirian. Ada banyak orang di dalam sana," ucap Zata yang masih tidak bisa memasukkan penemuan Inggit ke dalam akalnya.
"Gue juga nggak sepercaya itu awalnya, tapi waktu gue baca lagi tiket ini gue jadi mikir, kok sekebetulan itu theater 5 misterius ini muncul di benak gue waktu tau lo terjebak masuk ke film. Coba deh lo pikir-pikir lagi. Ini bisa menjadi petunjuk juga kalau menurut gue."
"Apa kamu sudah tanya ke pegawainya? Mungkin mereka tau sesuatu," kata Zata yang ingin penemuan Inggit tidak sia-sia. Toh, Inggit melakukan ini semua untuk membantunya.
"Maunya gitu, tapi kan kemarin gue nonton sama temen gue jadi ya gue nggak mau dia mikir aneh. Gue nunggu ke sana sama lo aja," ucap Inggit.
"Ya udah, gimana kalau setelah ini kita ke sana untuk cari tau?"
"Boleh-boleh."
***
"Maaf, Kak, apa Kakak yakin menonton film ini di sini?"
"Yakin kok, Kak. Soalnya saya sama temen saya pesan online," ucap Inggit di sebelah Zata yang menerima kembali tiket itu.
"Tapi di sini hanya ada theater 1 sampai 4," jawabnya dengan wajah sedikit cemas.
Hal itu membuat Inggit dan Zata saling bertukar pandang. "Beneran, Kak? Ini soalnya saya sama temen saya nonton di sini di theater 5, loh. Kakak benar-benar yakin kalau di sini nggak ada theater 5?"
Tatapan mengintimidasi dari Inggit membuat pegawai itu panik. "Emm, sebenarnya ...." Pegawai wanita itu tampak mengajak Zata dan Inggit ke bagian belakang loket.
"Dulunya memang ada theater 5 tapi sudah lama sekali ditutup karena terjadi peristiwa percobaan pembunuhan. Untuk mengantisipasi keresahan masyarakat, para petinggi sepakat untuk menutup theater 5 agar kejadian itu bisa ditutup dan menjadi rumor belaka."
"Terus ... berarti aslinya ada, kan?" tanya Inggit langsung, dia sudah merinding akut sekarang.
"Ada, sebelum mall ini direnovasi. Sekarang ruangannya sudah ditutup menjadi dinding saja. Bahkan tidak ada pintu atau jalan masuk ke dalamnya."
"Tapi saya dan temen saya--"
"Jadi theater 5 tidak pernah dibuka ya, Kak?" pungkas Zata agar Inggit tak lagi terbawa emosinya.
"Benar. Theater 5 tidak pernah dibuka."
Zata menggandeng tangan Inggit lalu menganggukkan sekali kepalanya. "Kalau begitu, terima kasih atas informasinya, Kak. Mohon maaf apabila kami mengganggu waktu Kakak."
"Sama-sama."
Zata menarik Inggit agar segera ke luar dari bioskop. Setelah sampai di lift, Inggit bersedekap dada. "Gue masih ada banyak pertanyaan, Ta! Ini masih nggak masuk akal! Terus maksudnya lo sama gue nonton di tempat gaib gitu?"
"Kayaknya kamu bener, Nggit ...."
Inggit menoleh dengan wajah kesal. "Soal apa?"
"Kalau ini adalah petunjuk."
"Tapi kita kan nggak menemukan apa-apa! Kita cuma menemukan kalau ternyata alasan bioskop di mall ini kurang ramai dikunjungi karena memang pernah terjadi percobaan pembunuhan. Kalau tau gitu, gue nggak akan pernah pesen tiket di sini, anjir!" pekik Inggit sambil menjambak sendiri rambutnya.
Zata menarik tangan Inggit agar berhenti menyakiti dirinya sendiri. "Kamu inget nggak tentang kerajaan yang dipimpin Gavier?"
Kepala Inggit yang sebelumnya terasa ditumpuki bebatuan langsung pecah seketika. "Kerajaan Disappear?"
Zata mengangguk. Sontak Inggit menutup mulutnya tak percaya. "Hah?! Menghilang? Kerajaan menghilang! Disappear artinya menghilang, kan?!"
"Aku nggak tau ini semua berhubungan atau enggak, tapi aku punya firasat kalau hal ini lebih besar dari yang kita duga."
"Tapi ...." Ucapan Inggit terpotong kala pintu lift terbuka.
Ting!
"Oh, hai? Kita ketemu lagi, ya?"
Inggit hampir pingsan di tempat saat melihat Resta sudah berada di luar lift sembari tersenyum ramah pada keduanya.
"Halo, Kak Resta," balas Zata.
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top